HITAM
Tilinili
07.34
0 Comments
Sensitif sekali dengan kata
ini. Curhat ah….
#Memang,
kalau nulis bau-bau curhat, mengalir banget..
Coba kali-kali nulis tentang carut
marutnya perpolitikan, yang penuh dengan analisa perilaku para politikus
itu sendiri, tentang motifnya, tentang tujuannya, tentang strateginya, tentang
para pendukungnya, dan bla bla bla. Semua nggak ada yang mutlak alias entah
berantah kebenarannya. #Nah, kan, bingung.
Intinya, aku sedang sensitif
dengan kata “Hitam”. Karena bahkan adik koskupun memanggilku dengan sebutan
“Mbak Hanif bin Hitam”. Aku mengalami traumatis tersendiri mendengar kata-kata
itu, mengingat banyaknya peristiwa menyakitkan yang kualami dan kesemuanya
berhubungan dengan kata hitam. Haha
Hari itu. Adik lesku berbisik
di telinga, dia ingin sekali bercerita. Baiklah kudengarkan, setidaknya
tenagaku tidak akan terkuras habis karena ngomong terus menerus juga rehat
sejenak dari menghadapi tingkah polahnya yang teramat sangat aktif sekali. Dan
jreng jreng jreng, ceritanya begini “Pada
jaman dahulu, ada seorang perempuan bernama Hanif. Kulitnya putih sekali.
Tetapi, waktu dia berjalan tiba-tiba kecemplung kali, yang airnya lethek (baca
: kotor). Karena itu, ia berubah menjadi hitam
seperti sekarang”. Cerita yang menarik bukan? Aku menyadari, anak
kecil itu memang selalu jujur, sepertihalnya beberapa hari lalu, ia juga pernah
menyanyikan sebuah lagu special untukku. Lagu dengan nada khas anak-anak TPA
“Tepuk Anak Shaleh”. Kali ini, liriknya
berubah 180 derajat. “Tepuk Hanif……”
“Kulitnya……” “Hitam……”
Bait pertama yang begitu kuingat diluar
kepala. Duh dek, jujur sekali kau nii, boong dikit kenapa…. Dan yang paling
menyakitkan, hari pertama aku membersamainya, tanpa bersalah ia mengatakan “Aku maunya diajar mbak yang gendut, bukan
mbak yang hitam”. #Lemes
Kejadian ini belum lama setelah
kejadian beberapa bulan lalu, di rumah. Hari sudah menjelang siang. Aku
berpakaian rapi, dengan gamis panjang
warna biru, juga jilbab warna biru tua, siap berangkat ke Jogja. Aku mendekati
ayahku yang sedang duduk manis di kursi dapur, sembari menikmati satu gelas teh
panas dihadapannya. Niatnya si berpamitan. Entah darimana bisikan itu datang,
tiba-tiba keluar dari mulutku,
“Pak, aku wis
ayu kan?”. Jarang-jarang lho sama Bapak candanya ginian.
“Iyo, ayu
banget”. Jawab Bapak. Berasa ada angin segar yang berhembus menyegarkan
telingaku. Bukan senang lantaran dibilang cantik lho ya (Aku mah tahu persis itu
hanya fitnah belaka), melainkan senang ternyata Bapak menanggapi candaanku.
Wajahnya tampak serius. Sempat hening beberapa detik, dan aku siap berbalik,
tiba-tiba muncul kata selanjutnya,
“Ireng
njluntheng koyo angus dandang (baca : hitam
legam bak pantat panci)”. Duh, kena pukulan telak, aku tak bisa
berkata-kata, shock. Samar-samar dari luar pintu ibuku menyahut,
“Ora Nduk,
ora. Dandang e dewe gek kuning kae warnane, ora tau dinggo. Sing ireng wajan
(baca : Nggak Nduk, panci kita warnanya masih kuning, jarang dipake. Yang hitam
wajannya)”. Seolah-olah kata ayahku adahal hal yang sangat menyakitkan, dan
ibu hendak membelaku. Aku hanya geleng-geleng kepala, ada-ada saja.
Bahkan
orang yang aku kagumi, meskipun sama sekali tak mengenalku tega-teganya menyindir
(dramatisir lho ya). Dalam sebuah acara bedah buku, seorang peserta bertanya “Inspirasi menulis dari mana?”. Spontan
beliau menjawab “Dari mana saja.
Contohnya (sembari menengok ke samping), hitam
pun bisa menjadi inspirasi. Adapun kualitas, yang penting kita punya pandangan
spesial. Sudut pandang spesial bukan berarti, waw dan luar
biasa, sederhanapun bisa. Contoh , pernah
ada anak peserta workshop, menulis begini –Ada orang hitam, bajunya hitam,
rambutnya hitam,
kulitnya hitam, tangan dan kakinya hitam,
semua hitam. Tetapi hatinya putih - . Siapa yang berpikiran
menulis seperti itu? Jarang. Bedakan dengan yang menulis hitam adalah gelap,
sedih, duka cita. Itu bisa jadi semua orang berpikiran sama”.
Dan
kejadian selanjutnya, saat salah seorang kawan SMA ku datang, tanpa basa-basi
menyampaikan “Ncen kok kowe tambah item
ya?” dan dengan basa basi aku menjawab “Tunggu
aja, aku nanti mau beli make up wardah (nggak berniat ngiklan) lengkap. Dari pembersih
hingga cream malam hingga sunblock hingga lipsticknya sekalian”. Haha
#maklum buta make up.
Sebenernya
masih banyak lagi kejadian “menyakitkan” serupa, tapi tak sanggup lagi
kuceritakan (lebay). Yang sering mengatakan aku hitam, tenang, aku bisa menyaingi
kalian. #Pake cat tembok warna putih.
Kisah ini kisah nyata. Aku sebagai korban, memilih
memaafkan daripada harus memendam dendam, karena, apa yang mereka katakan
memang benar adanya. Hahaha *Menangis meminta dukungan “Mari menggalang koin
hitam”….