Follow Us @whanifalkirom

Senin, 18 Mei 2020

Rara~

21.02 0 Comments



Sudah lama tidak iseng menulis, tahu-tahu Rara sudah besar. Melihat foto-foto lama ketika baru pertamakalinya dia lahir, terharu. Terimakasih yaa, selalu menjadi teman ibuk kemana-mana.

Masih ingat persis awal tahu hamilnya.
Waktu itu kakiku capek, rasanya beraaaaat sekali menopang beban tubuh. Ah, mungkin saja itu hanyalah akumulasi dari capek usai mudik Sumatra yang memakan waktu puluhan jam naik bus. Perjalanan terjauh selama ini. Sempat satu hari ijin untuk tidak masuk mengajar, periksa ke dokter, dan dibilang radang sendi pangkal paha. Wah. Minum obat dari dokter sudah, berkurang, tapi tak seberapa. Menyadari bahwa aku juga terlambat menstruasi, “Jangan-jangaaaan aku hamil”. “Tapi, tidak-tidak, terlambat juga wajar kan kalau kondisi badan sedang capek”. Genap delapan hari terlambat, daann memang garis dua. Alhamdulillah, senang sekali kala itu.

Jika kamu merasa mual, lebih mudah capek, perut tidak enak, pusing, dan keluhan lainnya. Selama kamu masih bisa tertawa, dan menahan itu semua, maka itu wajar sewajarnya orang hamil. Kecuali kamu merasa sakit perut yang tak tertahan hingga bahkan pendarahan, atau pusing yang diluar batas”. Kata bidan tempatku periksa pertama kalinya. Jadi? Kehamilanku cenderung kubawa santai, jarang sekali control (bahkan kalau orang bertanya usia atau ukuran janin, aku tidak tahu), Tidak ada satupun obat / vitamin tambahan yang aku minum. Aku masih kuat mengangkat benda-benda yang agak berat. Aku masih sering minum es (yang kalau ibuku tahu pasti akan marah), dan banyak hal lainnya yang mungkin bagi sebagian orang “pantangan”. Bagiku yang penting, tetap hati-hati, jaga kesehatan, dan serahkan penjagaan sepenuhnya padaNya. Udah, itu saja. Alhamdulillah.

Sekarang Rara sudah gede. Sudah suka teriak-teriak. Sudah merangkak, dan akan semakin cepat langkahnya sambil tertawa lepas kalau dikejar. Sudah bisa marah kalau barang yang dipegang diambil. Suka nggak sabaran kalau makanan sudah terlihat tapi belum disuapin. Suka sengaja membenturkan kepalanya sendiri pelan-pelan kalau nemu tembok. Sudah pandai geleng-geleng, dan tepuk-tepuk. Sudah lincah berbalik arah kalau tetiba denger openingnya video Nusa dan Rara. Sudah respon cepat kalau dipanggil. Suka menggenggam barang-barang kecil yang disukainya, sampe dibawa tidur. Takut sama boneka, takut sama mainan ­cow­ yang bisa jalan sendiri, takut sama ayahnya yang habis potong rambut. Dan tentu masih banyak hal lain, yang kami, sebagai orangtua selalu belajar dari proses tumbuh kembangnya. Terimakasih Rara

Yogyakarta, 18 Mei 2020


Kamis, 23 April 2020

Awal Weefha

11.05 0 Comments
16 Maret, hari pertama siswa belajar di rumah, tapi seluruh educator masih masuk. Hari-hari berikutnya, kami masuk bergantian. Seminggu kemudian, full semua educator melakukan pembelajaran dari rumah masing-masing. Masa pandemi seperti saat ini, Madrasah tempat saya mengajar terbilang awal mengeluarkan surat edaran untuk meliburkan siswa-siswa beserta gurunya. Eh, bukan libur, bukan. Belajar di rumah. Bukan hal mudah bagi kami (lebih tepatnya saya ding) menjalani keadaan seperti ini. Sebagai educator, yang Alhamdulillah difasilitasi Madrasah untuk beradaptasi dengan cepat, menjalani ritme yang jauh berbeda dari sebelumnya. Pembelajaran berganti melalui video yang diunggah melalui channel youtube, bertemu muka briefing alias meeting melalui zoom, stay melayani per-online nan whatsapp grup kelas sedari pukul 09.00-17.00, nge-submit daily report melalui google form tiap sore, daaaaannn disamping itu, karena kerja dari rumah, artinya di saat yang sama saya merangkap sebagai seorang istri, dan ibu.
Bosan? Tentu. Berkali-kali saya punya niat untuk mudik kampung halaman (mudik atau pulang kampung yaa?), tapi setelah mempertimbangkan banyak hal, urung. Berkali-kali mengajak keluar suami hanya sekedar berkendara sepeda motor, mengelilingi jalanan, tanpa singgah kemana-mana. Berkali-kali kami meributkan hal-hal yang tidak penting, soal manajemen waktu yang bagiku amburadul banget. Berkali-kali, bertanya dan menebak-nebak sampai kapan keadaan seperti ini akan berakhir (tapi tak terjawab).
Sabar”. Pada akhirnya kata itulah yang kemudian keluar sebagai jurus pamungkas. Bisa jadi, saya sering berharap untuk kembali ke rutinitas mengajar seperti biasa, namun bagi mereka yang masih harus berangkat bekerja, mungkin justru sebaliknya. Menginginkan berkerja di rumah karena lebih aman, dan tidak lagi was-was. Karena, keluar rumah berarti lebih rentan tertular. Itupun masih harus bersyukur, masih bekerja. Banyak di luar sana yang sedang bingung harus bagaimana karena mereka menjadi korban PHK, ataupun usaha kecil lain yang terdampak dan harus off sementara. Kita semua berproses, kita semua akan menjadi lebih baik. Yakini saja.

Positifnya, Rara fulltime bersama emak-bapaknya