Mengawali sebuah malam, mbak
tertua saya berpamitan sama Bapak, pulang ke rumahnya. Setelah sebelumnya,
anaknya beliau (baca : keponakan alias cucu Bapak) juga baru saja berpamitan.
Si keponakan saya ini seusia dengan saya, sudah bekerja, sudah menikah, dan katakanlah
sudah sangat mapan. Entah obrolan apa yang melatarbelakangi sebelum-sebelumnya,
Bapak duduk di “singgasananya”, sambil bergumam sendiri.
“Saiki ki yo
bungah ndelokke anak putu. Dhing podho ora biso ngerti opo kekarepane wong
tuwo. Karepe wong tuwo ki mbok yo bloko, saben sasi oleh sepiro, kecukupane,
kebutuhane. Senajan wong tuwo ora biso opo-opo, yo ben iso nyenggol-nyenggol
lan mbantu ngarahke kudu kepiye. Wong urip ki yo mung tulung tinulung anane. Kok
tekan saiki ora ono sing bloko pisan”
(Pada intinya,
Bapak mau tahu penghasilan anak-anaknya, beserta kebutuhannya. Jika satu
diantara anaknya “krisis” biar Bapak mencoba mengajak yang sudah “mapan” untuk
membantu, agar tumbuh kepekaan, empati, dan erat bersaudara. Membantu bukan
perihal memberi materi saja, tapi juga tentang memberi kesempatan dan peluang
untuk berkembang)
-diam-
-berlanjut menilai mbak yang pertama, dan mas yang
kedua-
-aku mendengar, tapi diam sama sekali tak menggubris-
“Mbuh ki,
sing jarene bar kuliah psikologi le nanggepi kepie” (Jelas ini ditujukan
untuk saya)
“Etok-etok ra krungu, Bapak..”
Kataku
***
Jawaban paling aman untukku
adalah memang “pura-pura tak mendengar”. Aku akan memilih diam, tidak tega
untuk menjawab. Karena aku tidak tega membiarkan mereka tidak tega terhadapku
:P
Maafkan Bapak, sepertinya
orangtua pun banyak cemas dan khawatir. Khawatir anaknya belum cukup mampu
menopang diri sendiri. Khawatir “saling peka dan saling peduli” sesama anak-anaknya
kurang. Dan mungkin, banyak kehawatir-khawatiran lainnya. Tapi percayalah, anak-anakmu
selalu berjuang…. :)