IBU,
Aku mengingat suatu
waktu di malam itu. Umurku belum genap
tujuh tahun. Aku menangis,
jungkir balik di atas kasur. Berkali kumur-kumur, berkali-kali sikat gigi,
berkali-kali teriak menahan sakit. Berkali-kali engkau menghiburku,
berkali-kali engkau mengoleskan minyak kayu putih di sekitar daguku,
berkali-kali pula engkau memberi air hangat untukku. Ah, sakit gigi. Hingga jam
menunjukkan hampir tengah malam, lebih dari pukul 11, sakitku tak kunjung
mereda, meski tangisku tinggal isakan yang tersisa. Dan engkau, masih tetap
terjaga. Mengajakku keluar, menyusuri jalanan yang gelap, menuju rumah bulek,
dan kemudian kembali lagi ke rumah. Malam itu, kita bertiga bukan? Karena Bapak
pun akhirnya ikut menemani. Tidak, tidak sembuh. Tetapi, setelah lelah berjalan,
lelah menangis, akhirnya aku tertidur. Pulas.
Sekarang, usiaku
sudah dua puluh, lebih dua tahun, lebih tujuh bulan. Tinggal tak lagi satu atap
denganmu. Hingga suatu waktu, suhu tubuhku menghangat, hari itu aku tidak
beranjak dari tempat tidur. Kukirim sebuah pesan “Ibu sedang apa?”, dan engkau
menjawab “Sehat, nduk?”, lalu kubalas “Tidak”, berlanjut perbincangan singkat
melalui telepon. Dan dikeesokan, kudapati sebuah pesan kala subuh hari “Nanti
Ibu ke Jogja sama Yaya, berangkat jam 7, charter mobil”. Deg. Sebegitukah
pedulinya seorang Ibu? Aku hanya demam biasa, hanya flu. Segera kukirim balasan
untuk meminta membatalkan rencana itu.
Iya, Tidak berubah.
Ibu, selalu menjadi orang pertama yang khawatir, siap ada dan terjaga saat kita
sakit. Meski ku tahu, engkau sendiri sering abai, dengan kesehatanmu..
IBU,
Aku mengingat suatu
hari di waktu itu. Saat matahari hampir tepat persis di atas kepala, menjelang
dzuhur. Engkau bawa setumpuk pakaian kotor di dalam ember, peralatan mandi, juga
sepasang baju bersih untuk berganti. Melesat melangkahkan kaki menuju sungai di
bawah sana. Dan pesanmu selalu sama “Nanti segera shalat ya Nduk”. Lalu
beberapa waktu kemudian, engkau pulang dengan seember pakaian yang sudah
bersih, serta menjinjing satu ember air untuk persediaan di rumah. Dan
pertanyaanmu juga sama “Sudah shalat dzuhur Nduk?”. Aku mengangguk, meskipun
tak jarang, aku berbohong. Maafkan Ibu,
Sekarang,
pertanyaan rutin saat siang itu sudah tak perlu lagi engkau sampaikan padaku. Kita
juga jarang bertemu, bukan? Kali ini, setiap senja di akhir pekan. Engkau
bergegas mengambil air wudhu, berganti pakaian, mengambil kacamata, melangkah
menuju musholla. Dan pesanmu selalu sama “Ayo ikut Ndhuk, ke musholla”.
Adakalanya aku mengangguk mengiyakan, kemudian mengambil alih komando diantara
anak-anak kecil, mengajari ngaji, bercerita, atau sekedar bermain
tebak-tebakan. Namun, adakalanya juga aku menggelengkan kepala, beralasan
capek, belum mandi, dan seterusnya. Dan juga, adakalanya aku meminta Ibu di
rumah saja, menemaniku makan sambil bercengkrama. Maafkan Ibu,
Iya, tidak berubah.
Ibu, selalu menjadi orang pertama yang mengingatkanku perihal ibadah. Ah, sudah
sedewasa ini, aku sungguh merasa malu dengan semangat ibadahmu..
IBU,
Aku mengingat suatu
masa di waktu itu. Kala rumah kita belum menjadi rumah yang sekarang. Rumah
dengan sebuah jendela istimewa di sudut dapur. Engkau tahu kenapa istimewa?
Karena aku pasti mendapatimu berdiri di balik jendela itu, saat berjalan turun
dari angkutan umum sepulang sekolah di akhir pekan. Sambil tersenyum.
Sekarang, rumah
kita tak lagi berjendela. Namun, kini kudapati keberadaanmu di depan pintu,
saat suara motor memasuki halaman, sepulang dari Jogja di akhir pekan.
Lagi-lagi, sambil tersenyum, kemudian mengulurkan tangan.
Iya, tidak berubah.
Ibu, selalu menjadi orang pertama yang menyambut kehadiranku di rumah dengan
senyumnya yang sebegitu ramah..
IBU,
Aku mengingat suatu
pagi di waktu itu. Kala aku membuka lembaran demi lembaran buku kenangan milik
salah satu kakakku. Ada sebersit harapan, ada sebuncah keinginan, untukku
mengikuti jejaknya belajar di tempat yang sama. Dalam diamku, engkau berbicara
penuh doa, semogaa. Dan ketika harap tak sampai, lagi-lagi kau menghiburku
dengan doa, semogaa.
Sekarang, sudah
bukan lagi waktuku untuk sekedar berpikir pendek tentang mengikuti jejak
pendidikan yang sama. Namun, tentang ‘hidup’ yang sesungguhnya. Tentang sebuah
kebersyukuran, tentang sebuah niat yang perlu diluruskan, tentang membangun
keluarga yang penuh kebermanfaatan, tentang menjadi pribadi yaaang
<em>baik</em> istilahnya. Dalam diamku, dalam candaku, dalam
perbincanganku kepadamu, engkau selalu menjawabku dengan kata-kata penuh doa.
Semogaa.. dan semoga..
Iya, tidak berubah.
Ibu selalu menjadi orang pertama yang doanya membumbung, melangit, berharap
yang terbaik untuk anak-anaknya.. Dalam segala situasi..
IBU,
Aku mengingat
banyak peristiwa di waktu itu. Saat datang menghadiri wisuda salah satu
kakakku, tetiba seorang anak laki-laki memukul kepalaku sambil berteriak
“bajigur”. Engkau datang, tersenyum, mengelus kepalaku. Saat untuk
pertamakalinya datang ke Jakarta, bermain-main di sebuah taman, saking
senangnya aku duduk dengan sedikit pecicilan, kemudian jatuh. Engkau datang,
membantuku bangun, mengajakku pergi, hah menyelamatkanku dari rasa malu.
Sekarang, sudah
jarang yaa, ada waktu pergi bersama. Paling-paling hanya di akhir pekan,
mengantarmu ke pasar, ke rumah saudara, atau kemanalah. Semoga, Desember nanti,
menjadi perjalanan selanjutnya berkereta bersamamu, setelah menyambangi
Surabaya dua tahun lalu..
Iya, tidak berubah.
Ibu selalu menyenangkan menjadi teman bepergian. Dimanapun, aku selalu merasa
aman. Semoga, untuk sekarang-sekarang ini, engkau juga akan merasa aman bila
bepergian bersamaku, Ibu. Meski bisaku hanya sebatas menggandeng tanganmu saat
menyeberang jalan :)
***
Seorang lelaki sedang thawaf dengan menggendong ibunya, maka laki-laki itu bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah -dengan ini- saya telah melaksanakan kewajiban saya kepadanya?” Rasulullah saw menjawab, “Tidak! Tidak sebanding dengan satu kali hentakan (saat melahirkan)!” (H.r al-Bazzar)
_Inspired by
TheGreatPowrOfMother Karya Solikhin Abu Izzudin & Dewi Astuti