Follow Us @whanifalkirom

Rabu, 25 November 2015

Di Beranda Rumah Kita

06.02 0 Comments
IBU,
Aku mengingat suatu waktu di malam itu. Umurku belum genap  tujuh tahun.  Aku menangis, jungkir balik di atas kasur. Berkali kumur-kumur, berkali-kali sikat gigi, berkali-kali teriak menahan sakit. Berkali-kali engkau menghiburku, berkali-kali engkau mengoleskan minyak kayu putih di sekitar daguku, berkali-kali pula engkau memberi air hangat untukku. Ah, sakit gigi. Hingga jam menunjukkan hampir tengah malam, lebih dari pukul 11, sakitku tak kunjung mereda, meski tangisku tinggal isakan yang tersisa. Dan engkau, masih tetap terjaga. Mengajakku keluar, menyusuri jalanan yang gelap, menuju rumah bulek, dan kemudian kembali lagi ke rumah. Malam itu, kita bertiga bukan? Karena Bapak pun akhirnya ikut menemani. Tidak, tidak sembuh. Tetapi, setelah lelah berjalan, lelah menangis, akhirnya aku tertidur. Pulas.

Sekarang, usiaku sudah dua puluh, lebih dua tahun, lebih tujuh bulan. Tinggal tak lagi satu atap denganmu. Hingga suatu waktu, suhu tubuhku menghangat, hari itu aku tidak beranjak dari tempat tidur. Kukirim sebuah pesan “Ibu sedang apa?”, dan engkau menjawab “Sehat, nduk?”, lalu kubalas “Tidak”, berlanjut perbincangan singkat melalui telepon. Dan dikeesokan, kudapati sebuah pesan kala subuh hari “Nanti Ibu ke Jogja sama Yaya, berangkat jam 7, charter mobil”. Deg. Sebegitukah pedulinya seorang Ibu? Aku hanya demam biasa, hanya flu. Segera kukirim balasan untuk meminta membatalkan rencana itu.

Iya, Tidak berubah. Ibu, selalu menjadi orang pertama yang khawatir, siap ada dan terjaga saat kita sakit. Meski ku tahu, engkau sendiri sering abai, dengan kesehatanmu..

IBU,
Aku mengingat suatu hari di waktu itu. Saat matahari hampir tepat persis di atas kepala, menjelang dzuhur. Engkau bawa setumpuk pakaian kotor di dalam ember, peralatan mandi, juga sepasang baju bersih untuk berganti. Melesat melangkahkan kaki menuju sungai di bawah sana. Dan pesanmu selalu sama “Nanti segera shalat ya Nduk”. Lalu beberapa waktu kemudian, engkau pulang dengan seember pakaian yang sudah bersih, serta menjinjing satu ember air untuk persediaan di rumah. Dan pertanyaanmu juga sama “Sudah shalat dzuhur Nduk?”. Aku mengangguk, meskipun tak jarang, aku berbohong. Maafkan Ibu,

Sekarang, pertanyaan rutin saat siang itu sudah tak perlu lagi engkau sampaikan padaku. Kita juga jarang bertemu, bukan? Kali ini, setiap senja di akhir pekan. Engkau bergegas mengambil air wudhu, berganti pakaian, mengambil kacamata, melangkah menuju musholla. Dan pesanmu selalu sama “Ayo ikut Ndhuk, ke musholla”. Adakalanya aku mengangguk mengiyakan, kemudian mengambil alih komando diantara anak-anak kecil, mengajari ngaji, bercerita, atau sekedar bermain tebak-tebakan. Namun, adakalanya juga aku menggelengkan kepala, beralasan capek, belum mandi, dan seterusnya. Dan juga, adakalanya aku meminta Ibu di rumah saja, menemaniku makan sambil bercengkrama. Maafkan Ibu,

Iya, tidak berubah. Ibu, selalu menjadi orang pertama yang mengingatkanku perihal ibadah. Ah, sudah sedewasa ini, aku sungguh merasa malu dengan semangat ibadahmu..

IBU,
Aku mengingat suatu masa di waktu itu. Kala rumah kita belum menjadi rumah yang sekarang. Rumah dengan sebuah jendela istimewa di sudut dapur. Engkau tahu kenapa istimewa? Karena aku pasti mendapatimu berdiri di balik jendela itu, saat berjalan turun dari angkutan umum sepulang sekolah di akhir pekan. Sambil tersenyum.

Sekarang, rumah kita tak lagi berjendela. Namun, kini kudapati keberadaanmu di depan pintu, saat suara motor memasuki halaman, sepulang dari Jogja di akhir pekan. Lagi-lagi, sambil tersenyum, kemudian mengulurkan tangan.

Iya, tidak berubah. Ibu, selalu menjadi orang pertama yang menyambut kehadiranku di rumah dengan senyumnya yang sebegitu ramah..

IBU,
Aku mengingat suatu pagi di waktu itu. Kala aku membuka lembaran demi lembaran buku kenangan milik salah satu kakakku. Ada sebersit harapan, ada sebuncah keinginan, untukku mengikuti jejaknya belajar di tempat yang sama. Dalam diamku, engkau berbicara penuh doa, semogaa. Dan ketika harap tak sampai, lagi-lagi kau menghiburku dengan doa, semogaa.

Sekarang, sudah bukan lagi waktuku untuk sekedar berpikir pendek tentang mengikuti jejak pendidikan yang sama. Namun, tentang ‘hidup’ yang sesungguhnya. Tentang sebuah kebersyukuran, tentang sebuah niat yang perlu diluruskan, tentang membangun keluarga yang penuh kebermanfaatan, tentang menjadi pribadi yaaang <em>baik</em> istilahnya. Dalam diamku, dalam candaku, dalam perbincanganku kepadamu, engkau selalu menjawabku dengan kata-kata penuh doa. Semogaa.. dan semoga..

Iya, tidak berubah. Ibu selalu menjadi orang pertama yang doanya membumbung, melangit, berharap yang terbaik untuk anak-anaknya.. Dalam segala situasi..

IBU,
Aku mengingat banyak peristiwa di waktu itu. Saat datang menghadiri wisuda salah satu kakakku, tetiba seorang anak laki-laki memukul kepalaku sambil berteriak “bajigur”. Engkau datang, tersenyum, mengelus kepalaku. Saat untuk pertamakalinya datang ke Jakarta, bermain-main di sebuah taman, saking senangnya aku duduk dengan sedikit pecicilan, kemudian jatuh. Engkau datang, membantuku bangun, mengajakku pergi, hah menyelamatkanku dari rasa malu.

Sekarang, sudah jarang yaa, ada waktu pergi bersama. Paling-paling hanya di akhir pekan, mengantarmu ke pasar, ke rumah saudara, atau kemanalah. Semoga, Desember nanti, menjadi perjalanan selanjutnya berkereta bersamamu, setelah menyambangi Surabaya dua tahun lalu..

Iya, tidak berubah. Ibu selalu menyenangkan menjadi teman bepergian. Dimanapun, aku selalu merasa aman. Semoga, untuk sekarang-sekarang ini, engkau juga akan merasa aman bila bepergian bersamaku, Ibu. Meski bisaku hanya sebatas menggandeng tanganmu saat menyeberang jalan :)
***
Seorang lelaki sedang thawaf dengan menggendong ibunya, maka laki-laki itu bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah -dengan ini- saya telah melaksanakan kewajiban saya kepadanya?” Rasulullah saw menjawab, “Tidak! Tidak sebanding dengan satu kali hentakan (saat melahirkan)!” (H.r al-Bazzar)

_Inspired by TheGreatPowrOfMother Karya Solikhin Abu Izzudin & Dewi Astuti

Senin, 23 November 2015

Bincang Bareng Ayah (BBA) #8

23.59 0 Comments
   
Malam semakin larut. Lalang kendaraan mulai terhenti, senyap, seolah rumahku jauh dari tepi jalanan. Ada aku sedang berbaring disamping ibuku. Ada mas ipar sedang menikmati seduhan kopi buatanku. Ada bapak sedang *senyum senyum sendiri. Tak ada hiburan televisi sebagaimana orang lain saat malam seperti ini, ya, kami memang tak punya televisi. Hening sesaat

Bapak    : "Prinsip kudu dicekel. Ora apik mbebedo, wong kang cacat, wong   kang bandha dianggep ora duwe. Wong kang kapinteran dianggep bodho. Justru kui dadi kawigaten wong ingkang linuwih. Ngekei payung wong kang kudanan. Ngekei teken wong kang kelunyon. Ngekei obor wong kang kepetengen.Mudheng karepe?" (menatap mas ipar)

      Aku      : "Batangane opo mas?" (sedikit menirukan gaya bapak)

      Mas ipar : *Senyum* (Ini responnya ga jauh beda sama aku, senyum-senyum aja)

Perbincangan berlanjut, dan akuu, mulai ngantuk. Ambil nasi, makan sajalaaah. hhe

Jumat, 18 September 2015

Bincang Bareng Ayah (BBA) #7

19.00 0 Comments
Pagi hampir beranjak. Seiring matahari yang kian hangat, embun diatas bebatuanpun mulai mengering. Angin berhembus semakin kencang, menambah suara berisik daun-daun yang bergesekan. Langit diatas begitu cerah, awan-awan kecil berarak, dan rembulan sabit itu masih nampak dibaliknya, meski samar.

"Warna langit yang sempurna". Gumamku..

Aku menghentikan langkah persis di halaman itu, menatap sekeliling. Kuamati lekat-lekat. Pohon-pohon tinggi yang menjulang, Rindang dedaunan yang meneduhkan, Ayam-ayam yang mencari makan, Setumpuk kayu bakar yang tersusun, jugaa....seorang laki-laki tua yang duduk sendirian, tersenyum. Rumah ini masih sama. Benar-benar masih sama.

Aku menarik kursi hingga berhadapan dengan laki-laki tua itu, berharap akan kudengar kisah heroiknya di masa lampau. Bagaimana ia berjuang habis, sibuk dengan cangkulnya dari pagi hingga petang. Bagaimana ia begitu gigih memperjuangkan apa yang ia yakini benar. Bagaimana ia begitu berani bersedia melibatkan diri dalam masalah orang lain untuk mendamaikan dan memperbaiki keadaan. Bagaimana ia begitu akrab menjalin persahabatan dengan banyak orang. Ah, bagiku ia lebih dari seorang pahlawan. Tapi, tidak banyak yang tahu. Kurasa, ia memang tidak membiarkan semua orang untuk tahu. 

Aku menunggu laki-laki itu bicara. Satu menit, lima menit, lima belas menit, berlalu. Kami masih dalam kebekuan yang sama, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku berusaha menerjemahkan arti senyumnya yang hingga kini tak kuketahui apa maksudnya. Aku berusaha menerjemahkan arti diamnya yang hinggi kini masih kucari jawabannya. Semakin aku berusaha menerka, kutahu, laki-laki itu semakin melebar senyumnya.

"Nak, ilmumu belum seberapa. Ilmu psikologimu belum apa-apa". Ia membuka percakapan

Aku tidak menjawab sepatah katapun. Tidak ada yang salah dengan kalimat itu.

"Apalagi yang sudah tua begini Nak, lebih tidak tahu apa-apa". Sambungnya

Bukankah lebih tepat, kalau aku berpikir itu artinya dia mengatakan yang sebaliknya?

"Manusia itu tidak punya kemampuan apapun. Ia selalu larut dalam kebodohan. Merasa pintar, merasa bisa, merasa benar, merasa sudah begitu banyak membantu orang lain, merasa menjadi orang baik, Sebab itulah mereka bodoh". Imbuhnya dengan intonasi suara yang lebih pelan.

"Kalau saja luangkan waktu sejenak untuk berpikir betapa manusia itu kecil, kau mungkin tiba-tiba takut Nak. Takut kau mungkin pernah sombong, pernah ujub, pernah menyakiti orang lain. Dan tidak kau sadari". 

"Dan kau akan bertanya-tanya kemudian, apakah dengan apa yang selama ini kau lakukan, Allah sudah ridho?". Kali ini rautnya nampak bijaksana.

_Banyak ya, dari tadi ngomong ini ngomong itu. Tapi Nak, apakah kau paham pesan apa yang sebenernya ingin disampaikan? Carilah jawabannya Nak. Jawaban yang dewasa. Jawaban psikologimu. Bukankah kau juga masih mencari-cari arti sebuah senyum? Kamu belum mampu Nak..."

Ia meninggalkan tempat duduknya, melangkahkan kaki menuju pintu, masih dengan tersenyum. Seolah membiarkanku penasaran sendirian, mengajakku untuk berpikiir, sesuatu tentang...kehidupan...Mungkin.

Inilah Bapakku yang sesungguhnya. Penuh teka-teki. Dalam sekali bertemu, ia bisa membuatmu percaya bahwa dimasa muda ia adalah orang hebat yang penuh integritas. Tapi ia juga bisa membuatmu percaya bahwa di masa muda ia adalah seorang tak berpendidikan yang bahkan menoreh kan tanda tangan pun tak bisa. Namun yang pasti, di banyak kesempatan, kau akan dihujani dengan berbagai pernyataan dan pertanyaan "Batangane opo?" (Pesan sesungguhnya apa?). Dan aku, banyak sekali jawaban yang masih misteri -_-

Bincang Bareng Ayah (BBA) #6

14.30 0 Comments
Ibu : "Temennya nggak ada lagi yang diajak kesini nduk?"
Aku : "Ada satu yang tadinya mau ikut"
Ibu : "Kenapa nggak jadi?"
Aku : "Nggakpapa, pulang berikutnya aja lah.."
Bapak : "Kamu nggak malu, ngajak ke rumah kaya’ gini?"
Aku : "Biar aja Pak, urusannya cuma berteman baik, ngajak dan menjamu semampunya.. Kecewa ya biar aja mereka kecewa"
Bapak : "Iya iya iya, makanya ada istilah “A Friend In Need Is A Friend Indeed”. Kalau dalam istilah Jawanya ya Ponakawan. Ponokawan itu temannya Arjuno. Teman seneng, teman susah, yo teman tetruko (Apa juga ini bahasa indonesianya).."
Aku : (Kalau ngomong sama Bapak kerjaannya cuma manggut-manggut aja)

Senin, 31 Agustus 2015

Bincang Bareng Ayah (BBA) #5

21.11 0 Comments
Aku : "Bapak mah sabar drono"

Ibu : "Iya nggak pernah marah"

Aku : "Lembut, rendah hati pula"

Ibu : "Menghargai orang banget"

Bapak : "Sudah sana, biyung-anak sama aja"

Kami tertawa. Bersamaan. Tahu persis sejatinya mengias saja.Haha
(Berbincang sederhana seperti ini, kami tetap bahagia)

Senin, 13 Juli 2015

Bincang Bareng Ayah (BBA) #4

08.00 0 Comments
Bapak : "Nduk, dengerin Bapak. Tak wanti-wanti (Apa ya, bahasa Indonesianya) beneran.."

Aku   : "Apa Pak?"

Bapak : "Sing Gemi.. Nastiti.. Ngati-ati"

Aku   : "Hmm..." (Padahal agak-agak lupa maksudnya)

Bapak : "Waspodo.. Waskito.. Wasis"

Aku   : "Waskito?"

Bapak : "Waskito itu berarti awas. Jeli melihat masa depan. Mempersiapkan bekal dengan baik"

Aku   : "Iya Pak"

Bapak : "Anak terakhir ndhuk. Bapak berharap, nanti jadi orang yang bisa ngasih obor sama orang yang butuh obor. Pepadhang (Penerang). Inget pesan Bapak, Bapak sudah tua. Bapak itu merhatiin kok, siapa yang selama ini selalu peduli.

Aku   : (Diam)

Minggu, 12 Juli 2015

Bincang Bareng Ayah (BBA) #3

06.51 0 Comments
Aku      : “Senyumnya Bapak tu macem-macem, luar biasa banyak maknanya”
Bapak   : “Ya itu nduk, makanya hidup itu pake PoncoPono”
Aku      : “Apa itu Pak?”
Bapak   : “Ponco itu lima. Pono itu kewaspadaan”
Aku      : “Limanya apa saja Pak?”
Bapak   : (Diam sebentar). Yang kelihatan teman itu belum tentu teman nduk. Yang kelihatan baik juga belum tentu baik. 1. Liat Gerak Eseming lambe (senyumnya bibir). 2.Liat gerak lirike mripat (pandangan mata),…
Aku      : “Bapaak, jawabnya ngawur to?” (heran ekspresi njawabnya rada aneh)
Bapak   : (Tertawa keras) Iya lha lupa
Aku      : “Ladalah, hampir saja aku percaya, sudah takzim mendengarkan”

Bincang Bareng Ayah (BBA) #2

05.55 0 Comments
Agak samar mendengarnya,

Bapak : "Kalau dibandingkan si, Hanif termasuk nggak mudah marah".

Ups, aku berbalik dengan berbinar-binar,

Aku  : "Apa Pak, apa apa?" (sambil mengerlingkan mata bertanya ulang)

Bapak : "Cah Mbedut" (anak nakal-red)

Aku  : "Heh?" (Dalam hati, ini singkat padat dan menyebalkan)

Aku berbalik lagi.Geleng-geleng kepala.

Kamis, 23 April 2015

Kau,

22.43 0 Comments

Kau, lamat-lamat terlihat di ujung persimpangan, dan aku di sini, tepat persis di depanmu.
Hanya saja, aku tak tahu,
Kau sedang berjalan ke arahku dengan melewati jalan lurus itu,
Atau berjalan ke arahku, namun harus berbelok dulu,
Atau berjalan ke arahku kemudian berbelok,
Atau justru berbelok tanpa kearahku sama sekali.
Aku benar-benar tak tahu, akankah kau mengajakku atau tidak.

Hei, kau juga sama merasakan bukan?
Langit sudah abu-abu, pertanda hujan lebat segera datang
Angin pun bertiup kencang, pertanda badai mungkin kan mengguncang

Aku harus menyelamatkan diri, dengan mengenakan pelindungku rapat-rapat
Nyatanya kau aman disana, karena badai itu datang dari arahku
Namun, jika kau merasa tak aman, segera datanglah kemari.
Pelindung itu, cukup untuk berdua, aku dan kamu
Baru kemudian kita jalan bersama :)

*Puisi Empat Bulan Yang Lalu

*Praduga yang salah, nyatanya badai itu menghilang menyatu dalam kepergian langkahmu. Dan kau, kini kupastikan aman meski tanpa pelindung.

Biarkan Waktu Kesepian

21.43 0 Comments
Tentang waktu, kadang kita terlalu rendah hati untuk bernegosiasi dengannya. Kita pasrahkan semua padanya, seolah kita tak bisa apa-apa. Lantas dengan nada sok bijak kita berkata: ‘biar waktu yang menjawab.’
Padahal waktu bisu, tak bisa berucap apa-apa, apalagi mendekatkan dua manusia.
Menjadikan waktu sebagai tuan adalah menyerahkan diri untuk habis dicincang. Sebab waktu adalah pedang yang tajam. Seribu tahun bertapa, seratus jin kita pelihara, tak kan kebal diri kita darinya. Maka patahkan ia sebelum ia menyentuhmu.
Tentang waktu, apakah kita setakberdaya itu di hadapannya? Apakah kita hanya akan termangu melihatnya berlalu, sambil menanti dan bertanya-tanya apa yang ‘akan terjadi selanjutnya’? Sebegitu lemahkah kita?
Kita lebih nyata dari waktu.
Rasanya, tak ada lagi yang perlu kita tunggu.
Bahwa samudera adalah luas, tak ada yang menolak. Bahwa langit adalah tinggi, semua sudah sadari. Bahwa aku mencintaimu, perlukah kau tanyakan lagi?
_Azhar Nurun Ala_Biarkan Waktu Kesepian_(http://azharologia.com/2014/09/07/biarkan-waktu-kesepian/)
***

#Meskipun begitu, saat ini aku masih memilih tak berdaya. Tak akan kubiarkan lepas sebuah rindu, apalagi bebas katakan cinta. Iya. Cukup diam dan simpan saja.

Senin, 20 April 2015

Ada Padamu yang Membuatku Malu

20.22 0 Comments
Kau tetap teguh berjalan,
Meski ada duri-duri yang menanti di tepian..
Meski kau lihat tapak-tapak yang terseok ditengah perjalanan..

Kau tetap kukuh dalam barisan depan,
Meski ada mozaik-mozaik terpotong sebagian..
Meski kau lihat langkah-langkah yang terhenti berurutan..

Kau tetap tegar menawan,
Meski ada batas-batas yang siap membuatmu melamban..
Meski kau lihat ranjau-ranjau datang bergantian..

Kau tetap hadirkan rekah senyuman,
Meski ada kelu-kelu seluruh persendian..
Meski kau lihat kusam-kusam wajah lain dalam kelelahan..

Kau tetap baik berkeyakinan,
Meski ada suara-suara sumbang yang sibuk menyalahkan..
Meski kau lihat satu-satu mulai menjauh perlahan..

Kau tetap jaga harga sebuah kesucian,
Meski ada celah-celah yang lebarnya kian rentan..
Meski kau lihat rona-rona indah dalam kesemuan..

Kau tetap genggam lapang dalam kelembutan,
Meski ada cerca-cerca yang melesat menumbangkan..
Meski kau lihat sorot-sorot tajam mata kekecewaan..

Kau,
Bimbing asa-asa membumbung bersama semangat perjuangan,
Tumbuhkan rindu-rindu kala jarak kadang tetiba memisahkan,
Himpun hati-hati tertaut dalam kasih sayang dan persaudaraan,


Ah, aku mulai lupa. Terimakasih, mengenalmu kembali membantu mengingatkan..

Sabtu, 07 Maret 2015

HITAM

07.34 0 Comments
Sensitif sekali dengan kata ini. Curhat ah….
#Memang, kalau nulis bau-bau curhat, mengalir banget..  Coba kali-kali nulis tentang carut  marutnya perpolitikan, yang penuh dengan analisa perilaku para politikus itu sendiri, tentang motifnya, tentang tujuannya, tentang strateginya, tentang para pendukungnya, dan bla bla bla. Semua nggak ada yang mutlak alias entah berantah kebenarannya. #Nah, kan, bingung.
Intinya, aku sedang sensitif dengan kata “Hitam”. Karena bahkan adik koskupun memanggilku dengan sebutan “Mbak Hanif bin Hitam”. Aku mengalami traumatis tersendiri mendengar kata-kata itu, mengingat banyaknya peristiwa menyakitkan yang kualami dan kesemuanya berhubungan dengan kata hitam. Haha
Hari itu. Adik lesku berbisik di telinga, dia ingin sekali bercerita. Baiklah kudengarkan, setidaknya tenagaku tidak akan terkuras habis karena ngomong terus menerus juga rehat sejenak dari menghadapi tingkah polahnya yang teramat sangat aktif sekali. Dan jreng jreng jreng, ceritanya begini “Pada jaman dahulu, ada seorang perempuan bernama Hanif. Kulitnya putih sekali. Tetapi, waktu dia berjalan tiba-tiba kecemplung kali, yang airnya lethek (baca : kotor). Karena itu, ia berubah menjadi hitam seperti sekarang”. Cerita yang menarik bukan? Aku menyadari, anak kecil itu memang selalu jujur, sepertihalnya beberapa hari lalu, ia juga pernah menyanyikan sebuah lagu special untukku. Lagu dengan nada khas anak-anak TPA “Tepuk Anak Shaleh”.  Kali ini, liriknya berubah 180 derajat. “Tepuk Hanif……” “Kulitnya……” “Hitam……” Bait  pertama yang begitu kuingat diluar kepala. Duh dek, jujur sekali kau nii, boong dikit kenapa…. Dan yang paling menyakitkan, hari pertama aku membersamainya, tanpa bersalah ia mengatakan “Aku maunya diajar mbak yang gendut, bukan mbak yang hitam”. #Lemes
Kejadian ini belum lama setelah kejadian beberapa bulan lalu, di rumah. Hari sudah menjelang siang. Aku berpakaian rapi, dengan gamis  panjang warna biru, juga jilbab warna biru tua, siap berangkat ke Jogja. Aku mendekati ayahku yang sedang duduk manis di kursi dapur, sembari menikmati satu gelas teh panas dihadapannya. Niatnya si berpamitan. Entah darimana bisikan itu datang, tiba-tiba keluar dari mulutku,
Pak, aku wis ayu kan?”. Jarang-jarang lho sama Bapak candanya ginian.
Iyo, ayu banget”. Jawab Bapak. Berasa ada angin segar yang berhembus menyegarkan telingaku. Bukan senang lantaran dibilang cantik lho ya (Aku mah tahu persis itu hanya fitnah belaka), melainkan senang ternyata Bapak menanggapi candaanku. Wajahnya tampak serius. Sempat hening beberapa detik, dan aku siap berbalik, tiba-tiba muncul kata selanjutnya,
Ireng njluntheng koyo angus dandang (baca : hitam legam bak pantat panci)”. Duh, kena pukulan telak, aku tak bisa berkata-kata, shock. Samar-samar dari luar pintu ibuku menyahut,
Ora Nduk, ora. Dandang e dewe gek kuning kae warnane, ora tau dinggo. Sing ireng wajan (baca : Nggak Nduk, panci kita warnanya masih kuning, jarang dipake. Yang hitam wajannya)”. Seolah-olah kata ayahku adahal hal yang sangat menyakitkan, dan ibu hendak membelaku. Aku hanya geleng-geleng kepala, ada-ada saja.
            Bahkan orang yang aku kagumi, meskipun sama sekali tak mengenalku tega-teganya menyindir (dramatisir lho ya). Dalam sebuah acara bedah buku, seorang peserta bertanya “Inspirasi menulis dari mana?”. Spontan beliau menjawab “Dari mana saja. Contohnya (sembari menengok ke samping), hitam pun bisa menjadi inspirasi. Adapun kualitas, yang penting kita punya pandangan spesial. Sudut pandang spesial bukan berarti, waw dan luar biasa, sederhanapun bisa. Contoh , pernah ada anak peserta workshop, menulis begini –Ada orang hitam, bajunya hitam, rambutnya hitam, kulitnya hitam, tangan dan kakinya hitam, semua hitam. Tetapi hatinya putih - . Siapa yang berpikiran menulis seperti itu? Jarang. Bedakan dengan yang menulis hitam adalah gelap, sedih, duka cita. Itu bisa jadi semua orang berpikiran sama”.
            Dan kejadian selanjutnya, saat salah seorang kawan SMA ku datang, tanpa basa-basi menyampaikan “Ncen kok kowe tambah item ya?” dan dengan basa basi aku menjawab “Tunggu aja, aku nanti mau beli make up wardah (nggak berniat ngiklan) lengkap. Dari pembersih hingga cream malam hingga sunblock hingga lipsticknya sekalian”. Haha #maklum buta make up.
            Sebenernya masih banyak lagi kejadian “menyakitkan” serupa, tapi tak sanggup lagi kuceritakan (lebay). Yang sering mengatakan aku hitam, tenang, aku bisa menyaingi kalian. #Pake cat tembok warna putih.

Kisah ini kisah nyata. Aku sebagai korban, memilih memaafkan daripada harus memendam dendam, karena, apa yang mereka katakan memang benar adanya. Hahaha *Menangis meminta dukungan “Mari menggalang koin hitam”….

Jumat, 06 Maret 2015

Bersama Hujan disiang Ini,

13.24 0 Comments
Lihatlah, tetesan airnya, luruh menyatu melewati atap, kemudian berdebur mengguyur… Lembutkan tanah yang mulai retak kekeringan, segarkan dedaunan yang mulai layu menguning…
Dengarlah, gemericiknya beradu, memecah kesunyian… Kurasa, tasbih memujiNya adalah sejatinya. Seirama dengan insan yang khusyuk berdzikir, bersila syahdu dalam rumah paling mulia…
Rasakanlah, dinginnya  sepoi bersama basah, hadirkan hangatnya kebersamaan… Menemani hati-hati yang berjaja mengelilingi meja makan, menggerakkan satu-satu jiwa untuk bercengkrama dalam satu atap peneduh…
Nikmatilah,  Ada doa-doa yang mengudara, kerana deras itulah radarnya… Ada malaikat-malaikat yang sibuk  bekerja, menjadi penghubung antara harapan manusia dengan rahmat Tuhannya…

#Jum’at Barokah… Dalam derasnya hujan di langit Jogja…

Kamis, 05 Maret 2015

Ketika Anak Kecil "Mencuri" :(

18.18 0 Comments
Untuk kali pertama. Ketika aku tak sengaja menjatuhkan lembaran itu dari tas. Gurauan itu, “Mbak Haniif, buat aku yaa, yaa”, dan ketika aku hendak mengambilnya, iapun menghindar “Jangan.. pokoknya itu punyaku” sambil berusaha menaruh dalam saku celana. Begitu saja, dan kami kembali pada situasi semula. Candaan biasa, yang bahkan aku pun sama sekali tak mengindahkannya. Hingga aku tiba di kamar, dan melirik dompetku, “Kemana sepuluh ribuku yaa?”. “Ah, mungkin tadi aku lupa naruh, atau terjatuh, atau bisa jadi dia terlupa mengembalikan, dan masih disimpan dalam saku celananya. Tak ingat persis. Sudahlah, cuma sepuluh ribu” pikirku.
Kedua kalinya. “Mbak Hanif, Mbak Hanif, pinjam tas. Coba lihat isinya”.  Ia membuka  tasku, mengeluarkan satu-satu isinya, kemudian memasukkan kembali. Satu tangan mendekap tas itu  lama, satu tangan lain ia biarkan di dalamnya, diam. Dan tetiba ”Mbak Hanif, aku mau minum” sambil spontan bangkit berdiri, berlari mengambil botol air minum dalam sebuah ruangan.  Ada yang berbeda. Ia kembali ke hadapanku dengan wajah lebih berbinar, dan bersemangaat. Hingga aku tiba di kamar, dan melirik dompetku, “Kemana sepuluh ribuku yaa?”. “Ah, mungkin aku salah ingat, pasti sepuluh ribu sudah kupakai”. Tetapi, sedikit mulai su’udzon “Atau, tadi dia ngambil ya? Ah, masak sich? Nggak mungkin. Orangtuanya bagus kok. Sudahlah, Cuma sepuluh ribu”. Pikirku
Ketiga kalinya. “Mbak Hanif,  hadap sana, aku mau sulap, tasnya Mbak Hanif  nanti bisa ilang”. Aku segera berpaling, membiarkan apapun yang dia lakukan. Aduh, apalah daya, aku mulai su’udzon lagi. Permainan “sulap” selesai, dan aku sedikitpun tak tergoda untuk mencari keberadaan tasku.  Iapun mengalah mengambilnya kembali “Ah, masak Cuma di sana Mbak Hanif nggak tahu”. Aku tersenyum, meminta tasku, membuka, dan melirik dompetku. Kosong. Hanya ada dua ribu rupiah di luar. Kali ini aku yakin, benar-benar yakin, ia yang mengambil. Beberapa jam sebelumnya aku memastikan, uang itu masih ada. Tidak banyak, hanya beberapa lembar dua ribuan yang kusiapkan untuk naik trans jogja _tapi , karena aku nggak masuk kantor lazis, tentu uang itu masih utuh_. Seketika itu juga, (mungkin) rautku berubah, senyumku mengembang marah. Berkali-kali ia bertanya “Mbak Hanif kenapa, kok mukanya gitu?”. “Aduh, gagal menjaga ekspresi” batinku. Sembari kusengajakan membuka-buka dompet, dan menatapnya lekat. Wajahnya memerah “Mbak Hanif punya uang berapa?”.

Ada yang bilang, anak kecil mengambil sembarangan itu wajar. Tapi ini bukan soal wajar dan tidak wajar. Ini juga bukan soal nominal. Hei, dia anak kecil, mudah sekali untuk membiasa, dan menjadi karakter yang mengakar hingga dewasa…… Sampai detik ini, aku masih berpikir, apa yang harus kulakukan untuk menegurnya? -_-

Senin, 05 Januari 2015

Yang Tak Terlupakan Pagi Itu.. (Bagaimana Kabarmu Bu?)

13.58 0 Comments

Kami duduk berhadapan. Seorang ibu paruh baya, bersama seorang anak kecil usia awal belasan. Tak terlalu kuperhatikan, kami sama-sama penumpang yang sedang menuju suatu tempat, dengan tujuan masing-masing. Terhalang beberapa wajah yang berdiri di tengah-tengah tempat duduk, sebelum mereka pada akhirnya turun di halte kedua. Bis kembali melaju. Jam sudah menunjukkan dua puluh menit lebihnya dari pukul sembilan pagi. Aku hanya menarik nafas, berusaha untuk tepat waktu, namun tetap saja, terlambaaat.
Hingga tetiba, ada raut yang berbeda dari wajah ibu paruh baya di depanku itu.
" Lho Mbak, ini nggak ke rumah sakit hardjolukito?". Tanyanya antusias
" Turunnya di halte barusan Bu, kalau mau kesana. Ibu nggak dengar barusan saya informasikan?" Dengan nada sopan, perempuan penjaga pintu bis itu menjawab.
Ku tatap mata Ibu itu, sayu. Wajahnya memerah menahan tangis. Tangannya gemetaran, sembari memegang plastik hitam besar, yang berisikan kertas lebar, entah apa.
" Saya sedang panik Mbak, buru-buru, dan nggak konsentrasi. Tadi kata petugas tempat saya naik, nggak pake transit". Suaranya mulai parau. Duduknya sudah tidak tenang lagi. Berganti-ganti posisi, seolah ingin turun saja, dan melakukan apapun untuk bisa bersegera sampai sana.
Ada rasa iba, kasihan, dan juga rasa bersalah. Dalam situasi seperti ini, saat seseorang dalam posisi benar-benar membutuhkan pertolongan, kitapun tak berdaya, tak bisa melakukan apa-apa. Setidaknya, andai saja aku duduk di sampingnya, bertanya kemanakah tujuannya, mungkin saja aku bisa memberitahunya kapan harus turun. Ah, sudah terlanjur.
Kutatap bola matanya, dan beliau juga menatapku dengan tajam, ada sesuatu yang ingin terucap namun tertahan "Ibu, bicaralah, kalau memang ingin berkeluh, menceritakan kepedihanmu". Dalam hati ku berkata. Semakin lama ku menatapnya, dan beliaupun juga tak berpaling.
"Jam berapa harusnya sampai sana Ibu?" Pertanyaan klise, karena aku tak bisa memaksanya untuk berbicara tiba-tiba.
"Seharusnya jam delapan Mbak." Berbisik lirih sembari menyeka air mata.

Tak ada yang kutanyakan lagi, diam. Bagiku, berjibaku dengan waktu, Rumah Sakit, Tetesan air mata, Sorot kepanikan, ah, sesuatu yang tidak lagi bisa dibeli dengan uang, tentang nasib, dirinya atau orang-orang tercinta. Mungkinkah? *Semoga Allah memudahkan urusan, dan memberikan skenario terbaikmu Ibu :) Maafkan untuk diri ini yang hanya sanggup membisu melihatmu seperti itu :(