Follow Us @whanifalkirom

Rabu, 28 Maret 2018

Bincang Bareng Ayah (BBA) #12

00.36 0 Comments
Mengawali sebuah malam, mbak tertua saya berpamitan sama Bapak, pulang ke rumahnya. Setelah sebelumnya, anaknya beliau (baca : keponakan alias cucu Bapak) juga baru saja berpamitan. Si keponakan saya ini seusia dengan saya, sudah bekerja, sudah menikah, dan katakanlah sudah sangat mapan. Entah obrolan apa yang melatarbelakangi sebelum-sebelumnya, Bapak duduk di “singgasananya”, sambil bergumam sendiri.
Saiki ki yo bungah ndelokke anak putu. Dhing podho ora biso ngerti opo kekarepane wong tuwo. Karepe wong tuwo ki mbok yo bloko, saben sasi oleh sepiro, kecukupane, kebutuhane. Senajan wong tuwo ora biso opo-opo, yo ben iso nyenggol-nyenggol lan mbantu ngarahke kudu kepiye. Wong urip ki yo mung tulung tinulung anane. Kok tekan saiki ora ono sing bloko pisan
(Pada intinya, Bapak mau tahu penghasilan anak-anaknya, beserta kebutuhannya. Jika satu diantara anaknya “krisis” biar Bapak mencoba mengajak yang sudah “mapan” untuk membantu, agar tumbuh kepekaan, empati, dan erat bersaudara. Membantu bukan perihal memberi materi saja, tapi juga tentang memberi kesempatan dan peluang untuk berkembang)
-diam-
-berlanjut menilai mbak yang pertama, dan mas yang kedua-
-aku mendengar, tapi diam sama sekali tak menggubris-
Mbuh ki, sing jarene bar kuliah psikologi le nanggepi kepie” (Jelas ini ditujukan untuk saya)
Etok-etok ra krungu, Bapak..” Kataku
***
Jawaban paling aman untukku adalah memang “pura-pura tak mendengar”. Aku akan memilih diam, tidak tega untuk menjawab. Karena aku tidak tega membiarkan mereka tidak tega terhadapku :P
Maafkan Bapak, sepertinya orangtua pun banyak cemas dan khawatir. Khawatir anaknya belum cukup mampu menopang diri sendiri. Khawatir “saling peka dan saling peduli” sesama anak-anaknya kurang. Dan mungkin, banyak kehawatir-khawatiran lainnya. Tapi percayalah, anak-anakmu selalu berjuang…. :)