Dari semua ketidaktahuan, dari sesaknya segala sedih dan gelisah, dari bahagia yang ingin dibagi, dari kesalahan-kesalahan yang akan terus diperbaiki, dari setiap jengkal perjalanan dalam rangka belajar. Menulis, jadikanlah ia salah satu obatnya :)
Ada yang nampak wajahnya enggan sekali tersenyum, bila
disapa menjawab sekedarnya tanpa jeda untuk bertatap mata, namun ternyata ia yang
akan berlari paling depan ketika melihat sahabatnya mengulurkan tangan
membutuhkan bantuan..
Ada yang seolah-olah
tak mengerti dan diam tak peduli, namun ternyata diamnya adalah memastikan kita
baik-baik saja tanpa harus selalu menunjukkan campur tangannya dalam setiap
masalah kita, diamnya adalah doa-doa, diamnya adalah menjaga kita dari
tumbuhnya hati yang luka, diamnya adalah karena kepercayaannya bahwa kita
bisa..
Seseorang
berkata “Sebenarnya aku asing dengan semua rutinitas disini”. Aku
menjawab “Begitu juga denganku”. Mungkin, keadaan yang sama menjadikan
lebih terbuka bukan? Ia melanjutkan “Kenapa setiap pagi harus membaca
yaasiin, bukan yang lain?” Aku menjawab “Sama sejujurnya aku juga tak
mengerti, tapi aku hanya modal yakin yaasiin adalah surat dalam Al Qur’an,
membacanya adalah sebuah kebaikan”. Jelas-jelas jawaban orang bodoh dan
dangkal ilmu sih.
Masalah-masalah
perbedaan dalam menjalankan rutinitas keagamaan memang tak pernah habis masa.
Sebagai orang yang ‘ngikut sana-sini selama saya rasa masih oke-oke saja’
rasanya malu yaa tak tahu menahu asal sebab muasalnya begini dan begitu. Kita
memang sekehendak memilih, tapi tentu memilih dengan dasar bukan?
Baiklah,
ketika aku melihatnya keukeuh dengan Al-Ma’tsuratnya disaat yang lain membaca
Yaasiin, aku lebih memilih ikut membaca yaasiin (dengan tetap membaca
al-ma’tsurat di lain waktu-kalau sempet :P). Ini bukan soal
‘perbedaannya’ (toh perbedaan mah nggakpapa, yang penting kan nggak saling
menganggap diri paling benar dan menyalahkan yang lain), tapi sebagai evaluasi dengan
begini aku rasa harus banyak menimba. Supaya, kelak nanti, jika dipertemukan
dengan banyak hal lain yang semakin berbeda, semakin arif pula dalam menyikapinya
J
Tujuan akhir kita sama bukan? -_-
#Akhirnya tanya
juga sih sama sahabat dekat yang santri
bangets, dijelaskan banyak hal, termasuk tentang Surat Yaasin yang merupakan
hatinya Al Qur’an. Terimakasih JJ
#Jadi inget
lagu “Sentuhlah dia tepat di hatinya, dia kan jadi milikmu selamanya”… (Nah,
mulailah…baper…sudah…stop)
Menyibukkan diri di dunia per-PAUD an. Menengok lembaran kertas yang pernah aku tulis, sejujurnya saya lupa persisnya kapan menulis itu. Tetapi bahkan ketika diri hampir lupa pernah menuliskannya, ketika doa-doa tak lagi sama, ternyata Allah menjawabnya, beberapa sekaligus kalau dicermati. Tetapi bahkan ketika diri masih diambang ragu, ketika pertanyaan-pertanyaan kecil melintas di kepala, ternyata tetap ada keyakinan untuk mempertahankannya. Dan semakin berjuang untuk itu. (Eh, btw kok nggak ada point menikah ya? Tapi ada point ketigabelas ding :P ).
Menjadi guru PAUD itu soal keteladanan. Bagaimana mungkin kita mengajarkan ini itu, menyuruh begini dan begitu, tapi kita justru melakukan sebaliknya. Sungguh anak-anak itu peka, sangat peka. Ada sebuah moment yang saya ingat. Suatu ketika seorang siswa mendapat lembaran kain yang saya bagikan untuk ditempel, dan beliaunya hendak memilih kain yang masih ada di tangan. Saat itu pula saya bilang, intinya, tidak boleh milih-milih. Waktu berlalu. Hingga di suatu waktu, dari luar ruangan terdengar nama saya disebut-sebut “Nanti Bu Ayu marah kalau kamu begitu”. Sontak saya keluar dan kemudian bertanya kenapa nama saya disebut-sebut, ada kata marah lagi. Dan si anak menjawab “Soalnya tadi dia pilih-pilih mainan”. Padahal dulu, si anak ini, duduknya berlainan meja dengan anak yang meminta kain tadi. Padahal, selain posisi duduk yang jauh, dulu si anak ini juga sedang asyik dengan aktivitasnya sendiri. Jika hal-hal semacam itu, yang kita anggap angin lalu ternyata terekam dalam memori anak, bagaimana dengan yang lain? Menjadi guru PAUD itu soal kesabaran. Semua orang pasti tahu itu :D Hehe Menjadi guru PAUD itu soal mengasah kreativitas sepanjang waktu. Seringkali saya berekspetasi sesuatu, namun ternyata harapan tak sesuai dengan kenyataan. Dalam benak, akan ada banyak hal-hal yang menarik di dalam kelas jika aktivitas sudah (saya anggap) sedemikian rupa. Namun ternyata, ohiyaa, sadar lagi, ini anak PAUD bukan anak SD yang sudah mudah di atur dan paham konsekuensi dari aturan. Hehe. Alhasil, yang saya kira luar biasa ternyata tidak begitu membangkitkan antusiasme anak, justru sebaliknya, semakin kacau suasana. Kalau sudah begini, mana plan A, B, C, bahkan D? Selalu menjadi PR yang saya sendiri masih harus terus mencari Menjadi guru PAUD itu soal pandai-pandai manajemen waktu. Apalah arti ‘alokasi’ untuk mengerjakan yang lain, sementara masih ada anak-anak di samping? Ibu ibu anak satu saja banyak curhat, tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga kalau si anak tidak tidur. Apalagi di sekolah, yang tentu jumlah anaknya baanyaak. Sefokus-fokusnya dengan apa yang dihadapan, masih harus lirik-lirik kesana kemari, dan harus terhenti sekali dua kali tiga kali kalau tetiba ada yang bilang “Bu guru, mau pipiiisss”. Endingnya, perlu menyusun jadwal lagi untuk kerjaan di luar sekolah. Bahkan untuk urusan mencuci baju contohnya, mau tidak mau seharusnya ada list mencuci baju setiap hari (supaya sedikit, tidak menumpuk, dan tidak memakan waktu lama). Menjadi guru PAUD itu soal melatih bakat intuisi. Melihat anak murung, belajar menebak kenapa. Menyaksikan anak ngompol di celana, belajar mencari tahu apa sebabnya. Mendengar anak bicara buruk, belajar menggali dari mana muasalnya. Mendapati anak berperilaku ‘aneh’, belajar menganalisis sumber masalahnya. Tapiii, ternyata tak berhenti sampai situ. Karena, terkadang ketika berhasil memperbaiki anak yang dianggap susah, di sisi lain gagal mempertahankan anak yang dianggap mudah. Mengamati lagi, bertanya-tanya kenapa lagi, harus bagaimana lagi… Menjadi guru PAUD itu soal menjaga keikhlasan beramal. Apalagi kalau tanya soal berapa gaji. Hihi. Semoga Allah senantiasa mudahkan dengan pertolongan-pertolonganNya :D Jadi teringat kata Uwik suatu sore menjelang senja “Karena rahmat Allah kita bisa berbuat baik (beramal) termasuk dalam hal berdoa supaya kembali mendapatkan rahmatNya untuk kembali berbuat baik (beramal)”. Yah begitu lah ending tulisannya, jangan lupa terus berdo’a dan mendo'akan.
Tidak ada kembang api, tidak ada keluar bareng teman-teman, just as usual, di rumah, dan tidur. Terkadang, hati masih menolak untuk tahu kalau tahun telah bertambah. Sekeliling kita telah berubah. Karena apa? Karena kita (saya lebih tepatnya), merasa berjalan di tempat. Baiklah semoga tahun ke depan, ada banyak kabar baik yang telah Allah skenariokan.
Resolusi? I have made it. Tidak ada yang muluk memang, lebih banyak pada bagaimana memperbaiki diri. Optimis donk. Setiap orang berhak untuk belajar.