Follow Us @whanifalkirom

Jumat, 18 September 2015

Bincang Bareng Ayah (BBA) #7

19.00 0 Comments
Pagi hampir beranjak. Seiring matahari yang kian hangat, embun diatas bebatuanpun mulai mengering. Angin berhembus semakin kencang, menambah suara berisik daun-daun yang bergesekan. Langit diatas begitu cerah, awan-awan kecil berarak, dan rembulan sabit itu masih nampak dibaliknya, meski samar.

"Warna langit yang sempurna". Gumamku..

Aku menghentikan langkah persis di halaman itu, menatap sekeliling. Kuamati lekat-lekat. Pohon-pohon tinggi yang menjulang, Rindang dedaunan yang meneduhkan, Ayam-ayam yang mencari makan, Setumpuk kayu bakar yang tersusun, jugaa....seorang laki-laki tua yang duduk sendirian, tersenyum. Rumah ini masih sama. Benar-benar masih sama.

Aku menarik kursi hingga berhadapan dengan laki-laki tua itu, berharap akan kudengar kisah heroiknya di masa lampau. Bagaimana ia berjuang habis, sibuk dengan cangkulnya dari pagi hingga petang. Bagaimana ia begitu gigih memperjuangkan apa yang ia yakini benar. Bagaimana ia begitu berani bersedia melibatkan diri dalam masalah orang lain untuk mendamaikan dan memperbaiki keadaan. Bagaimana ia begitu akrab menjalin persahabatan dengan banyak orang. Ah, bagiku ia lebih dari seorang pahlawan. Tapi, tidak banyak yang tahu. Kurasa, ia memang tidak membiarkan semua orang untuk tahu. 

Aku menunggu laki-laki itu bicara. Satu menit, lima menit, lima belas menit, berlalu. Kami masih dalam kebekuan yang sama, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku berusaha menerjemahkan arti senyumnya yang hingga kini tak kuketahui apa maksudnya. Aku berusaha menerjemahkan arti diamnya yang hinggi kini masih kucari jawabannya. Semakin aku berusaha menerka, kutahu, laki-laki itu semakin melebar senyumnya.

"Nak, ilmumu belum seberapa. Ilmu psikologimu belum apa-apa". Ia membuka percakapan

Aku tidak menjawab sepatah katapun. Tidak ada yang salah dengan kalimat itu.

"Apalagi yang sudah tua begini Nak, lebih tidak tahu apa-apa". Sambungnya

Bukankah lebih tepat, kalau aku berpikir itu artinya dia mengatakan yang sebaliknya?

"Manusia itu tidak punya kemampuan apapun. Ia selalu larut dalam kebodohan. Merasa pintar, merasa bisa, merasa benar, merasa sudah begitu banyak membantu orang lain, merasa menjadi orang baik, Sebab itulah mereka bodoh". Imbuhnya dengan intonasi suara yang lebih pelan.

"Kalau saja luangkan waktu sejenak untuk berpikir betapa manusia itu kecil, kau mungkin tiba-tiba takut Nak. Takut kau mungkin pernah sombong, pernah ujub, pernah menyakiti orang lain. Dan tidak kau sadari". 

"Dan kau akan bertanya-tanya kemudian, apakah dengan apa yang selama ini kau lakukan, Allah sudah ridho?". Kali ini rautnya nampak bijaksana.

_Banyak ya, dari tadi ngomong ini ngomong itu. Tapi Nak, apakah kau paham pesan apa yang sebenernya ingin disampaikan? Carilah jawabannya Nak. Jawaban yang dewasa. Jawaban psikologimu. Bukankah kau juga masih mencari-cari arti sebuah senyum? Kamu belum mampu Nak..."

Ia meninggalkan tempat duduknya, melangkahkan kaki menuju pintu, masih dengan tersenyum. Seolah membiarkanku penasaran sendirian, mengajakku untuk berpikiir, sesuatu tentang...kehidupan...Mungkin.

Inilah Bapakku yang sesungguhnya. Penuh teka-teki. Dalam sekali bertemu, ia bisa membuatmu percaya bahwa dimasa muda ia adalah orang hebat yang penuh integritas. Tapi ia juga bisa membuatmu percaya bahwa di masa muda ia adalah seorang tak berpendidikan yang bahkan menoreh kan tanda tangan pun tak bisa. Namun yang pasti, di banyak kesempatan, kau akan dihujani dengan berbagai pernyataan dan pertanyaan "Batangane opo?" (Pesan sesungguhnya apa?). Dan aku, banyak sekali jawaban yang masih misteri -_-

Bincang Bareng Ayah (BBA) #6

14.30 0 Comments
Ibu : "Temennya nggak ada lagi yang diajak kesini nduk?"
Aku : "Ada satu yang tadinya mau ikut"
Ibu : "Kenapa nggak jadi?"
Aku : "Nggakpapa, pulang berikutnya aja lah.."
Bapak : "Kamu nggak malu, ngajak ke rumah kaya’ gini?"
Aku : "Biar aja Pak, urusannya cuma berteman baik, ngajak dan menjamu semampunya.. Kecewa ya biar aja mereka kecewa"
Bapak : "Iya iya iya, makanya ada istilah “A Friend In Need Is A Friend Indeed”. Kalau dalam istilah Jawanya ya Ponakawan. Ponokawan itu temannya Arjuno. Teman seneng, teman susah, yo teman tetruko (Apa juga ini bahasa indonesianya).."
Aku : (Kalau ngomong sama Bapak kerjaannya cuma manggut-manggut aja)