Liburku setelah UAS semester ganjil kali ini emang
terbilang lama dibandingkan dengan semester ganjl tahun-tahun lalu. Biasanya,
paling lama tiga minggu, kini satu bulan penuh. Dan kemudian, awal liburan
akupun banyak menghabiskan waktu di rumah, bersama dengan kedua orangtuaku,
kakak dan iparku, beserta dua keponakan yang masih kecil-kecil, TK dan usia
tiga tahun-an.
Apa yang kubayangkan, benar terjadi. Seharian penuh
tak terhitung lagi kami (aku dan keponakan) saling bertengkar. Suatu hari saat
pagi, aku ikut menyibukkan diri memaksanya menyisir rambut atau mengenakan
kerudung. Biasanya, ia akan berteriak keras menolak, marah-marah, bahkan
menangis hingga memutuskan untuk tidak jadi berangkat sekolah. Beruntungnya,
hari itu rayuan-rayuan kecil cukup meredamkan marah dan iapun menganggukkan
kepala.
Lalu, sepulang sekolah, ia sudah memanggil-manggil
dari kejauhan. Menggedor-gedor pintu memintaku untuk memutar film “3 idiot”
andalannya. Merasa terganggu, akupun marah dalam hati, cukup keluar dari kamar,
sambil tersenyum mengatakan “ya udah nonton, putarlah sana sendiri” sambil
berlalu. Lihatlah, dua anak kecil itu, hanya terdiam memamtung menatapku, tanpa
sepatah katapun.
Tak berselang lama, aku memposisikan diri terbaring di
depan televisi, memegang remote kuat-kuat. Namun, keponakanku masih saja
“berulah”. Ia jongkok tepat di depan televisi, menghalang-halangi, dan
terkadang memencet tombol memindah channel sesukanya. Berulangkali ku mencegah,
tiada hasil. Dengan jurus ancaman, kukatakan, “ya udah, tv dimatikan, kabelnya
mau tak cabut”. Seketika dia berdiri, bersandar duduk dipangkuan sambil
mengomel sendiri “ya udah, aku besok mau kaya, punya tv banyak, dan bulek nggak
boleh nonton. Pokoknya ... pokoknya...”. Lagi-lagi rayuan kecil membuatnya
berhenti mengoceh dan iapun terdiam senyum.
Tak berhenti sampai disana, kami sudah ‘baik-baik’.
Dua ponakanku lantas masuk dalam kamar, mengambil bedak, menumpahkan di tangan
banyak-banyak, mengusapkan di wajah, dan keluar sudah seputih tembok.
Terkaget-kaget melihatnya, ditambah mendengar “bulek, cantik banget kan, sudah
kaya’ putri?”. Tak mau kalah, si adik pun mengikuti kelakuan kakaknya,
menumpahkan lebih banyak, hingga tercecer di bawah. Memang mengesalkan. Batinku
Masih berlanjut. Siang mulai berlalu. Manggis yang ada
di meja, kini sudah dalam genggaman tangan. Satu, Dua, Tiga, semuanya minta
dikupas. Tapi apa yang terjadi, hanya diambil yang besar-besar (padahal justru
bijinya juga besar), yang kecil diremas-remas dan dibuang. Aduhai, mending aku
yang makan.
Apa lagi? Masuk lagi ke dalam rumah. Kursi yang rapi
tertumpuk, diambil satu-satu. Dipasang terbalik berjajar, “bermain
kereta”.katanya. Lalu diambillah sebuah selimut besar untuk menutup seluruh
bagian kereta kursi, kemudian kedua ponakanku masuk, dan mengintai sambil
memanggil-manggil, “bulek, naik kereta, nggak keliatan”. Capek juga meladeninya.
Hingga habis sudah kesabaranku, memaksa berhenti, dan mereka marah lagi. Eh eh,
katanya “nggak mau sama bulek lagi, besok Fatkha (nama ponakanku) mau ke Irian,
naik pesawat, biar kalo bulek kangen nggak bisa ketemu Fatkha”. Cukup kujawab,
“iya, iya, mau ke Irian ya, naik pesawat?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar