Follow Us @whanifalkirom

Rabu, 25 November 2015

Di Beranda Rumah Kita

06.02 0 Comments
IBU,
Aku mengingat suatu waktu di malam itu. Umurku belum genap  tujuh tahun.  Aku menangis, jungkir balik di atas kasur. Berkali kumur-kumur, berkali-kali sikat gigi, berkali-kali teriak menahan sakit. Berkali-kali engkau menghiburku, berkali-kali engkau mengoleskan minyak kayu putih di sekitar daguku, berkali-kali pula engkau memberi air hangat untukku. Ah, sakit gigi. Hingga jam menunjukkan hampir tengah malam, lebih dari pukul 11, sakitku tak kunjung mereda, meski tangisku tinggal isakan yang tersisa. Dan engkau, masih tetap terjaga. Mengajakku keluar, menyusuri jalanan yang gelap, menuju rumah bulek, dan kemudian kembali lagi ke rumah. Malam itu, kita bertiga bukan? Karena Bapak pun akhirnya ikut menemani. Tidak, tidak sembuh. Tetapi, setelah lelah berjalan, lelah menangis, akhirnya aku tertidur. Pulas.

Sekarang, usiaku sudah dua puluh, lebih dua tahun, lebih tujuh bulan. Tinggal tak lagi satu atap denganmu. Hingga suatu waktu, suhu tubuhku menghangat, hari itu aku tidak beranjak dari tempat tidur. Kukirim sebuah pesan “Ibu sedang apa?”, dan engkau menjawab “Sehat, nduk?”, lalu kubalas “Tidak”, berlanjut perbincangan singkat melalui telepon. Dan dikeesokan, kudapati sebuah pesan kala subuh hari “Nanti Ibu ke Jogja sama Yaya, berangkat jam 7, charter mobil”. Deg. Sebegitukah pedulinya seorang Ibu? Aku hanya demam biasa, hanya flu. Segera kukirim balasan untuk meminta membatalkan rencana itu.

Iya, Tidak berubah. Ibu, selalu menjadi orang pertama yang khawatir, siap ada dan terjaga saat kita sakit. Meski ku tahu, engkau sendiri sering abai, dengan kesehatanmu..

IBU,
Aku mengingat suatu hari di waktu itu. Saat matahari hampir tepat persis di atas kepala, menjelang dzuhur. Engkau bawa setumpuk pakaian kotor di dalam ember, peralatan mandi, juga sepasang baju bersih untuk berganti. Melesat melangkahkan kaki menuju sungai di bawah sana. Dan pesanmu selalu sama “Nanti segera shalat ya Nduk”. Lalu beberapa waktu kemudian, engkau pulang dengan seember pakaian yang sudah bersih, serta menjinjing satu ember air untuk persediaan di rumah. Dan pertanyaanmu juga sama “Sudah shalat dzuhur Nduk?”. Aku mengangguk, meskipun tak jarang, aku berbohong. Maafkan Ibu,

Sekarang, pertanyaan rutin saat siang itu sudah tak perlu lagi engkau sampaikan padaku. Kita juga jarang bertemu, bukan? Kali ini, setiap senja di akhir pekan. Engkau bergegas mengambil air wudhu, berganti pakaian, mengambil kacamata, melangkah menuju musholla. Dan pesanmu selalu sama “Ayo ikut Ndhuk, ke musholla”. Adakalanya aku mengangguk mengiyakan, kemudian mengambil alih komando diantara anak-anak kecil, mengajari ngaji, bercerita, atau sekedar bermain tebak-tebakan. Namun, adakalanya juga aku menggelengkan kepala, beralasan capek, belum mandi, dan seterusnya. Dan juga, adakalanya aku meminta Ibu di rumah saja, menemaniku makan sambil bercengkrama. Maafkan Ibu,

Iya, tidak berubah. Ibu, selalu menjadi orang pertama yang mengingatkanku perihal ibadah. Ah, sudah sedewasa ini, aku sungguh merasa malu dengan semangat ibadahmu..

IBU,
Aku mengingat suatu masa di waktu itu. Kala rumah kita belum menjadi rumah yang sekarang. Rumah dengan sebuah jendela istimewa di sudut dapur. Engkau tahu kenapa istimewa? Karena aku pasti mendapatimu berdiri di balik jendela itu, saat berjalan turun dari angkutan umum sepulang sekolah di akhir pekan. Sambil tersenyum.

Sekarang, rumah kita tak lagi berjendela. Namun, kini kudapati keberadaanmu di depan pintu, saat suara motor memasuki halaman, sepulang dari Jogja di akhir pekan. Lagi-lagi, sambil tersenyum, kemudian mengulurkan tangan.

Iya, tidak berubah. Ibu, selalu menjadi orang pertama yang menyambut kehadiranku di rumah dengan senyumnya yang sebegitu ramah..

IBU,
Aku mengingat suatu pagi di waktu itu. Kala aku membuka lembaran demi lembaran buku kenangan milik salah satu kakakku. Ada sebersit harapan, ada sebuncah keinginan, untukku mengikuti jejaknya belajar di tempat yang sama. Dalam diamku, engkau berbicara penuh doa, semogaa. Dan ketika harap tak sampai, lagi-lagi kau menghiburku dengan doa, semogaa.

Sekarang, sudah bukan lagi waktuku untuk sekedar berpikir pendek tentang mengikuti jejak pendidikan yang sama. Namun, tentang ‘hidup’ yang sesungguhnya. Tentang sebuah kebersyukuran, tentang sebuah niat yang perlu diluruskan, tentang membangun keluarga yang penuh kebermanfaatan, tentang menjadi pribadi yaaang <em>baik</em> istilahnya. Dalam diamku, dalam candaku, dalam perbincanganku kepadamu, engkau selalu menjawabku dengan kata-kata penuh doa. Semogaa.. dan semoga..

Iya, tidak berubah. Ibu selalu menjadi orang pertama yang doanya membumbung, melangit, berharap yang terbaik untuk anak-anaknya.. Dalam segala situasi..

IBU,
Aku mengingat banyak peristiwa di waktu itu. Saat datang menghadiri wisuda salah satu kakakku, tetiba seorang anak laki-laki memukul kepalaku sambil berteriak “bajigur”. Engkau datang, tersenyum, mengelus kepalaku. Saat untuk pertamakalinya datang ke Jakarta, bermain-main di sebuah taman, saking senangnya aku duduk dengan sedikit pecicilan, kemudian jatuh. Engkau datang, membantuku bangun, mengajakku pergi, hah menyelamatkanku dari rasa malu.

Sekarang, sudah jarang yaa, ada waktu pergi bersama. Paling-paling hanya di akhir pekan, mengantarmu ke pasar, ke rumah saudara, atau kemanalah. Semoga, Desember nanti, menjadi perjalanan selanjutnya berkereta bersamamu, setelah menyambangi Surabaya dua tahun lalu..

Iya, tidak berubah. Ibu selalu menyenangkan menjadi teman bepergian. Dimanapun, aku selalu merasa aman. Semoga, untuk sekarang-sekarang ini, engkau juga akan merasa aman bila bepergian bersamaku, Ibu. Meski bisaku hanya sebatas menggandeng tanganmu saat menyeberang jalan :)
***
Seorang lelaki sedang thawaf dengan menggendong ibunya, maka laki-laki itu bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah -dengan ini- saya telah melaksanakan kewajiban saya kepadanya?” Rasulullah saw menjawab, “Tidak! Tidak sebanding dengan satu kali hentakan (saat melahirkan)!” (H.r al-Bazzar)

_Inspired by TheGreatPowrOfMother Karya Solikhin Abu Izzudin & Dewi Astuti

Senin, 23 November 2015

Bincang Bareng Ayah (BBA) #8

23.59 0 Comments
   
Malam semakin larut. Lalang kendaraan mulai terhenti, senyap, seolah rumahku jauh dari tepi jalanan. Ada aku sedang berbaring disamping ibuku. Ada mas ipar sedang menikmati seduhan kopi buatanku. Ada bapak sedang *senyum senyum sendiri. Tak ada hiburan televisi sebagaimana orang lain saat malam seperti ini, ya, kami memang tak punya televisi. Hening sesaat

Bapak    : "Prinsip kudu dicekel. Ora apik mbebedo, wong kang cacat, wong   kang bandha dianggep ora duwe. Wong kang kapinteran dianggep bodho. Justru kui dadi kawigaten wong ingkang linuwih. Ngekei payung wong kang kudanan. Ngekei teken wong kang kelunyon. Ngekei obor wong kang kepetengen.Mudheng karepe?" (menatap mas ipar)

      Aku      : "Batangane opo mas?" (sedikit menirukan gaya bapak)

      Mas ipar : *Senyum* (Ini responnya ga jauh beda sama aku, senyum-senyum aja)

Perbincangan berlanjut, dan akuu, mulai ngantuk. Ambil nasi, makan sajalaaah. hhe