Follow Us @whanifalkirom

Kamis, 03 Januari 2013

Les Choristes

Menceritakan sebuah sekolah asrama di Perancis bernama “Fond De L’Etang” yang murid-muridnya sulit diatur & nakal. Mereka biasa merokok meskipun dilarang, mencuri, mengerjai seorang pembersih jendela, merusak fasilitas, atau bermain lempar-lemparan di dalam kelas.
Sekolah tersebut dikepalai oleh Rachin, seseorang yang tegas, keras, dan kejam. Prinsip yang digunakan adalah ada aksi ada reaksi, dimana seorang murid melakukan kesalahan akan dihukum. Jika tidak diketahui pelakunya maka semua murid mendapat sanksinya, atau bahkan menuduh sembarangan tanpa bukti yang jelas. Hukuman yang diberikan bukan hukuman ringan, sebagai contohnya dikunci dalam ruangan yang gelap selama beberapa hari & tidak menerima pengunjung, menerima pukulan dan cambukan, di skors untuk tidak mengikuti pelajaran, membersihkan rumah asrama selama 2 minggu, dan lain sebagainya.


Karena sifat Rachin yang begitu semena-mena dan egois, semua murid takut padanya. Bahkan para pengawas pun tidak ada yang berani melawan. Kehidupan sekolah yang menakutkan tersebut selalu dijalani oleh para muridnya. Mereka merasakan bahwa tidak pernah ada waktu untuk bersenang-senang. Jadi, jalan satu-satunya supaya bisa puas adalah dengan melakukan kenakalan-kenakalan yang bagi mereka hanyalah sebuah lelucon untuk membuat tertawa.
Di sekolah tersebut, terkenal nama-nama yang dianggap sebagai biang keladi kejahatan-kejahatan yang terjadi. Mereka adalah Le Querrec dan Pierre Morhange. Pak Regent, seorang pengawas lama memberitahu kepada pengawas penggantinya (Clement Mathew) untuk berhati-hati kepada dua nama itu. Karena, mereka cenderung diam dan wajahnya tidak menunjukkan perilakunya.
Akan tetapi, Clement Mathew mempunyai cara pandang yang berbeda dalam bagaimana menghadapi murid-murid yang seperti itu. Hukuman bukan jalan yang tepat untuk mengatasi kenakalan mereka. Ia selalu melindungi muridnya, mengganti hukuman dengan memberi sesuatu yang lebih mendidik, dan memperjuangkan murid-murid yang tidak bersalah. Dengan kegigihan dan keberaniannya, ia membawa perubahan besar pada sekolah tersebut, berjasa bagi murid-muridnya. Karenanya pula, Rachin dapat dikeluarkan dari sekolah akibat dari ketidakadilan selama ini.

Analisis Tokoh -Pierre Morhange-
Seperti telah disebutkan di atas, Morhange adalah salah satu murid yang dikenal sebagai anak paling nakal. Ia tidak mempunyai orangtua yang lengkap, yaitu hanya ibunya saja. Morhange mempunyai talenta dalam bidang musik, khususnya dalam bernyanyi.
Karakter :
1.        Pendiam
Sifat ini bisa dilihat dari kebiasaan Morhange yang tidak banyak bicara. Selain itu, apabila ditanya jawabannya selalu singkat. Bahkan kadang hanya mengangguk atau menatap wajah lawan bicaranya saja.
2.        Tertutup
Karena sifatnya yang pendiam, Morhange juga bisa dibilang seorang anak yang tertutup. Ia tidak pernah bercerita kepada teman-teman di sekitarnya.
3.        Penurut
Meskipun dikenal nakal, tetapi Morhange adalah seorang yang penurut. Saat disuruh maju ke depan, ia pun maju. Saat diberi hukuman, ia diam dan  tidak pernah melawan.
4.        Semangat
Setelah Morhange ikut dalam grup kor, ia sangat bersemangat untuk latihan. Bahkan, hal yang belum diajarkanpun ia sudah berlatih sendiri. Selain itu, ia juga tekun sehingga pada masa tuanya menjadi orang yang sukses sebagai musisi.
Dalam bidang pendidikan, Rogers (Rachmahana, 2008) mengutarakan pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan.
Setiap orang memiliki hasrat untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Di dalam kelas, seharusnya anak-anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya. Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Belajar akan bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Belajar yang paling bermanfaat ialah bejar tentang proses belajar. Dan dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.
Namun pada kenyataannya di Fond De L’Etang tidak pernah menerapkan prinsip-prinsip itu. Anak hanya harus patuh pada para pengajarnya, tidak boleh membantah, dan apabila melakukan kesalahan maka harus dihukum. Penerapan pembelajaran yang seperti itu sangat berpengaruh kepada murid-muridnya. Seorang Pierre Morhange, yang mempunyai keahlian dalam bidang menyanyi menjadi tidak berkembang. Bahkan pihak sekolah tidak pernah mengetahuinya, karena bagi mereka semua anak disitu tidak bisa melakukan apapun. Selain itu, Morhange menjadi tidak mengikuti pelajaran dengan baik. Di dalam kelas dia pernah mencatat bahwa Rachin memakan begitu banyak kotoran. Karena kemudian ketahuan, maka Morhange dihukum didalam ruangan yang gelap dan terkunci.
Menurut Rogers (Schultz, 1991), perkembangan seseorang apakah akan menjadi sehat atau tidak tergantung pada cinta yang diterima anak itu dalam masa kecil. Pada waktu diri mulai berkembang, anak juga belajar membutuhkan cinta. Kebutuhan ini biasa disebut “penghargaan positif” (positif regard). Self-concept yang berkembang dari anak sangat dipengaruhi oleh sejauh mana positif regard tersebut terpenuhi. Apabila anak biasa menerima penolakan, ia akan menjadi peka terhadap setiap tanda penolakan dan segera mulai merencanakan tingkah lakunya menurut reaksi yang diharapkan akan diberikan.
Dalam kehidupan Morhange kebutuhan positif regard belum terpuaskan. Ia tinggal di lingkungan sekolah yang jauh dari ibunya. Kasih sayang, cinta, dan perhatian untuk dirinya menjadi sangat kurang. Apalagi terkadang ibunya tidak mengakui kelebihan-kelebihan yang ia punya. Kehidupan seperti ini biasa ia lalui. Sehingga ia tumbuh menjadi seorang yang penurut dalam menerima setiap hukuman. Ia juga tumbuh menjadi seorang pendiam dan melakukan kenakalan-kenakalan sehingga orang memperhatikan dia sebagai anak yang nakal. Kebutuhan kasih sayang ini bisa dilihat pada saat Morhange rela tidak masuk hanya karena mengklarifikasi perkataan Mondain tentang ibunya. Ia mengharapkan bahwa ibunya memang baik dan perhatian, tidak seperti yang dikatakan Mondain.
Rogers percaya bahwa segi kecenderungan aktualisasi diri ditemukan dalam semua makhluk yang hidup. Aktualisasi merupakan dorongan bagi orang yang mempunyai kepribadian sehat (berfungsi sepenuhnya). Rogers menyatakan bahwa aktualisasi diri merupakan sebuah proses.
Kasus-kasus di atas, kondisi pembelajaran dan kebutuhan positif regard yang seperti itu menjadi penghambat Morhange dalam proses aktualisasi dirinya. Akan tetapi, kedatangan Mathiew sebagai pengawas baru memberi perubahan bagi dirinya. Hukuman-hukuman yang diterima tidak sebanyak sebelumnya, kemampuannya mulai dihargai dan tersalurkan dengan dibuatnya grup kor oleh Mathiew. Mathiew juga meyakinkan ibunya, bahwa Morhange adalah sosok anak yang patut dihargai. Karena sesungguhnya, ia luar biasa. Ia menjadi semangat dalam mengikuti latihan dan belajar. pada saat tampil dalam grup tersebut, wajahnya memberi isyarat rasa terima kasih dan permohonan maaf. Karena memang sebelumnya ada konflik pribadi dengan Mathiew dan akhirnya mereka saling berbaikan.
Pada saat Morhange sudah dewasa, Morhange bisa digolongkan mempunyai kepribadian yang sehat (berfungsi sepenuhnya). Ia mulai terbuka pada pengalaman. Setelah Mathiew mengusahakan Morhange untuk didaftarkan di sekolah musik, dengan bantuan calon ayahnya, Morhange bisa keluar dari Fond De L’Etang dan melanjutkan di sekolah musik. Ia tinggal bersama ibunya. Ia terbuka dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya, sehingga bisa terus berkembang di sekolah yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar