Follow Us @whanifalkirom

Sabtu, 02 Februari 2013

Anak Kecil Oh Anak Kecil #1


Liburku setelah UAS semester ganjil kali ini emang terbilang lama dibandingkan dengan semester ganjl tahun-tahun lalu. Biasanya, paling lama tiga minggu, kini satu bulan penuh. Dan kemudian, awal liburan akupun banyak menghabiskan waktu di rumah, bersama dengan kedua orangtuaku, kakak dan iparku, beserta dua keponakan yang masih kecil-kecil, TK dan usia tiga tahun-an.
Apa yang kubayangkan, benar terjadi. Seharian penuh tak terhitung lagi kami (aku dan keponakan) saling bertengkar. Suatu hari saat pagi, aku ikut menyibukkan diri memaksanya menyisir rambut atau mengenakan kerudung. Biasanya, ia akan berteriak keras menolak, marah-marah, bahkan menangis hingga memutuskan untuk tidak jadi berangkat sekolah. Beruntungnya, hari itu rayuan-rayuan kecil cukup meredamkan marah dan iapun menganggukkan kepala.
Lalu, sepulang sekolah, ia sudah memanggil-manggil dari kejauhan. Menggedor-gedor pintu memintaku untuk memutar film “3 idiot” andalannya. Merasa terganggu, akupun marah dalam hati, cukup keluar dari kamar, sambil tersenyum mengatakan “ya udah nonton, putarlah sana sendiri” sambil berlalu. Lihatlah, dua anak kecil itu, hanya terdiam memamtung menatapku, tanpa sepatah katapun.
Tak berselang lama, aku memposisikan diri terbaring di depan televisi, memegang remote kuat-kuat. Namun, keponakanku masih saja “berulah”. Ia jongkok tepat di depan televisi, menghalang-halangi, dan terkadang memencet tombol memindah channel sesukanya. Berulangkali ku mencegah, tiada hasil. Dengan jurus ancaman, kukatakan, “ya udah, tv dimatikan, kabelnya mau tak cabut”. Seketika dia berdiri, bersandar duduk dipangkuan sambil mengomel sendiri “ya udah, aku besok mau kaya, punya tv banyak, dan bulek nggak boleh nonton. Pokoknya ... pokoknya...”. Lagi-lagi rayuan kecil membuatnya berhenti mengoceh dan iapun terdiam senyum.
Tak berhenti sampai disana, kami sudah ‘baik-baik’. Dua ponakanku lantas masuk dalam kamar, mengambil bedak, menumpahkan di tangan banyak-banyak, mengusapkan di wajah, dan keluar sudah seputih tembok. Terkaget-kaget melihatnya, ditambah mendengar “bulek, cantik banget kan, sudah kaya’ putri?”. Tak mau kalah, si adik pun mengikuti kelakuan kakaknya, menumpahkan lebih banyak, hingga tercecer di bawah. Memang mengesalkan. Batinku
Masih berlanjut. Siang mulai berlalu. Manggis yang ada di meja, kini sudah dalam genggaman tangan. Satu, Dua, Tiga, semuanya minta dikupas. Tapi apa yang terjadi, hanya diambil yang besar-besar (padahal justru bijinya juga besar), yang kecil diremas-remas dan dibuang. Aduhai, mending aku yang makan.
Apa lagi? Masuk lagi ke dalam rumah. Kursi yang rapi tertumpuk, diambil satu-satu. Dipasang terbalik berjajar, “bermain kereta”.katanya. Lalu diambillah sebuah selimut besar untuk menutup seluruh bagian kereta kursi, kemudian kedua ponakanku masuk, dan mengintai sambil memanggil-manggil, “bulek, naik kereta, nggak keliatan”. Capek juga meladeninya. Hingga habis sudah kesabaranku, memaksa berhenti, dan mereka marah lagi. Eh eh, katanya “nggak mau sama bulek lagi, besok Fatkha (nama ponakanku) mau ke Irian, naik pesawat, biar kalo bulek kangen nggak bisa ketemu Fatkha”. Cukup kujawab, “iya, iya, mau ke Irian ya, naik pesawat?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar