Kami duduk
berhadapan. Seorang ibu paruh baya, bersama seorang anak kecil usia awal
belasan. Tak terlalu kuperhatikan, kami sama-sama penumpang yang sedang menuju
suatu tempat, dengan tujuan masing-masing. Terhalang beberapa wajah yang
berdiri di tengah-tengah tempat duduk, sebelum mereka pada akhirnya turun di
halte kedua. Bis kembali melaju. Jam sudah menunjukkan dua puluh menit lebihnya
dari pukul sembilan pagi. Aku hanya menarik nafas, berusaha untuk tepat waktu,
namun tetap saja, terlambaaat.
Hingga tetiba, ada
raut yang berbeda dari wajah ibu paruh baya di depanku itu.
" Lho Mbak, ini nggak ke rumah sakit
hardjolukito?". Tanyanya antusias
" Turunnya di halte barusan Bu, kalau
mau kesana. Ibu nggak dengar barusan saya informasikan?" Dengan nada
sopan, perempuan penjaga pintu bis itu menjawab.
Ku tatap mata Ibu
itu, sayu. Wajahnya memerah menahan tangis. Tangannya gemetaran, sembari
memegang plastik hitam besar, yang berisikan kertas lebar, entah apa.
" Saya sedang panik Mbak, buru-buru,
dan nggak konsentrasi. Tadi kata petugas tempat saya naik, nggak pake
transit". Suaranya mulai parau. Duduknya sudah tidak tenang lagi.
Berganti-ganti posisi, seolah ingin turun saja, dan melakukan apapun untuk bisa
bersegera sampai sana.
Ada rasa iba,
kasihan, dan juga rasa bersalah. Dalam situasi seperti ini, saat seseorang
dalam posisi benar-benar membutuhkan pertolongan, kitapun tak berdaya, tak bisa
melakukan apa-apa. Setidaknya, andai saja aku duduk di sampingnya, bertanya
kemanakah tujuannya, mungkin saja aku bisa memberitahunya kapan harus turun.
Ah, sudah terlanjur.
Kutatap bola matanya, dan beliau juga menatapku dengan tajam,
ada sesuatu yang ingin terucap namun tertahan "Ibu, bicaralah, kalau
memang ingin berkeluh, menceritakan kepedihanmu". Dalam hati ku berkata.
Semakin lama ku menatapnya, dan beliaupun juga tak berpaling.
"Jam
berapa harusnya sampai sana Ibu?" Pertanyaan klise, karena aku tak bisa
memaksanya untuk berbicara tiba-tiba.
"Seharusnya
jam delapan Mbak." Berbisik lirih sembari menyeka air mata.
Tak ada yang kutanyakan lagi, diam. Bagiku, berjibaku dengan
waktu, Rumah Sakit, Tetesan air mata, Sorot kepanikan, ah, sesuatu yang tidak
lagi bisa dibeli dengan uang, tentang nasib, dirinya atau orang-orang tercinta.
Mungkinkah? *Semoga Allah memudahkan urusan, dan memberikan skenario terbaikmu
Ibu :) Maafkan untuk diri ini yang hanya sanggup membisu melihatmu seperti itu
:(