Follow Us @whanifalkirom

Selasa, 11 Oktober 2016

W.a.k.t.u

13.09 0 Comments

Sesuatu yang sakral itu bernama waktu. Ia terus melaju, seiring bumi yang terus berrotasi, lalu kemudian kita namakan ‘hari’. Seiring bumi yang terus berrevolusi, lalu kemudian kita namakan ‘tahun’. Ketika sebuah bilangan tahun kita kerucutkan menjadi jam, menit, detik, mungkin terasa begitu sekejap saja. Sekejap yang terlalu berharga. Karena satu detik berlalu dengan sia-sia, berarti hilang sudah satu kesempatan yang kita punya. Kesempatan yang akan membentuk siapa diri kita selanjutnya, kesempatan yang akan mengubah siapa diri kita setelahnya.

Ada sebuah kata bijak tentang pemaknaan waktu yang layak untuk dijadikan renungan.
“Untuk memahami makna SATU TAHUN, tanyalah pada siswa yang tidak naik kelas. Untuk memahami makna SATU BULAN, tanyalah pada ibu yang melahirkan bayi premature. Untuk memahami makna SATU MINGGU, tanyalah pada editor majalah mingguan. Untuk memahami makna SATU HARI, tanyalah pada pekerja dengan gaji harian. Untuk memahami makna SATU JAM, tanyalah pada gadis yang sedang menunggu kekasihnya. Untuk memahami makna SATU MENIT, tanyalah pada seseorang yang ketinggalan kereta. Untuk memahami makna SATU DETIK, tanyalah pada seseorang yang selamat dari kecelakaan. Untuk memahami makna SATU MILI DETIK, tanyalah pada pelari peraih medali perak Olimpiade”

Islam, sebagai agama yang sempurna dalam mengatur kehidupan manusia telah mengingatkan untuk berhati-hati terhadap waktu. Supaya kita tidak menggunakannya dengan sesuatu yang buruk, sia-sia, ataupun tidak bermanfaat. Sebagaimana nasehat Rasulullah melalui sabdanya,
 “Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhori)
Juga firman Allah,
Demi waku. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal sholih, dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran”. (Q.S Al ‘Ashr)

Yaa. Hidup dalam perputaran waktu. Selalu ada masa, realita yang berjarak dengan idealita. Malu. Tatkala mengingati usia yang hampir melewati masa kritis remaja akhir dan beralih menuju kehidupan dewasa ini. Apa yang sudah dicapai? Sampai mana ilmu yang digali? Seberapa besar keberadaan ini member kontribusi? . Memang belum apa-apa. Namun, selalu ada juga masa, yang memberi ruang untuk belajar dari pengalaman, dan kemudian tidak jatuh pada lubang hingga berulang. Selalulah menjaga waktu, teraturlah dalam urusan. Mumpung masih muda, Mumpung masih sehat, Mumpung masih berkecukupan, Mumpung masih banyak waktu luang, dan Mumpung masih hidup. Semoga tercapai ideal versi kita, dan sesuai dengan ideal versi sesungguhnya (read : takdir).

Dalam sebuah analogi wadah; batu, kerikil, dan pasir. Pastikan tidak salah kapan harus menempatkan ketiga benda itu kedalam wadah. Ingat baik-baik, tujuan dan cita-cita hidup. Rumuskan dengan banyak cara untuk meraihnya. Kemudian, lakukanlah dengan bertahap, dan konsisten dengan sebuah proses. Namun perlu diingat, cita dunia itu hanyalah semu. Sungguh, yang abadi adalah menempatkan cita akhirat di atas segalanya. Juga perlu diingat, untuk mudah dalam urusan dunia, maka perbaiki terlebih dahulu urusan akhirat.
***
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya”. (Al Baqarah : 45 – 46)
Nb. Karena shalat adalah parameternya. Jadi, untuk siapa saja yang merasa waktunya begitu kurang, atau merasa aktivitas yang menumpuk tidak pernah selesai, atau kesulitan-kesulitan masih menghampiri sementara segalanya sudah terencana dengan matang, sejenak toleh kembali perkara yang bisa jadi kita anggap remeh, namun sejatinya pokok segala urusan, SHALAT. Sudahkah kita menjaga shalat? Untuk tepat waktu, untuk berjama’ah, untuk diiringi dengan qabliyah / ba’diyah, untuk diakhiri dengan dzikir dan do’a, untuk khusyu’,untuk…

Semoga kita tak berputus asa untuk selalu belajar istiqomah menjaga shalat. Semoga Allah senantiasa memudahkan segala urusan, dan menjaga waktu kita dari perkara yang sia-sia. Aamiin
Saudariku, saling mendoakan yaa…

(Sedang menampar diri sendiri yang lemah ini. Rupanya, harus keras dan berkali-kali)

Selasa, 30 Agustus 2016

KEHILANGAN

13.21 0 Comments
Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami? Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
(Tere Liye, dalam Novel Rindu)

#Karena kita hidup di dunia, ibarat seorang tukang parkir. Ketika berpasang-pasang kendaraan silih datang bergantian, tak ada pilihan selain menjaganya. Namun ketika kemudian berlalu satu-satu, tak ada pilihan selain membiarkannya pergi dibawa sang pemiliknya. Begitulah hakikat kehidupan. Tak ada sesuatupun yang sejatinya milik kita, ia hanyalah titipan yang diamanahkan.

#Karena tak pernah ada makhluk yang abadi. Sesuatu yang dicipta akan musnah, sesuatu yang bernyawa akan mati. Kekal itu hanya ada pada Dzat Yang Maha Tinggi.

#Untuk itu, jangan pernah merasa kehilangan. Karena Dia tahu kapan waktu terbaik untuk’nya’ menjauh pergi, dan akan terganti.

#Bersyukurlah, maka nikmat yang Ia hadirkan akan bertambah-tambah :)

Jumat, 12 Agustus 2016

Pulang

06.12 0 Comments
Duhai sahabatku, sepanjang hidup di dunia ini adalah sebuah proses belajar. Proses yang tidak akan pernah ada berhentinya hingga mata menutup usia. Sepanjang hidup di dunia ini adalah soal menghargai proses yang sedang terlewati. Tidak ada yang pantas dicela, tidak ada yang pantas dihina, apalagi hingga merasa ‘lebih baik’ dari sekeliling yang ada.
Maka, sepanjang hidup di dunia ini adalah tentang bersama-sama saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Mengingatkan tanpa menyakiti, mendukung tanpa meminta balasan, menegur tanpa menghakimi, mengajak tanpa berharap penghargaan, memperbaiki tanpa mempermalukan. Maka, sepanjang hidup di dunia ini adalah soal doa dan kepasrahan. Meminta supaya Allah melunakkan hati untuk menerima dan mengajak kepada kebaikan. Supaya Allah menganugerahkan kelembutan hati yang penuh ketulusan rasa berkasih sayang. Supaya Allah menjaga hati untuk tetap dalam keistiqomahan serta berpegang teguh pada kebenaran. Karena, tiada daya dan upaya, tanpa pertolonganNya..
***
Suatu ketika, perempuan itu berjalan dengan senyum merekah di bibirnya. Mengenakan t-shirt tanpa lengan dan celana sejengkal paha. Aduhai, siapa yang tidak mengenalnya? Si jelita dari negeri seberang yang pandai sekali memikat hati. Sekali dia memotong rambutnya, lihatlah esok hari, kau akan menemui perempuan-perempuan lain dengan potongan gaya rambut yang serupa. Sekali dia berganti style-nya berbusana, lihatlah esok hari kau akan menemui perempuan-perempuan lain dengan busana yang serupa. Si perempuan yang selalu merasa bahagia, hidupnya penuh dengan tawa. Sepi dan kesedihan? Ah semua ditepisnya. Pacar setia. Kerjaan terjamin. Ketenaran oke. Kecantikan diakui. Pergaulan sempurna. Ia menyukai pekerjaannya. Ia menyukai berkeliling pusat perbelanjaan seluruh sudut-sudut kota. Ia menyukai nongkrong bersama, menikmati ‘minum’ yang tersaji, menikmati rokok yang mengepul, menikmati musik yang mengalun. Ia menyukai duduk santai menatap layar bioskop. Ia menyukai terik matahari, hingga hujan deras sekalipun, asalkan bersama sang kekasih hati. Ah, sayang baginya untuk merasakan pulang, ketika hidupnya lebih menyenangkan habis di jalanan. Ruang kecil itu, hanya persinggahan saat tubuh mulai lelah, untuk kemudian tertidur, sejenak saja.
 Suatu ketika,  perempuan itu berjalan dengan hati yang retak-retak. Menggendong satu tas ransel berisi lipatan pakaian-pakaian mewahnya. Menikmati perjalanan dalam bis kota sambil menangis terisak. Entah, pada siapa harus mengadukan rasa, mengejawantahkan menjadi rangkaian kalimat saja bahkan tak tahu harus memulai dari mana. Semua bahagia dan tawa, lenyap seolah tak berbekas, tak tahu arah angin membawanya. Pacar setia? Ia tak lagi percaya sebuah kesetiaan. Kerjaan terjamin? Bahkan dalam sekejap surat pemberhentian itu tak akan lama lagi sampai tangannya. Ketenaran oke? Ia tak lagi membutuhkan sebuah ketenaran. Kecantikan diakui? Rupanya cantik punya andil besar menciptakan malapetaka. Pergaulan sempurna? Siapa sangka tak satupun yang bersedia menemani kepergian langkahnya. Ia pergi, dengan cibiran-cibiran kecil (bagi yang tahu), tatapan mata bengong (bagi yang menduga kenapa), senyum mengasihani (bagi yang sedikit punya empati). Ia pergi, untuk pulang. Pulang ke kampung halamannya. Pulang berdua, bersama janin di perutnya, yang kelak akan lahir dengan status tanpa ayah.
Suatu ketika, perempuan itu kembali berjalan dengan senyum merekah di bibirnya. Mengenakan kaos hitam lengan panjang, rok hitam panjang, dan jilbab hitam yang membalut di kepalanya. Duduk manis dalam sebuah ruko kecil menanti pelanggan. Bertutur dengan segenap kelapangan hati, bahwa ia, lain dulu lain sekarang. Bahwa penyesalannya, menguatkan hati untuk mendekat pada Sang Pemilik Kehidupan. Berharap bahwa hidupnya tak akan pernah lagi menjadi cerita. Tidak seperti saat ia banyak dipuji dan diikuti. Juga tidak seperti saat ia jatuh terpuruk menanggung kesalahannya sendiri. Biarlah, hidupnya biasa-biasa saja, asalkan bersamaNya. Hingga nanti, pada suatu waku ia pergi, untuk pulang yang sesungguhnya.
(Ide cerita dari sumber yang bersangkutan, terimakasih telah banyak mengajarkan)
***

“………..Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Q.S Al Baqarah : 222)

Sabtu, 06 Agustus 2016

Sajak Cinta

01.40 14 Comments
“Adakah sesuatu yang tak kau senangi?”
Ada.. Jatuh cinta sebelum waktunya
“Kenapa? Mencintai, dicintai itu fitrah manusia (The Fikr)”
Karena, bahkan harus berpikir seribu kali untuk sekedar tanya apa kabar
“Lalu?”
Tak ada. Istighfar saja kemudian
“Bersabarlah. Ada suatu waktu kau harus selalu memastikan dia baik-baik saja, tapi tidak sekarang”
Iya
“Kau merindukannya?”
Mungkin. Pada jarak-jarak yang tak mudah ditebak (ijonkmuhammad)
“Jika memang belum siap bersamanya, sampaikanlah perasaan itu pada angin saat menerpa wajah, pada tetes air hujan saat menatap keluar jendela, pada butir nasi saat menatap piring, pada cicak di langit-langit kamar saat sendirian dan tak tahan lagi hingga boleh jadi menangis. Dan jangan lupa, sampaikanlah pada Yang Maha Menyayangi, Semoga semua kehormatan perasaan itu dibalas dengan yang lebih baik (Tere Liye)”
Begitukah?
Orang-orang yang merindu, namun tetap menjaga kehormatan perasaannya, takut sekali berbuat dosa, memilih senyap, terus memperbaiki diri hingga waktu memberikan kabar baik, boleh jadi doa2nya menguntai tangga yang indah hingga ke langit. Kalaupun tidak dengan yang dirindukan, boleh jadi diganti yang lebih baik (Tere Liye)”
Perasaan ini membuatku takut
Cinta sejati itu kadangkala dekat dengan “takut”. Saat kita cemas jika cinta itu ternyata membawa keburukan, tidak-pantas, tidak sebanding, belum waktunya. Kemudian membuat kita melakukan refleksi, memikirkan banyak hal, untuk kemudian berusaha menjadi lebih baik, agar cinta itu menjadi pantas. Cinta sejati itu kadangkala dekat dengan “keraguan”. Saat kita maju-mundur, penuh tanda-tanya, gelisah, dan ragu-ragu. Kemudian membuat kita terus memperbaiki diri, mencari pegangan yang lebih kokoh, keyakinan, agar berani mengambil keputusan. Aduhai, cinta sejati itu kadangkala dekat dengan “pergi” hingga “melupakan”. Menyibukkan diri, membunuh semua kerinduan, menjaga jarak, menghindar dan sebagainya, hingga pergi jauh dalam artian sebenarnya. Kemudian terjadilah hal menakjubkan, saat jarak menjadi layu, waktu menjadi tiada berarti. Semua kembali ke titik semula saat berjodoh (Tere Liye).
Benarkah? Akankah ia kembali ke titik semula saat berjodoh?
“Percayalah, jodoh itu bukan masalah seberapa lama kau mengenalnya, seberapa akrab kau dengan orangtuanya, atau seberapa sering kau komunikasi dengannya. Tapi, seberapa yakin kau padaNya. Seberapa besar kepasrahan kau dengan takdirNya. Seberapa besar kau merayuNya. Seberapa semangat kau menyempurnakan ikhtiar mendapatkannya (Yusuf Mansur)”
Kesimpulannya?
“Kesimpulannya, kamu lebih baik tidur, sudah malam. Besok harus bangun pagi bukan?”
Ssssst, di luar sedang hujan
“Lantas?”
Mungkin aku sedang dekat dan bersua dengannya, dalam doa. Adakah yang lebih indah, selain doa-doa yang menyatu saat hujan deras?
“Baiklah, Semoga berkah dan bahagia di akhir cerita”
Aamiin
“Jangan lupa berterimakasih”
Pada siapa?”
“Hatimu dan hatinya. Karena telah menjaga dan bersedia bersabar. Bersabar terhadap perasaan yang sedang tumbuh, ingin sekali mekar, ingin sekali segera ranum. Akan tetapi masih percaya bahwa untuk menjadi mekar, perlu waktu (Kurniawan Gunadi)”


#Wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamaMu…..
#Untuk hati-hati dan para penanti yang sedang berusaha menjaga diri
#Yogyakarta, malam, hujan, dan doa :)

Jumat, 05 Agustus 2016

(Resensi) Matahari

06.41 1 Comments

Judul : Matahari
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia
Tebal Buku : 400 hlm; 20 cm
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2016
Harga : Rp. 82.000 (http://tbodelisa.blogspot.com/)

Sinopsis Buku:  
Namanya Ali, 15 tahun, kelas X. Jika saja orangtuanya mengizinkan, seharusnya dia sudah duduk di tingkat akhir ilmu fisika program doktor di universitas ternama. Ali tidak menyukai sekolahnya, guru-gurunya, teman-teman sekelasnya. Semua membosankan baginya.

Tapi sejak dia mengetahui ada yang aneh pada diriku dan Seli, teman sekelasnya, hidupnya yang membosankan berubah seru. Aku bisa menghilang, dan Seli bisa mengeluarkan petir.

Ali sendiri punya rahasia kecil. Dia bisa berubah menjadi beruang raksasa. Kami bertiga kemudian bertualang ke tempat-tempat menakjubkan.

Namanya Ali. Dia tahu sejak dulu dunia ini tidak sesederhana yang dilihat orang. Dan di atas segalanya, dia akhirnya tahu persahabatan adalah hal yang paling utama.
***
Murni Copast dari blog teman, baca versi lengkap dan aslinya di sini
Belum baca nih, kalau ada yang punya boleh donk pinjam :) :) :)

Kamis, 04 Agustus 2016

22.00 0 Comments
Aku, bukan seorang yang baik hati yang kehadirannya sering dinanti....
Aku, sudah bahagia bila dalam banyak waktu menerima pesan “Mbak Haaniif, butuh sandaran”. Aku, sudah bahagia bila ada yang mengingatku tentang biru, awan-awan di langit, hujan dan segala tentangnya. Aku, sudah bahagia bila ada yang menyapaku “Haaaaniiiiiiiffff atau Kirooooooooooom”. Aku, sudah bahagia bila pernah ada yang memanggilku dengan sebutan baru “Nduk, Nipo, Hanhan, Nipnip, Jro, Tun, Mbakyu, Hansho, Ciint (dan entahlah banyak lagi)”. Bahkan, aku sudah bahagia bila ada adik-adik tempat mengajar selalu menggandeng-nggandeng tanganku, merengek lirih meminta kado ulangtahunnya (Meskipun entah, aku bisa memberi atau tidak).
Dan diantara yang sedikit itu, aku bersyukur, yang pasti hanya karena kemurahhatianNya Ia hadirkan kalian menjadi bagian penting dalam hidupku. Maaf untuk egoisnya diriku memintamu untuk tetap menjadi teman baikku, sementara aku tak bisa menjadi teman yang baik untukmu. Maaf juga, ternyata aku lebih banyak sekali merepotkanmu daripada sesekali membantumu. Tapi, terimakasih, kalian tetap menyambutku dengan sambutan yang sangat sangat hangat. Semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan.  *malu*
Iya, kalian, yang nama-namanya sebagian sudah tersemat di beranda ini. Ajak aku belajar, ajari aku untuk memiliki hati yang cantik (repost TereLiye), seperti kalian.
#Alhamdulillah. Maka, Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Engkau Dustakan?
#Menemukan spirit yang hilang (Edisicurcolnyaudahan, terimakasih untuk bait-bait panjang yang kalian dengarkan)

Selasa, 02 Agustus 2016

Bincang Bareng Ayah (BBA) #10

22.39 0 Comments
H-3 Menjelang lebaran. Rumah mulai ramai. Bukan kakak-kakakku yang sudah pulang, melainkan beberapa tamu yang datang silih berganti (entah ngapain). Usai siangi lembayung di dapur, aku berjalan keluar. Masih terlalu ‘pagi’ untuk ikut merusuhi masak-memasak menu buka puasa sore nanti. Kulihat ayahku duduk di kursi belakang rumah, sembari asyik memberi makan ayam-ayam kecil. Akupun mendekatinya. Ah, mungkin melihatku yang lama terdiam, beliau lantas membuka percakapan.
Bapak  : “Ada cangkriman Jawa nduk, didengerin yaa
Aku     : “Yaaa
Bapak  : “Ono wit dhikih woh dhikih, wit dhikih woh dhakah. wit dhakah woh dhikih, wit dhakah woh dhakah
Aku     : “Terus maksudnya?”
Bapak  : “Ya didengerin dulu, pernah denger apa nggak?”
Aku     : “Belum
Bapak  : “Wit dhikih woh dhikih, itu contohnya pohon cabe. Pohon dan buahnya kecil kan? Tapi siapa yang makan nggak merasa pedas? Dinikmati semua kalangan juga kan?”
Aku     : “Iya
Bapak  : “Itu gambaran untuk manusia. Tak mengapa jadi orang ‘kecil’. Tetaplah hidup yang bersahaja  dan sederhana. Namun saling bebrayan (nggak tau indo-nya), saling rukun, tumbuh bersama, dan saling membantu. Tentu, memetik hasilnya kemudian. Ibarat membuahkan cabe yang rasanya pedas dan dinikmati banyak orang, dengan hidup yang demikian membuahkan  keberhasilan hidup yang memberikan manfaat pada banyak orang pula
Aku     : “(diam tanpa kata)”
Bapak  : “Terus wit dhikih woh dhakah, ialah pohon semangka. Pohonnya kecil, tumbuh menjalar, merambat pelan-pelan. Tapi lihatlah, buahnya besar kan?. Itu juga punya maksud, jadilah manusia yang selalu maju. Tidak perlu minder, tidak perlu merasa rendah. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan dengan jalan masing-masing. Bahkan kalau dalam agama, semua orang sama, yang membedakan hanya taqwanya bukan?”
Aku     : “He’em
Bapak  : “Yang ketiga wit dhakah woh dhikih. Kalau ini, pohon beringin. Pohonnya besar, tapi buahnya, aduuh, kecil-kecil banget. Ini juga menggambarkan, jadilah orang kalau sudah mapan, sudah sukses, sudah berhasil, termasuk sudah jadi pemimpin ya seperti pohon beringin. Teduh dan mengayomi. Mengayomi siapa? Ya siapapun, semua orang, terutama orang yang benar-benar membutuhkan. Bukan malah semakin menelantarkan. Intinya, kedermawanan.  Selain manusia yang bisa berteduh dibawahnya, bahkan pohon beringin ternyata menjadi penyedia makanan bagi burung-burung, yaitu buah kecil-kecilnya
Aku     : “(Mulai angguk-angguk setuju) Nah tinggal yang terakhir ya?”
Bapak  : “Yaa, sebentaar. Sekarang yang terakhir. Wit dhakah woh dhakah itu pohon kelapa. Pohonnnya tinggi, besar, buahnya juga besar. Pohon kelapa lambang kebermanfaatan kan? Semua bagiannya berguna. Nah, jadilah orang yang selalu berusaha untuk tumbuh seperti pohon kelapa, yang selalu memberi manfaat untuk orang lain. Khoirunnas anfa’uhum linnas. Wis, mudeng?
Aku     : “Mudeng mudeng Pak (Sambil tertawa. Sebab aku menduga, nanti mas ipar datang Bapak akan mengulang cerita demikian, dan aku sudah bisa menimpali, sedangkan mas ipar mah masih senyum-senyum saja. Hhe)

Jumat, 10 Juni 2016

* Diary Ramadhan * (5) *Momentum Ramadhan*

22.00 0 Comments

Momentum Ramadhan
(Inspired by Ust. Ridwan Hamidi, Lc. MA dalam ceramah tarawih Masjid Mujahidin UNY)

Ramadhan dalam perspektif ulama, dibahasakan dengan ungkapan fursoh / kesempatan / momentum langka. Jadi, akan sangat rugi jika amalan ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadhan biasa-biasa saja. Padahal, ada peluang pahala sebanyak-banyaknya yang bisa kita raih.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Daud, terkait salah satu kesempatan di hari Jum’at “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at, kemudian bersegera datang ke masjid, dan mendekati imam, dan menyimak apa yang khotib sampaikan, serta tidak melakukan hal yang membuat lalai, satu langkahnya sepadan dengan shalat dan puasa satu tahun”. Bayangkan saja, apabila seorang laki-laki menjalankan apa yang disampaikan oleh hadits di atas. Jika jarak rumahnya dengan masjid adalah sebanyak dua ratus langkah, maka ia akan mendapat pahala puasa dan shalat selama dua ratus tahun. Itu adalah contoh orang yang pandai memanfaatkan momentum.
Umur umatku antara 60-70 tahun, dan sangat sedikit yang melampaui batas tersebut”, (HR. At Tirmidzi). Sebagai umat terakhir, umat Nabi Muhammad saw dikaruniai usia yang paling pendek daripada umat-umat sebelumnya. Akan tetapi,  ia mempunyai peluang untuk masuk surga pertama kali. Siapa? Yaitu, orang-orang yang pandai menggunakan momentum, yaitu memanfaatkan peluang amal dengan pahala besar.
Adapun contoh momentum di bulan Ramadhan adalah:
TarawihBarang siapa yang ikut shalat tarawih berjamaah bersama imam sampai selesai maka untuknya dicatat seperti shalat semalam penuh”. (HR. Abu Daud dan Turmudzi)
Memberi makan orang berbuka puasaBarangsiapa memberi makanan berbuka kepada orang-orang yang berpuasa, maka baginya pahala senilai pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun”. (HR Tirmidzi dan An Nasa’i)
SedekahSedekah paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan”. (HR Tirmidzi)
Beberapa hal di atas hanyalah sebagai contoh beberapa peluang ibadah yang bisa dilakukan di bulan Ramadhan. Tentu saja, disamping bulan Ramadhan memang merupakan bulan yang utama dan mulia, bulan syahrul Qur’an, bulan syahrun Mubarak, bulan maghfiroh, bulan pembebasan dari api neraka, bulan yang didalamnya terdapat malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
So, kesimpulan, apabila disediakan ladang amal di hadapan kita, sekecil apapun, ambillah…. Karena, sekali ditunda belum tentu akan terbuka di waktu berikutnya. Semoga kita termasuk orang yang bisa memanfaatkan momentum, serta mendapat kemuliaan dan berkah Ramadhan J Aamiin
 Yogyakarta, 10 Juni 2016

Kamis, 09 Juni 2016

* Diary Ramadhan * (4) *Hukum Islam*

22.00 0 Comments

Hukum Islam
(Inspired by Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, MA dalam ceramah tarawih Masjid Syuhada, Yogyakarta)

Seluruh perbuatan manusia, tidak serta merta berjalan begitu saja. Harus ada hukum, acuan atau patokan-patokan tertentu sebagai pedoman dan aturan dasar yang harus ditaati. Sebagai orang islam, sudah menjadi kewajiban untuk mengikuti aturan-aturan hukum islam, atau yang sering kita sebut dengan hukum syari’ah. Meskipun, hukum islam tidak secara otomatis akan menjadi hukum nasional yang diterapkan dalam sebuah Negara. Hukum syari’ah sendiri merupakan hukum yang diambil dari dalil-dalir rinci baik dari Al Qur’an maupun sunnah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (akil baligh, sudah mempunyai tanggungjawab dalam beragama).
Sumber hukum islam ada dua hal, yaitu: (1) Al Qur’an. Seluruh ayat Al Qur’an bersifat pasti, tidak ada keraguan padanya. Didalam Al Qur’an sendiri,  terdapat 600 ayat yang berkaitan dengan hukum. (2) Hadits, yang terbagi menjadi 4 kelompok dengan kriteria berdasarkan jumlah perawi ( hadits mutawattir dan ahad), berdasarkan kekuatan/kualitas periwatannya, berdasarkan tertolaknya periwayatan, juga berdasarkan perbedaan pandangan ulama dalam menerima maupun menolaknya.
Al Qur’an menjadi sumber yang utama dalam menentukan sebuah hukum. Namun, ada kalanya, ayat-ayat yang disampaikan perlu dianalisa dan dipahami lebih lanjut, karena yang tertera hanyalah prinsip-prinsip umum,  atau secara kuantitatif jumlahnya terbatas. Dalam mengeluarkan atau memilih sebuah hukum, ada beberapa golongan kaum muslimin, yaitu:
Mujtahid mutlak, yaitu orang yang dengan ketinggian ilmunya mampu menyimpulkan hukum-hukum islam dari sumber-sumbernya yang asli dengan menyusun metodologinya sendiri. Ialah orang yang menguasai ayat-ayat hukum, hadits-hadits hukum, bahasa arab dg seluruh cabagng ilmunya, ulumul qur’an, ulumul hadits, ushul fiqh, dan lain-lain. Mereka yang termasuk dalam golongan ini, contohnya adalah empat imam madzhab.
Mujtahid madzhabi, yaitu orang yang mengikuti metodologi ijtihad imam madzhab, namun tidak taklid kepada imamnya baik dalam pendapat maupun dalilnya.
Muttabi’, yaitu orang yang mengikuti pendapat dari mujtahid tapi dengan mengetahui dalil-dalilnya. Sebagai contoh, dalam masalah hukum tertentu, ia menguraikan dari berbagai macam pendapat, dianalisa dengan logika hukum, kemudian dibandingkan antara pendapat yang satu dengan yang lain. Sehingga, dalam memilih, maka pilihan jatuh pada pendapat yang paling kuat diantaranya.
Mukallid, yaitu orang yang hanya mengikuti kata gurunya. Tidak tahu persis seperti apa dalilnya, maupun pendapat ulama tentang persoalan tersebut. orang yang taklid ini, tidak ada jaminan apapun, dalam artian ketika orang yang diikutinya benar maka ia benar, ketika orang yang diikutinya salah ia juga salah. Namun begitu, tanggung jawab tetap diemban sendiri, bukankah masing-masing kita, diwajibkan untuk menuntut ilmu atas apa-apa yang belum kita tahu?
***
Intermezo.
Orang bertanya “Bagaimana hukumnya melakukan ini & itu? Banyak sekali pendapat yang berkembang di masyarakat, yang benar yang mana? Maklum, saya masih bingung, saya hanya orang awam ustadz..
Ustadz menjawab “Kalau jadi orang awam kerap bingung, makaa berhentilah menjadi orang awam

#Mohon maaf jika ada kesalahan atau ketidaksesuaian redaksi, mohon koreksi J Apa yang diuraikan sebenarnya sangat panjang, tapi karena masih pol dangkalnya ilmu, jadi belum terlalu paham#




Rabu, 08 Juni 2016

* Diary Ramadhan * (3) *Tarawih, Witir, & Tahajjud*

22.00 0 Comments

Bolehkah melaksanakan shalat tahajjud, sementara sudah melakukan shalat tarawih dan witir?
(Inspired by Ust. Talqis Nurdiyanto, Lc dalam ceramah tarawih Masjid Nurul Asri, Deresan, Yogyakarta)

Wahai orang yang berselimut! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari,…”
(QS. Al Muzammil : 1-2)

Ada titik perbedaan antara shalat tahajjud dan shalat tarawih, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Dari sejarah pensyariatannya. Perintah melaksanakan shalat tahajjud turun pada saat Rasulullah saw masih di Makkah, sedangkan perintah melaksanakan shalat tarawih turun ketika Rasulullah sudah hijrah ke Madinah.
b.      Rasulullah saw melaksanakan shalat tahajjud di sepanjang malam, sedangkan melaksanakan shalat tarawih hanya dilakukan sebanyak 3x berturut-turut. Hal ini disebabkan karena khawatir akan dianggap sebagai sebuah kewajiban dan memberatkan. Jadi, shalat tahajjud lebih intens dilakukan daripada shalat tarawih
c.       Shalat tahajjud dilaksanakankan setiap hari, di sepajang masa. Sementara, shalat tarawih dilaksanakan hanya pada bulan Ramadhan.
d.      Dalam 3x shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah, semuanya dilakukannya di masjid dengan jumlah jama’ah yang banyak dan semakin bertambah di setiap harinya. Sedangkan shalat tahajjud lebih sering dilakukan sendirian, di rumah (kamar Aisyah) atau di masjid dan kalaupun berjama’ah paling banyak hanya dengan 1 / 2 orang sahabat.
e.       Shalat tarawih dilakukan di awal malam, setelah shalat isya’ dan sebelum tidur. Sedangkan shalat tahajjud dilaksanakan di akhir malam, setelah tidur
f.        Jumlah raka’at shalat tahajjud, menurut beberapa riwayat disebutkan 11 / 13 raka’at. Sedangkan shalat tarawih, masih menjadi ikhtilaf. Tidak ada satupun hadits yang menjelaskan berapa jumlah raka’at tarawih di masa Rasulullah saw. Beberapa orang melaksanakan 11 raka’at berdasarkan hadits Aisyah yang shohih. Haditsnya memang shohih, namun para ulama umumnya sepakat bahwa hadits tersebut bukan terkait shalat tarawih melainkan terkait shalat tahajjud. Data yang paling valid adalah 20 rakaat, yaitu shalat tarawih yang dilaksanakan oleh sahabat sepeninggal Rasulullah saw di masa Umar. Hal ini bisa menjadi acuan, karena logikanya tidak mungkin sahabat melaksanakannya tanpa dasar apapun, asumsinya, mereka melakukan persis yang dilakukan di masa Rasulullah saw.

Adapun persamaan dari shalat tarawih dan tahajjud adalah sebagai berikut:
a.       Baik shalat tarawih maupun shalat tahajjud, keduanya termasuk dalam Qiyamul lail, yaitu semua jenis shalat yang dilakukan di malam hari.
b.      Meskipun Rasulullah melaksanakan shalat tarawih hanya sebanyak 3 x, namun bukan berarti dicabut pensyariatannya. Status hukumnya tetap sunnah, ada sebagian ulama yang mengatakan hukumnya adalah sunnah muakkadah. Jadi, baik shalat tahajjud maupun shalat tarawih, keduanya termasuk shalat sunnah

Tentang shalat witir:
a.       Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan shalat witir”. (HR Bukhari dan Muslim). Jadi, shalat witir merupakan penutup shalat sunnah lain di malam hari. Ada ulama yang juga menjelaskan bahwa shalat witir, didahului oleh shalat yang genap raka’atnya. Jadi, bisa disimpulkan shalat witir bisa dilaksanakan setelah shalat tarawih ataupun shalat tahajjud.
b.      Kemudian beliau bangun untuk melaksanakan rakaat kesembilan, hingga beliau duduk tasyahud, beliau memuji Allah dan berdoa. Lalu beliau salam agak keras, hingga kami mendengarnya. Kemudian beliau shalat dua rakaat sambil duduk”. (HR. Muslim).
Menurut Imam An Nawawi, dari hadits di atas menjelaskan bahwa diperbolehkan melakukan shalat sunnah setelah shalat witir, dengan tidak usah mengulangi witir kembali.
Jadi, kesimpulannya, boleh atau tidak shalat tahajjud setelah tarawih & witir? Jawabannya diperbolehkan, dan tidak perlu shalat witir lagi.
Barang siapa yang ikut shalat tarawih berjemaah bersama imam sampai selesai maka untuknya itu dicatat seperti shalat semalam suntuk”. (HR. Abu Daud dan Turmudzi)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa ketika melaksanakan shalat tarawih, dianjurkan untuk mengikuti imam sampai selesai sampai witirnya. So, tidak perlu memotong 8 raka’at, hanya untuk melaksanakan witir setelah tahajjud di akhir malam J
Yogyakarta, 8 Juni 2016