Jumat, 04 Oktober 2013
Selasa, 01 Oktober 2013
Serial Cinta
Tilinili
15.16
0 Comments
Tentang cinta. Tak pernah selesai. Pertanyaan selalu muncul. Apa sesungguhnya arti ‘cinta’? Dengan siapa kita mencinta? Lantas bagaimana caranya mencintai, bagaimana mengekspresikannya? Seperti apa kehidupan atas dasar cinta? Ada puluhan kisah, ratusan, bahkan ribuan, lebih. Masing-masing punya ceritera yang berbeda. Akankah yang kita kenal hanya pasangan Romeo dan Juliet? Atau agungnya cinta Sayyidina Ali dan Fatimah?.
*Teruslah belajar,mengambil hikmah,tentang ‘cinta’............
***
#Ibnu Qoyyim
menceritakan kisah Sang Imam, Muhammad bin Daud Al Zhahiri, pendiri mazhab
Zhahiriyah. Beberapa saat menjelang wafatnya, seorang kawan menjenguk beliau.
Tapi justru Sang Imam mencurahkan isi hatinya, kepada sang kawan, tentang kisah
kasihnya yang tak sampai. Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya,
tapi entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu tak pernah tersambung jadi
kenyataan. Maka curahan hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi sebelum
wafatnya.
#Kisah Sayyid Quthub
bahkan lebih tragis. Dua kalinya ia jatuh cinta, dua kali ia patah hati, kata
DR. Abdul Fattah Al-Khalidi yang menulis tesis master dan disertasi doktornya
tentang Sayyid Quthub. Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang
kemudian menikah hanya tiga tahun setelah Sayyid Quthub pergi ke Kairo untuk
belajar. Sayyid menangisi peristiwa itu. Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk
ukuran Mesir, gadis itu tidak termasuk cantik, kata Sayyid. Tapi ada gelombang
yang unik yang menyirat dari sorot matanya, katanya menjelaskan pesona sang
kekasih. Tragedinya justru terjadi pada hari pertunangan. Sambil menangis gadis
itu menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah hadir dalam
hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan keangkuhan Sayyid; karena ia memimpikan
seorang yang perawan fisiknya, perawan pula hatinya. Gadis itu hanya perawan
pada fisiknya.
Sayyid Quthub
tenggelam pada penderitaan yang panjang. Akhirnya ia memutuskan hubungannya.
Tapi itu membuatnya semakin menderita. Ketika ia ingin rujuk, gadis itu justru
menolaknya. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan itu. Ia bahkan
membukukan romansa itu dalam sebuah roman.
Kebesaran jiwa, yang
lahir dari rasionalitas, relaisme dan sangkaan baik kepada Allah, adalah
keajaiban yang menciptakan keajaiban. Ketika kehidupan tidak cukup bermurah
hati mewujudkan mimpi mereka, mereka menambatkan harapan kepada sumber segala
harapan; Allah!
Begitu Sayyid Quthub
menyaksikan mimpinya hancur berkeping-keping, sembari berkata, “Apakah
kehidupan memang tidak menyediakan gadis impianku, atau perkawinan pada
dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku?” Setelah itu ia berlari meraih
takdirnya; dipenjara 15 tahun, menulis Fi Dzilalil Qur’an, dan mati di tiang
gantungan! Sendiri! Hanya sendiri!
#Lain lagi. Umar bin
Abdul Aziz. Begitu ia menjadi khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya tumbuh
mendadak pada detik inagurasi nya. Iapun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk
berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah. Aku takut pada neraka katanya
menjelaskan rahasia perubahan itu kepada seorang ulama terbesar zamannya,
pionir kodifikasi hadits, yang duduk di sampingnya, Al Zuhri. Ia memulai
perubahan besar itu dari dari dalam dirinya sendiri, istri, anak-anaknya,
keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras ini membuahkan hasil. Walaupun hanya memerintah dalam 2 tahun 5 bulan, tapi
ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan
zaman Khulafa Rasyidin. Maka iapun digelari Khalifah Rasyidin kelima.
Tapi itu ada harganya.
Fisiknya segera anjlok. Saat itulah istrinya datang membawa kejutan besar;
menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahinya (lagi). Ironis,
karena Umar sudah lama mencintai dan sangat menginginkan gadis itu, juga
sebaliknya. Tapi istrinya, Fatimah, tidak pernah mengizinkannya; atas nama
cinta dan cemburu. Sekarang justru sang istrilah yang membawanya sebagai
hadiah. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.
Itu saat terindah
dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu - biru. Kenangan romantika
sebelum saat perubahan bangkit kembali, dan menyalakan api cinta yang dulu
pernah membakar segenap jiwanya. Tapi saat cinta ini hadir di jalan
pertaubatannya, ketika cita-cita perubahannya belum selesai.
Cinta dan cita bertemu
atau bertarung, di sini, di pelataran hati Sang Khalifah, Sang Pembaru. Apa
yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi, Tidak! Ini tidak
boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya masih harus
kembali ke dunia perasaan semacam ini, Kata Umar. Cinta yang terbelah dan
tersublimasi diantara kesadaran psiko-spiritual, berujung dengan keagungan;
Umar memenangkan cinta yang lain, karena memang ada cinta di atas cinta!
Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.
Tidak ada cinta yang
mati di sini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya dengan
sendu, Umar, dulu kamu pernah sangat mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu
sekarang? Umar bergetar haru, tapi ia kemudian menjawab, “Cinta itu masih tetap
ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam”.(Dikutip dari “Serial Cinta” karya Anis
Matta)
– lebih lengkapnya “Selamat Membaca” –