Follow Us @whanifalkirom

Kamis, 14 Februari 2013

Beautiful Mind

10.27 2 Comments

Merupakan film cerminan dari kisah nyata, John Nash. Ilmuwan matematika, yang (tentunya) sering utak-atik angka. Jenius tapi apatis. Menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Princeton, dengan beasiswa. Tidak menyukai kuliah dalam kelas, karena baginya sia-sia, mengekang kreatifitas, dan menyebabkan otak tumpul. Lalu, ia menyukai belajar secara otodidak, lebih banyak meluangkan waktu di luar untuk memahami dan memecahkan masalah dengan pemikirannya sendiri.
Dan ternyata... Ia mengidap penyakit gangguan jiwa (schizoprenia), tak bisa membedakan antara halusianasi dan kehidupan nyata. Halusinasi, dengan merasa bahwa dirinya terlibat dalam konspirasi militer tingkat tinggi. Ia berada dalam keanggotaan rahasia (intel) departemen pertahanan AS yang sedang melakukan spionase ataupun pelacakan terhadap rencana pemboman yang dilakukan oleh Rusia.
Schizoprenia, dengan gejala paranoid terhadap lingkungan sekitar, tak ada obat yang mampu menyembuhkan. Hingga istrinya, Alicia, datang dengan kasih sayang dan dukungan, melakukan dekonstruksi ulang terkait fantasi yang diderita, dengan ketekunan ; kesabaran; John Nash dapat kembali ke kehidupan semula. Mengabaikan seluruh fantasi, khayalan, dan halusinasi yang tiap akali hadir mengganggu. Akhirnya, bangkitlah menjadi seorang John Nash luar biasa, peraih nobel dalam bidang ekonomi 1994.
--Selamat Menonton--

Selasa, 12 Februari 2013

Anak Kecil Oh Anak Kecil #2

11.45 0 Comments
Hampir usai. Kusempatkan diri untuk ke-tiga kalinya berkunjung ke Surabaya (rumah kakak ke-enamku). Menyapa mereka, alhamdulillah, sampai dengan selamat, meski tangan kanan sedikit kaku, menenteng kardus sendirian, dan.. berat.
Ah, disinipun aku membersamai dua ponakan (juga TK + usia tiga tahunan). Berasa mirip di rumah, menghadapi kenakalan-kenakalan anak kecil. Hanya saja, disini ada satu ponakan laki-laki. Sampai depan pintu, terlihat mereka di ruang depan. Masih malu-malu rupanya. Bersalaman singkat, diam tanpa kata, ekspresi datar. Si kakak memilih berlari, masuk dalam kamar. Si adik memilih menyembunyikan muka dibalik budhe (yang mengasuh)nya. Kupanggil-panggil, tak bergeming.
Tak lama. Si kakak keluar, mulai tertawa-tawa, berlari dihadapan. Menunjuk kearahku, “itu siapa itu” mengajakku bercanda. Ku kejar dirinya, dan seketika... laaariii dengan terbahak-bahak. Berulang-ulang seperti itu, hingga dia bahkan mulai memukul, menendang-nendang wajahku, menginjak-injak kakiku. #sakit. Begitulah setiap harinya, saat kutanya kok mukul “Main robot ultramen, melawan monster jahat, robotnya besar terbang sampai awan”.ckck
Melihat Hp jadulku, meminta bermain “ular”, tak ada dan berganti dengan bola. Selalu begitu. Karena hpnya sering mati, rupanya tak sabar. Dengan mulut manyun, tangan bersedekap, “hp bulek kok gitu, ayo cepet benerin”. Lalu.... kembali mukul-mukullah dia.
Hari minggu tiba. Terbangun pukul 5 pagi, bersiap menonton “robot” di tv. Menarik lenganku kuat-kuat, “ayo toooooo”. Aku tak mengindahkan, hanya duduk dalam kamar, bermain dengan layar. Iapun keluar masuk, sembari memukul, dan tak lelah memaksaku untuk ikut menonton. Kubilang, ceritakan saja nanti, dan itu berarti aku juga bersiap untuk “sakit” lagi menghadapi prakteknya menjadi robot. Hehe
Saat semangat belajar datang, diambillah laptop mainanannya, bermain-main dengan huruf alfabet, dan memintaku untuk mengujinya. Alhasil, tak mau berhenti, dan bosanlah aku. Saat hitung-menghitung mulai tak bisa dijawabnya, kesal, dan marah, memaksaku untuk menjawabnya (aku yang tanya, dan akulah yang menjawab)
Di setiap shalat tiba, iapun tak mau kalah, harus shalat juga. Bedanya, ia shalat persis di depanku, dengan gerak yang super cepat, sambil menarik sajadah perlahan. Puaslah dirinya, tertawa keras-keras. Lalu ia akan membaca beberapa surat pendek, dengan kalimat yang dibuat samar dan asal, lalu terbahak kembali.
Si adik lebih diam, tapi “ngeyel”. Apapun semua serba memaksa. Tas, dompet, tissue, yang tlah kusimpan tidak lagi rapi. Mengajak jalan-jalan harus kesampaian. Berebut mainan, hingga mendapatkan. Berlari-lari minta ditangkap. Jika tidaaak.... nangislah ujungnya.

--lagi-lagi, anak Nakal, itu tandanya ber-Akal--

Sabtu, 02 Februari 2013

Anak Kecil Oh Anak Kecil #1

10.50 0 Comments

Liburku setelah UAS semester ganjil kali ini emang terbilang lama dibandingkan dengan semester ganjl tahun-tahun lalu. Biasanya, paling lama tiga minggu, kini satu bulan penuh. Dan kemudian, awal liburan akupun banyak menghabiskan waktu di rumah, bersama dengan kedua orangtuaku, kakak dan iparku, beserta dua keponakan yang masih kecil-kecil, TK dan usia tiga tahun-an.
Apa yang kubayangkan, benar terjadi. Seharian penuh tak terhitung lagi kami (aku dan keponakan) saling bertengkar. Suatu hari saat pagi, aku ikut menyibukkan diri memaksanya menyisir rambut atau mengenakan kerudung. Biasanya, ia akan berteriak keras menolak, marah-marah, bahkan menangis hingga memutuskan untuk tidak jadi berangkat sekolah. Beruntungnya, hari itu rayuan-rayuan kecil cukup meredamkan marah dan iapun menganggukkan kepala.
Lalu, sepulang sekolah, ia sudah memanggil-manggil dari kejauhan. Menggedor-gedor pintu memintaku untuk memutar film “3 idiot” andalannya. Merasa terganggu, akupun marah dalam hati, cukup keluar dari kamar, sambil tersenyum mengatakan “ya udah nonton, putarlah sana sendiri” sambil berlalu. Lihatlah, dua anak kecil itu, hanya terdiam memamtung menatapku, tanpa sepatah katapun.
Tak berselang lama, aku memposisikan diri terbaring di depan televisi, memegang remote kuat-kuat. Namun, keponakanku masih saja “berulah”. Ia jongkok tepat di depan televisi, menghalang-halangi, dan terkadang memencet tombol memindah channel sesukanya. Berulangkali ku mencegah, tiada hasil. Dengan jurus ancaman, kukatakan, “ya udah, tv dimatikan, kabelnya mau tak cabut”. Seketika dia berdiri, bersandar duduk dipangkuan sambil mengomel sendiri “ya udah, aku besok mau kaya, punya tv banyak, dan bulek nggak boleh nonton. Pokoknya ... pokoknya...”. Lagi-lagi rayuan kecil membuatnya berhenti mengoceh dan iapun terdiam senyum.
Tak berhenti sampai disana, kami sudah ‘baik-baik’. Dua ponakanku lantas masuk dalam kamar, mengambil bedak, menumpahkan di tangan banyak-banyak, mengusapkan di wajah, dan keluar sudah seputih tembok. Terkaget-kaget melihatnya, ditambah mendengar “bulek, cantik banget kan, sudah kaya’ putri?”. Tak mau kalah, si adik pun mengikuti kelakuan kakaknya, menumpahkan lebih banyak, hingga tercecer di bawah. Memang mengesalkan. Batinku
Masih berlanjut. Siang mulai berlalu. Manggis yang ada di meja, kini sudah dalam genggaman tangan. Satu, Dua, Tiga, semuanya minta dikupas. Tapi apa yang terjadi, hanya diambil yang besar-besar (padahal justru bijinya juga besar), yang kecil diremas-remas dan dibuang. Aduhai, mending aku yang makan.
Apa lagi? Masuk lagi ke dalam rumah. Kursi yang rapi tertumpuk, diambil satu-satu. Dipasang terbalik berjajar, “bermain kereta”.katanya. Lalu diambillah sebuah selimut besar untuk menutup seluruh bagian kereta kursi, kemudian kedua ponakanku masuk, dan mengintai sambil memanggil-manggil, “bulek, naik kereta, nggak keliatan”. Capek juga meladeninya. Hingga habis sudah kesabaranku, memaksa berhenti, dan mereka marah lagi. Eh eh, katanya “nggak mau sama bulek lagi, besok Fatkha (nama ponakanku) mau ke Irian, naik pesawat, biar kalo bulek kangen nggak bisa ketemu Fatkha”. Cukup kujawab, “iya, iya, mau ke Irian ya, naik pesawat?”