Mengunjungi
lapas narkotika kelas IIA Yogyakarta bersama ketiga temanku. Kebetulan ni,
salah satu temanku tadi sedang melakukan penelitian untuk tugas akhirnya di
sana. Disamping membantu membagikan skala yang harus diisi subjek (narapidana),
sekaligus pengalaman lah untuk sekedar tahu seperti apa yang dinamakan penjara.
Kesimpulannya, tidak seseram yang kubayangkan. Tak banyak yang bisa
kuceritakan, karena bagaimanapun gerak di sana cukup terbatas. Tidak diizinkan
membawa apapun masuk, termasuk makanan apalagi handphone (intinyaa, nggak bisa
foto). Meskipun menurutku, untuk ukuran nama yang disebut penjara, masih dibilang sangat
bebas.
Aku
hanya akan bercerita tentang beliau. Subjek terakhir, yang meninggalkan tempat
paling akhir (termasuk meninggalkan tempat tahanan, karena mendapat masa
hukuman paling lama). Seorang ayah dengan dua anak perempuan. Usianya 34 tahun.
Divonis hukuman selama 12 tahun tiga bulan, dan selama ini baru menjalaninya
kurang lebih satu tahun. Bisa membayangkan bukan, berapa lama lagi harus menghabiskan
waktu di terbatasnya tempat itu. Dan pasti, ada sesuatu yang kita rasakan saat
kita mendengar kata-katanya “Iya mbak, meninggalkan anak istri. Nggak pernah
ketemu, nanti tau-tau anaknya sudah gadis”.
Dibandingkan
narapidana lain (yang kebetulan aku ketemu), beliau memang lebih “cerewet” dan “bikin
kesal”. Terus saja bercanda “wah aku gak iso moco mbak”. “aku gak
sekolah mbak” “kenapa mbak tanya masa hukuman, untuk apa?” “Lha
monggo, suruh duduk mana” dan lain sebagainya. Aku tidak terlalu peduli,
entahlah, karena sekedar bercanda, karena rendah hati, karena untuk meramaikan
suasana, karena cari perhatian atau alasan lainnya. Aku hanya berfikir,
mengingat-ingat, logat bicara juga bahasa yang beliau sampaikan, sangat familliar.
Surabaya kah?. Dan terjawab akhirnya, dari Madura. Hmm, iya, Madura, persis,
aku mengingat salah satu kakak tingkat di universitas yang kebetulan satu
kelompok KKN denganku.
Dibandingkan
dengan narapidana lain (lagi-lagi yang kebetulan aku ketemu), beliau memang
beda. Entahlah. Aku percaya dengan apa yang beliau
ceritakan tentangnya. Tentang tidak bersalahnya. Menjadi seorang agen tiket
yang (tanpa sengaja) memerantara narkotika. Dan beliau menambahkan, hanya satu
alasan kenapa beliau menjadi bersalah yaitu uanglah yang menjadi lawan di pengadilan..
Ada
sebuah nasehat yang selalu beliau sampaikan, dari awal hingga akhir pertemuan
kami selama kurang lebih lima belas menit itu. Lebih dari delapan kali
sepertinya beliau ucapkan, karena bahkan terucap juga disela-sela mengisi skala
yang kami berikan. Nasehat yang singkat, sangat singkat “Bersyukur, Selalulah
Bersyukur, Semua Sudah Diatur”. Dan imbuhnya “Mungkin, jika tidak di
tempat ini (tempat tahanan) akan lebih banyak dosa-dosa yang bakal dilakukan –
Pengadilan manusia, kenapa takut? Takut itu sama pengadilan Allah.”
Note : Bahkan siapapun, selalu
mengajarkan kepada kita untuk bersyukur. Iya. Kita bahagia karena kita
bersyukur.