Follow Us @whanifalkirom

Sabtu, 07 Maret 2015

HITAM

07.34 0 Comments
Sensitif sekali dengan kata ini. Curhat ah….
#Memang, kalau nulis bau-bau curhat, mengalir banget..  Coba kali-kali nulis tentang carut  marutnya perpolitikan, yang penuh dengan analisa perilaku para politikus itu sendiri, tentang motifnya, tentang tujuannya, tentang strateginya, tentang para pendukungnya, dan bla bla bla. Semua nggak ada yang mutlak alias entah berantah kebenarannya. #Nah, kan, bingung.
Intinya, aku sedang sensitif dengan kata “Hitam”. Karena bahkan adik koskupun memanggilku dengan sebutan “Mbak Hanif bin Hitam”. Aku mengalami traumatis tersendiri mendengar kata-kata itu, mengingat banyaknya peristiwa menyakitkan yang kualami dan kesemuanya berhubungan dengan kata hitam. Haha
Hari itu. Adik lesku berbisik di telinga, dia ingin sekali bercerita. Baiklah kudengarkan, setidaknya tenagaku tidak akan terkuras habis karena ngomong terus menerus juga rehat sejenak dari menghadapi tingkah polahnya yang teramat sangat aktif sekali. Dan jreng jreng jreng, ceritanya begini “Pada jaman dahulu, ada seorang perempuan bernama Hanif. Kulitnya putih sekali. Tetapi, waktu dia berjalan tiba-tiba kecemplung kali, yang airnya lethek (baca : kotor). Karena itu, ia berubah menjadi hitam seperti sekarang”. Cerita yang menarik bukan? Aku menyadari, anak kecil itu memang selalu jujur, sepertihalnya beberapa hari lalu, ia juga pernah menyanyikan sebuah lagu special untukku. Lagu dengan nada khas anak-anak TPA “Tepuk Anak Shaleh”.  Kali ini, liriknya berubah 180 derajat. “Tepuk Hanif……” “Kulitnya……” “Hitam……” Bait  pertama yang begitu kuingat diluar kepala. Duh dek, jujur sekali kau nii, boong dikit kenapa…. Dan yang paling menyakitkan, hari pertama aku membersamainya, tanpa bersalah ia mengatakan “Aku maunya diajar mbak yang gendut, bukan mbak yang hitam”. #Lemes
Kejadian ini belum lama setelah kejadian beberapa bulan lalu, di rumah. Hari sudah menjelang siang. Aku berpakaian rapi, dengan gamis  panjang warna biru, juga jilbab warna biru tua, siap berangkat ke Jogja. Aku mendekati ayahku yang sedang duduk manis di kursi dapur, sembari menikmati satu gelas teh panas dihadapannya. Niatnya si berpamitan. Entah darimana bisikan itu datang, tiba-tiba keluar dari mulutku,
Pak, aku wis ayu kan?”. Jarang-jarang lho sama Bapak candanya ginian.
Iyo, ayu banget”. Jawab Bapak. Berasa ada angin segar yang berhembus menyegarkan telingaku. Bukan senang lantaran dibilang cantik lho ya (Aku mah tahu persis itu hanya fitnah belaka), melainkan senang ternyata Bapak menanggapi candaanku. Wajahnya tampak serius. Sempat hening beberapa detik, dan aku siap berbalik, tiba-tiba muncul kata selanjutnya,
Ireng njluntheng koyo angus dandang (baca : hitam legam bak pantat panci)”. Duh, kena pukulan telak, aku tak bisa berkata-kata, shock. Samar-samar dari luar pintu ibuku menyahut,
Ora Nduk, ora. Dandang e dewe gek kuning kae warnane, ora tau dinggo. Sing ireng wajan (baca : Nggak Nduk, panci kita warnanya masih kuning, jarang dipake. Yang hitam wajannya)”. Seolah-olah kata ayahku adahal hal yang sangat menyakitkan, dan ibu hendak membelaku. Aku hanya geleng-geleng kepala, ada-ada saja.
            Bahkan orang yang aku kagumi, meskipun sama sekali tak mengenalku tega-teganya menyindir (dramatisir lho ya). Dalam sebuah acara bedah buku, seorang peserta bertanya “Inspirasi menulis dari mana?”. Spontan beliau menjawab “Dari mana saja. Contohnya (sembari menengok ke samping), hitam pun bisa menjadi inspirasi. Adapun kualitas, yang penting kita punya pandangan spesial. Sudut pandang spesial bukan berarti, waw dan luar biasa, sederhanapun bisa. Contoh , pernah ada anak peserta workshop, menulis begini –Ada orang hitam, bajunya hitam, rambutnya hitam, kulitnya hitam, tangan dan kakinya hitam, semua hitam. Tetapi hatinya putih - . Siapa yang berpikiran menulis seperti itu? Jarang. Bedakan dengan yang menulis hitam adalah gelap, sedih, duka cita. Itu bisa jadi semua orang berpikiran sama”.
            Dan kejadian selanjutnya, saat salah seorang kawan SMA ku datang, tanpa basa-basi menyampaikan “Ncen kok kowe tambah item ya?” dan dengan basa basi aku menjawab “Tunggu aja, aku nanti mau beli make up wardah (nggak berniat ngiklan) lengkap. Dari pembersih hingga cream malam hingga sunblock hingga lipsticknya sekalian”. Haha #maklum buta make up.
            Sebenernya masih banyak lagi kejadian “menyakitkan” serupa, tapi tak sanggup lagi kuceritakan (lebay). Yang sering mengatakan aku hitam, tenang, aku bisa menyaingi kalian. #Pake cat tembok warna putih.

Kisah ini kisah nyata. Aku sebagai korban, memilih memaafkan daripada harus memendam dendam, karena, apa yang mereka katakan memang benar adanya. Hahaha *Menangis meminta dukungan “Mari menggalang koin hitam”….

Jumat, 06 Maret 2015

Bersama Hujan disiang Ini,

13.24 0 Comments
Lihatlah, tetesan airnya, luruh menyatu melewati atap, kemudian berdebur mengguyur… Lembutkan tanah yang mulai retak kekeringan, segarkan dedaunan yang mulai layu menguning…
Dengarlah, gemericiknya beradu, memecah kesunyian… Kurasa, tasbih memujiNya adalah sejatinya. Seirama dengan insan yang khusyuk berdzikir, bersila syahdu dalam rumah paling mulia…
Rasakanlah, dinginnya  sepoi bersama basah, hadirkan hangatnya kebersamaan… Menemani hati-hati yang berjaja mengelilingi meja makan, menggerakkan satu-satu jiwa untuk bercengkrama dalam satu atap peneduh…
Nikmatilah,  Ada doa-doa yang mengudara, kerana deras itulah radarnya… Ada malaikat-malaikat yang sibuk  bekerja, menjadi penghubung antara harapan manusia dengan rahmat Tuhannya…

#Jum’at Barokah… Dalam derasnya hujan di langit Jogja…

Kamis, 05 Maret 2015

Ketika Anak Kecil "Mencuri" :(

18.18 0 Comments
Untuk kali pertama. Ketika aku tak sengaja menjatuhkan lembaran itu dari tas. Gurauan itu, “Mbak Haniif, buat aku yaa, yaa”, dan ketika aku hendak mengambilnya, iapun menghindar “Jangan.. pokoknya itu punyaku” sambil berusaha menaruh dalam saku celana. Begitu saja, dan kami kembali pada situasi semula. Candaan biasa, yang bahkan aku pun sama sekali tak mengindahkannya. Hingga aku tiba di kamar, dan melirik dompetku, “Kemana sepuluh ribuku yaa?”. “Ah, mungkin tadi aku lupa naruh, atau terjatuh, atau bisa jadi dia terlupa mengembalikan, dan masih disimpan dalam saku celananya. Tak ingat persis. Sudahlah, cuma sepuluh ribu” pikirku.
Kedua kalinya. “Mbak Hanif, Mbak Hanif, pinjam tas. Coba lihat isinya”.  Ia membuka  tasku, mengeluarkan satu-satu isinya, kemudian memasukkan kembali. Satu tangan mendekap tas itu  lama, satu tangan lain ia biarkan di dalamnya, diam. Dan tetiba ”Mbak Hanif, aku mau minum” sambil spontan bangkit berdiri, berlari mengambil botol air minum dalam sebuah ruangan.  Ada yang berbeda. Ia kembali ke hadapanku dengan wajah lebih berbinar, dan bersemangaat. Hingga aku tiba di kamar, dan melirik dompetku, “Kemana sepuluh ribuku yaa?”. “Ah, mungkin aku salah ingat, pasti sepuluh ribu sudah kupakai”. Tetapi, sedikit mulai su’udzon “Atau, tadi dia ngambil ya? Ah, masak sich? Nggak mungkin. Orangtuanya bagus kok. Sudahlah, Cuma sepuluh ribu”. Pikirku
Ketiga kalinya. “Mbak Hanif,  hadap sana, aku mau sulap, tasnya Mbak Hanif  nanti bisa ilang”. Aku segera berpaling, membiarkan apapun yang dia lakukan. Aduh, apalah daya, aku mulai su’udzon lagi. Permainan “sulap” selesai, dan aku sedikitpun tak tergoda untuk mencari keberadaan tasku.  Iapun mengalah mengambilnya kembali “Ah, masak Cuma di sana Mbak Hanif nggak tahu”. Aku tersenyum, meminta tasku, membuka, dan melirik dompetku. Kosong. Hanya ada dua ribu rupiah di luar. Kali ini aku yakin, benar-benar yakin, ia yang mengambil. Beberapa jam sebelumnya aku memastikan, uang itu masih ada. Tidak banyak, hanya beberapa lembar dua ribuan yang kusiapkan untuk naik trans jogja _tapi , karena aku nggak masuk kantor lazis, tentu uang itu masih utuh_. Seketika itu juga, (mungkin) rautku berubah, senyumku mengembang marah. Berkali-kali ia bertanya “Mbak Hanif kenapa, kok mukanya gitu?”. “Aduh, gagal menjaga ekspresi” batinku. Sembari kusengajakan membuka-buka dompet, dan menatapnya lekat. Wajahnya memerah “Mbak Hanif punya uang berapa?”.

Ada yang bilang, anak kecil mengambil sembarangan itu wajar. Tapi ini bukan soal wajar dan tidak wajar. Ini juga bukan soal nominal. Hei, dia anak kecil, mudah sekali untuk membiasa, dan menjadi karakter yang mengakar hingga dewasa…… Sampai detik ini, aku masih berpikir, apa yang harus kulakukan untuk menegurnya? -_-