Follow Us @whanifalkirom

Selasa, 30 Agustus 2016

KEHILANGAN

13.21 0 Comments
Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami? Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
(Tere Liye, dalam Novel Rindu)

#Karena kita hidup di dunia, ibarat seorang tukang parkir. Ketika berpasang-pasang kendaraan silih datang bergantian, tak ada pilihan selain menjaganya. Namun ketika kemudian berlalu satu-satu, tak ada pilihan selain membiarkannya pergi dibawa sang pemiliknya. Begitulah hakikat kehidupan. Tak ada sesuatupun yang sejatinya milik kita, ia hanyalah titipan yang diamanahkan.

#Karena tak pernah ada makhluk yang abadi. Sesuatu yang dicipta akan musnah, sesuatu yang bernyawa akan mati. Kekal itu hanya ada pada Dzat Yang Maha Tinggi.

#Untuk itu, jangan pernah merasa kehilangan. Karena Dia tahu kapan waktu terbaik untuk’nya’ menjauh pergi, dan akan terganti.

#Bersyukurlah, maka nikmat yang Ia hadirkan akan bertambah-tambah :)

Jumat, 12 Agustus 2016

Pulang

06.12 0 Comments
Duhai sahabatku, sepanjang hidup di dunia ini adalah sebuah proses belajar. Proses yang tidak akan pernah ada berhentinya hingga mata menutup usia. Sepanjang hidup di dunia ini adalah soal menghargai proses yang sedang terlewati. Tidak ada yang pantas dicela, tidak ada yang pantas dihina, apalagi hingga merasa ‘lebih baik’ dari sekeliling yang ada.
Maka, sepanjang hidup di dunia ini adalah tentang bersama-sama saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Mengingatkan tanpa menyakiti, mendukung tanpa meminta balasan, menegur tanpa menghakimi, mengajak tanpa berharap penghargaan, memperbaiki tanpa mempermalukan. Maka, sepanjang hidup di dunia ini adalah soal doa dan kepasrahan. Meminta supaya Allah melunakkan hati untuk menerima dan mengajak kepada kebaikan. Supaya Allah menganugerahkan kelembutan hati yang penuh ketulusan rasa berkasih sayang. Supaya Allah menjaga hati untuk tetap dalam keistiqomahan serta berpegang teguh pada kebenaran. Karena, tiada daya dan upaya, tanpa pertolonganNya..
***
Suatu ketika, perempuan itu berjalan dengan senyum merekah di bibirnya. Mengenakan t-shirt tanpa lengan dan celana sejengkal paha. Aduhai, siapa yang tidak mengenalnya? Si jelita dari negeri seberang yang pandai sekali memikat hati. Sekali dia memotong rambutnya, lihatlah esok hari, kau akan menemui perempuan-perempuan lain dengan potongan gaya rambut yang serupa. Sekali dia berganti style-nya berbusana, lihatlah esok hari kau akan menemui perempuan-perempuan lain dengan busana yang serupa. Si perempuan yang selalu merasa bahagia, hidupnya penuh dengan tawa. Sepi dan kesedihan? Ah semua ditepisnya. Pacar setia. Kerjaan terjamin. Ketenaran oke. Kecantikan diakui. Pergaulan sempurna. Ia menyukai pekerjaannya. Ia menyukai berkeliling pusat perbelanjaan seluruh sudut-sudut kota. Ia menyukai nongkrong bersama, menikmati ‘minum’ yang tersaji, menikmati rokok yang mengepul, menikmati musik yang mengalun. Ia menyukai duduk santai menatap layar bioskop. Ia menyukai terik matahari, hingga hujan deras sekalipun, asalkan bersama sang kekasih hati. Ah, sayang baginya untuk merasakan pulang, ketika hidupnya lebih menyenangkan habis di jalanan. Ruang kecil itu, hanya persinggahan saat tubuh mulai lelah, untuk kemudian tertidur, sejenak saja.
 Suatu ketika,  perempuan itu berjalan dengan hati yang retak-retak. Menggendong satu tas ransel berisi lipatan pakaian-pakaian mewahnya. Menikmati perjalanan dalam bis kota sambil menangis terisak. Entah, pada siapa harus mengadukan rasa, mengejawantahkan menjadi rangkaian kalimat saja bahkan tak tahu harus memulai dari mana. Semua bahagia dan tawa, lenyap seolah tak berbekas, tak tahu arah angin membawanya. Pacar setia? Ia tak lagi percaya sebuah kesetiaan. Kerjaan terjamin? Bahkan dalam sekejap surat pemberhentian itu tak akan lama lagi sampai tangannya. Ketenaran oke? Ia tak lagi membutuhkan sebuah ketenaran. Kecantikan diakui? Rupanya cantik punya andil besar menciptakan malapetaka. Pergaulan sempurna? Siapa sangka tak satupun yang bersedia menemani kepergian langkahnya. Ia pergi, dengan cibiran-cibiran kecil (bagi yang tahu), tatapan mata bengong (bagi yang menduga kenapa), senyum mengasihani (bagi yang sedikit punya empati). Ia pergi, untuk pulang. Pulang ke kampung halamannya. Pulang berdua, bersama janin di perutnya, yang kelak akan lahir dengan status tanpa ayah.
Suatu ketika, perempuan itu kembali berjalan dengan senyum merekah di bibirnya. Mengenakan kaos hitam lengan panjang, rok hitam panjang, dan jilbab hitam yang membalut di kepalanya. Duduk manis dalam sebuah ruko kecil menanti pelanggan. Bertutur dengan segenap kelapangan hati, bahwa ia, lain dulu lain sekarang. Bahwa penyesalannya, menguatkan hati untuk mendekat pada Sang Pemilik Kehidupan. Berharap bahwa hidupnya tak akan pernah lagi menjadi cerita. Tidak seperti saat ia banyak dipuji dan diikuti. Juga tidak seperti saat ia jatuh terpuruk menanggung kesalahannya sendiri. Biarlah, hidupnya biasa-biasa saja, asalkan bersamaNya. Hingga nanti, pada suatu waku ia pergi, untuk pulang yang sesungguhnya.
(Ide cerita dari sumber yang bersangkutan, terimakasih telah banyak mengajarkan)
***

“………..Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Q.S Al Baqarah : 222)

Sabtu, 06 Agustus 2016

Sajak Cinta

01.40 14 Comments
“Adakah sesuatu yang tak kau senangi?”
Ada.. Jatuh cinta sebelum waktunya
“Kenapa? Mencintai, dicintai itu fitrah manusia (The Fikr)”
Karena, bahkan harus berpikir seribu kali untuk sekedar tanya apa kabar
“Lalu?”
Tak ada. Istighfar saja kemudian
“Bersabarlah. Ada suatu waktu kau harus selalu memastikan dia baik-baik saja, tapi tidak sekarang”
Iya
“Kau merindukannya?”
Mungkin. Pada jarak-jarak yang tak mudah ditebak (ijonkmuhammad)
“Jika memang belum siap bersamanya, sampaikanlah perasaan itu pada angin saat menerpa wajah, pada tetes air hujan saat menatap keluar jendela, pada butir nasi saat menatap piring, pada cicak di langit-langit kamar saat sendirian dan tak tahan lagi hingga boleh jadi menangis. Dan jangan lupa, sampaikanlah pada Yang Maha Menyayangi, Semoga semua kehormatan perasaan itu dibalas dengan yang lebih baik (Tere Liye)”
Begitukah?
Orang-orang yang merindu, namun tetap menjaga kehormatan perasaannya, takut sekali berbuat dosa, memilih senyap, terus memperbaiki diri hingga waktu memberikan kabar baik, boleh jadi doa2nya menguntai tangga yang indah hingga ke langit. Kalaupun tidak dengan yang dirindukan, boleh jadi diganti yang lebih baik (Tere Liye)”
Perasaan ini membuatku takut
Cinta sejati itu kadangkala dekat dengan “takut”. Saat kita cemas jika cinta itu ternyata membawa keburukan, tidak-pantas, tidak sebanding, belum waktunya. Kemudian membuat kita melakukan refleksi, memikirkan banyak hal, untuk kemudian berusaha menjadi lebih baik, agar cinta itu menjadi pantas. Cinta sejati itu kadangkala dekat dengan “keraguan”. Saat kita maju-mundur, penuh tanda-tanya, gelisah, dan ragu-ragu. Kemudian membuat kita terus memperbaiki diri, mencari pegangan yang lebih kokoh, keyakinan, agar berani mengambil keputusan. Aduhai, cinta sejati itu kadangkala dekat dengan “pergi” hingga “melupakan”. Menyibukkan diri, membunuh semua kerinduan, menjaga jarak, menghindar dan sebagainya, hingga pergi jauh dalam artian sebenarnya. Kemudian terjadilah hal menakjubkan, saat jarak menjadi layu, waktu menjadi tiada berarti. Semua kembali ke titik semula saat berjodoh (Tere Liye).
Benarkah? Akankah ia kembali ke titik semula saat berjodoh?
“Percayalah, jodoh itu bukan masalah seberapa lama kau mengenalnya, seberapa akrab kau dengan orangtuanya, atau seberapa sering kau komunikasi dengannya. Tapi, seberapa yakin kau padaNya. Seberapa besar kepasrahan kau dengan takdirNya. Seberapa besar kau merayuNya. Seberapa semangat kau menyempurnakan ikhtiar mendapatkannya (Yusuf Mansur)”
Kesimpulannya?
“Kesimpulannya, kamu lebih baik tidur, sudah malam. Besok harus bangun pagi bukan?”
Ssssst, di luar sedang hujan
“Lantas?”
Mungkin aku sedang dekat dan bersua dengannya, dalam doa. Adakah yang lebih indah, selain doa-doa yang menyatu saat hujan deras?
“Baiklah, Semoga berkah dan bahagia di akhir cerita”
Aamiin
“Jangan lupa berterimakasih”
Pada siapa?”
“Hatimu dan hatinya. Karena telah menjaga dan bersedia bersabar. Bersabar terhadap perasaan yang sedang tumbuh, ingin sekali mekar, ingin sekali segera ranum. Akan tetapi masih percaya bahwa untuk menjadi mekar, perlu waktu (Kurniawan Gunadi)”


#Wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamaMu…..
#Untuk hati-hati dan para penanti yang sedang berusaha menjaga diri
#Yogyakarta, malam, hujan, dan doa :)

Jumat, 05 Agustus 2016

(Resensi) Matahari

06.41 1 Comments

Judul : Matahari
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia
Tebal Buku : 400 hlm; 20 cm
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2016
Harga : Rp. 82.000 (http://tbodelisa.blogspot.com/)

Sinopsis Buku:  
Namanya Ali, 15 tahun, kelas X. Jika saja orangtuanya mengizinkan, seharusnya dia sudah duduk di tingkat akhir ilmu fisika program doktor di universitas ternama. Ali tidak menyukai sekolahnya, guru-gurunya, teman-teman sekelasnya. Semua membosankan baginya.

Tapi sejak dia mengetahui ada yang aneh pada diriku dan Seli, teman sekelasnya, hidupnya yang membosankan berubah seru. Aku bisa menghilang, dan Seli bisa mengeluarkan petir.

Ali sendiri punya rahasia kecil. Dia bisa berubah menjadi beruang raksasa. Kami bertiga kemudian bertualang ke tempat-tempat menakjubkan.

Namanya Ali. Dia tahu sejak dulu dunia ini tidak sesederhana yang dilihat orang. Dan di atas segalanya, dia akhirnya tahu persahabatan adalah hal yang paling utama.
***
Murni Copast dari blog teman, baca versi lengkap dan aslinya di sini
Belum baca nih, kalau ada yang punya boleh donk pinjam :) :) :)

Kamis, 04 Agustus 2016

22.00 0 Comments
Aku, bukan seorang yang baik hati yang kehadirannya sering dinanti....
Aku, sudah bahagia bila dalam banyak waktu menerima pesan “Mbak Haaniif, butuh sandaran”. Aku, sudah bahagia bila ada yang mengingatku tentang biru, awan-awan di langit, hujan dan segala tentangnya. Aku, sudah bahagia bila ada yang menyapaku “Haaaaniiiiiiiffff atau Kirooooooooooom”. Aku, sudah bahagia bila pernah ada yang memanggilku dengan sebutan baru “Nduk, Nipo, Hanhan, Nipnip, Jro, Tun, Mbakyu, Hansho, Ciint (dan entahlah banyak lagi)”. Bahkan, aku sudah bahagia bila ada adik-adik tempat mengajar selalu menggandeng-nggandeng tanganku, merengek lirih meminta kado ulangtahunnya (Meskipun entah, aku bisa memberi atau tidak).
Dan diantara yang sedikit itu, aku bersyukur, yang pasti hanya karena kemurahhatianNya Ia hadirkan kalian menjadi bagian penting dalam hidupku. Maaf untuk egoisnya diriku memintamu untuk tetap menjadi teman baikku, sementara aku tak bisa menjadi teman yang baik untukmu. Maaf juga, ternyata aku lebih banyak sekali merepotkanmu daripada sesekali membantumu. Tapi, terimakasih, kalian tetap menyambutku dengan sambutan yang sangat sangat hangat. Semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan.  *malu*
Iya, kalian, yang nama-namanya sebagian sudah tersemat di beranda ini. Ajak aku belajar, ajari aku untuk memiliki hati yang cantik (repost TereLiye), seperti kalian.
#Alhamdulillah. Maka, Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Engkau Dustakan?
#Menemukan spirit yang hilang (Edisicurcolnyaudahan, terimakasih untuk bait-bait panjang yang kalian dengarkan)

Selasa, 02 Agustus 2016

Bincang Bareng Ayah (BBA) #10

22.39 0 Comments
H-3 Menjelang lebaran. Rumah mulai ramai. Bukan kakak-kakakku yang sudah pulang, melainkan beberapa tamu yang datang silih berganti (entah ngapain). Usai siangi lembayung di dapur, aku berjalan keluar. Masih terlalu ‘pagi’ untuk ikut merusuhi masak-memasak menu buka puasa sore nanti. Kulihat ayahku duduk di kursi belakang rumah, sembari asyik memberi makan ayam-ayam kecil. Akupun mendekatinya. Ah, mungkin melihatku yang lama terdiam, beliau lantas membuka percakapan.
Bapak  : “Ada cangkriman Jawa nduk, didengerin yaa
Aku     : “Yaaa
Bapak  : “Ono wit dhikih woh dhikih, wit dhikih woh dhakah. wit dhakah woh dhikih, wit dhakah woh dhakah
Aku     : “Terus maksudnya?”
Bapak  : “Ya didengerin dulu, pernah denger apa nggak?”
Aku     : “Belum
Bapak  : “Wit dhikih woh dhikih, itu contohnya pohon cabe. Pohon dan buahnya kecil kan? Tapi siapa yang makan nggak merasa pedas? Dinikmati semua kalangan juga kan?”
Aku     : “Iya
Bapak  : “Itu gambaran untuk manusia. Tak mengapa jadi orang ‘kecil’. Tetaplah hidup yang bersahaja  dan sederhana. Namun saling bebrayan (nggak tau indo-nya), saling rukun, tumbuh bersama, dan saling membantu. Tentu, memetik hasilnya kemudian. Ibarat membuahkan cabe yang rasanya pedas dan dinikmati banyak orang, dengan hidup yang demikian membuahkan  keberhasilan hidup yang memberikan manfaat pada banyak orang pula
Aku     : “(diam tanpa kata)”
Bapak  : “Terus wit dhikih woh dhakah, ialah pohon semangka. Pohonnya kecil, tumbuh menjalar, merambat pelan-pelan. Tapi lihatlah, buahnya besar kan?. Itu juga punya maksud, jadilah manusia yang selalu maju. Tidak perlu minder, tidak perlu merasa rendah. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan dengan jalan masing-masing. Bahkan kalau dalam agama, semua orang sama, yang membedakan hanya taqwanya bukan?”
Aku     : “He’em
Bapak  : “Yang ketiga wit dhakah woh dhikih. Kalau ini, pohon beringin. Pohonnya besar, tapi buahnya, aduuh, kecil-kecil banget. Ini juga menggambarkan, jadilah orang kalau sudah mapan, sudah sukses, sudah berhasil, termasuk sudah jadi pemimpin ya seperti pohon beringin. Teduh dan mengayomi. Mengayomi siapa? Ya siapapun, semua orang, terutama orang yang benar-benar membutuhkan. Bukan malah semakin menelantarkan. Intinya, kedermawanan.  Selain manusia yang bisa berteduh dibawahnya, bahkan pohon beringin ternyata menjadi penyedia makanan bagi burung-burung, yaitu buah kecil-kecilnya
Aku     : “(Mulai angguk-angguk setuju) Nah tinggal yang terakhir ya?”
Bapak  : “Yaa, sebentaar. Sekarang yang terakhir. Wit dhakah woh dhakah itu pohon kelapa. Pohonnnya tinggi, besar, buahnya juga besar. Pohon kelapa lambang kebermanfaatan kan? Semua bagiannya berguna. Nah, jadilah orang yang selalu berusaha untuk tumbuh seperti pohon kelapa, yang selalu memberi manfaat untuk orang lain. Khoirunnas anfa’uhum linnas. Wis, mudeng?
Aku     : “Mudeng mudeng Pak (Sambil tertawa. Sebab aku menduga, nanti mas ipar datang Bapak akan mengulang cerita demikian, dan aku sudah bisa menimpali, sedangkan mas ipar mah masih senyum-senyum saja. Hhe)