Tahukah kamu? Berkali-kali aku menyibukkan diri
dengan seluruh praduga, tentang permintaan maafmu. Maaf yang jelas kau
sampaikan, dengan ritme yang sedikit bertubi (baca : berulangkali). Apa yang
terjadi?
Tahukah kamu? Berkali-kali aku menyibukkan diri
dengan menyimpul prasangka, tentang rasa ingin tahumu yang acap kau sampaikan,
dengan semangat yang membara. Ada apa?
Tahukah kamu? Berkali-kali aku menyibukkan diri
dengan merajut cerita yang ku-karang sendiri, tentangku, tentangmu, tentang
diri “nya”. Jujur, aku terlalu penasaran untuk tahu kebenarannya, apakah aku
cukup mampu membaca keadaan sehingga ceritaku mendekati sebuah kata “nyata”?
Tak mengapa kau sembunyikan, bila memang kau
tak yakin bahwa yang kau pendam patut diungkapkan. Juga, tak mengapa bila akhirnya
terkatakan, diri ini masih belajar. Untuk lapang mendengarkan, untuk lapang
menerima, untuk lapang memahami sebuah peristiwa. Semua ada hikmahnya bukan?
Kubiarkan pikiranku menari-nari. Bilamana benar
ceritaku sedemikian serupa, aku pasti akan memilihmu, persaudaraan kita terlalu
indah untuk dicukupkan. “Dia” dihadirkan hanya menjadi bagian penggenap kisah,
untuk tahu kita menjadi lebih dekat atau justru jauh, dariNya. Itu saja J