H-3 Menjelang lebaran. Rumah mulai ramai. Bukan kakak-kakakku
yang sudah pulang, melainkan beberapa tamu yang datang silih berganti (entah
ngapain). Usai siangi lembayung di dapur, aku berjalan keluar. Masih terlalu ‘pagi’
untuk ikut merusuhi masak-memasak menu buka puasa sore nanti. Kulihat ayahku
duduk di kursi belakang rumah, sembari asyik memberi makan ayam-ayam kecil.
Akupun mendekatinya. Ah, mungkin melihatku yang lama terdiam, beliau lantas
membuka percakapan.
Bapak : “Ada cangkriman
Jawa nduk, didengerin yaa”
Aku : “Yaaa”
Bapak : “Ono wit dhikih woh dhikih, wit dhikih woh dhakah. wit dhakah woh
dhikih, wit dhakah woh dhakah”
Aku : “Terus
maksudnya?”
Bapak : “Ya didengerin
dulu, pernah denger apa nggak?”
Aku : “Belum”
Bapak : “Wit dhikih woh dhikih, itu contohnya pohon cabe. Pohon dan
buahnya kecil kan? Tapi siapa yang makan nggak merasa pedas? Dinikmati semua
kalangan juga kan?”
Aku :
“Iya”
Bapak : “Itu gambaran untuk manusia. Tak mengapa jadi orang ‘kecil’. Tetaplah
hidup yang bersahaja dan sederhana. Namun
saling bebrayan (nggak tau indo-nya), saling rukun, tumbuh bersama, dan
saling membantu. Tentu, memetik hasilnya kemudian. Ibarat membuahkan cabe yang
rasanya pedas dan dinikmati banyak orang, dengan hidup yang demikian membuahkan
keberhasilan hidup yang memberikan
manfaat pada banyak orang pula”
Aku :
“(diam tanpa kata)”
Bapak : “Terus wit dhikih woh dhakah, ialah pohon semangka. Pohonnya
kecil, tumbuh menjalar, merambat pelan-pelan. Tapi lihatlah, buahnya besar kan?.
Itu juga punya maksud, jadilah manusia yang selalu maju. Tidak perlu minder,
tidak perlu merasa rendah. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk meraih
kesuksesan dengan jalan masing-masing. Bahkan kalau dalam agama, semua orang
sama, yang membedakan hanya taqwanya bukan?”
Aku :
“He’em”
Bapak : “Yang ketiga wit dhakah woh dhikih. Kalau ini, pohon beringin.
Pohonnya besar, tapi buahnya, aduuh, kecil-kecil banget. Ini juga
menggambarkan, jadilah orang kalau sudah mapan, sudah sukses, sudah berhasil,
termasuk sudah jadi pemimpin ya seperti pohon beringin. Teduh dan mengayomi.
Mengayomi siapa? Ya siapapun, semua orang, terutama orang yang benar-benar membutuhkan.
Bukan malah semakin menelantarkan. Intinya, kedermawanan. Selain manusia yang bisa berteduh dibawahnya,
bahkan pohon beringin ternyata menjadi penyedia makanan bagi burung-burung,
yaitu buah kecil-kecilnya”
Aku :
“(Mulai angguk-angguk setuju) Nah tinggal yang terakhir ya?”
Bapak : “Yaa, sebentaar. Sekarang yang terakhir. Wit dhakah woh dhakah
itu pohon kelapa. Pohonnnya tinggi, besar, buahnya juga besar. Pohon kelapa lambang
kebermanfaatan kan? Semua bagiannya berguna. Nah, jadilah orang yang selalu
berusaha untuk tumbuh seperti pohon kelapa, yang selalu memberi manfaat untuk
orang lain. Khoirunnas anfa’uhum linnas. Wis, mudeng?”
Aku :
“Mudeng mudeng Pak (Sambil tertawa. Sebab aku menduga, nanti mas ipar
datang Bapak akan mengulang cerita demikian, dan aku sudah bisa menimpali, sedangkan
mas ipar mah masih senyum-senyum saja. Hhe)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar