Dari semua ketidaktahuan, dari sesaknya segala sedih dan gelisah, dari bahagia yang ingin dibagi, dari kesalahan-kesalahan yang akan terus diperbaiki, dari setiap jengkal perjalanan dalam rangka belajar. Menulis, jadikanlah ia salah satu obatnya :)
Beberapa waktu lalu, seorang kawan ngajar, mendadak izin (kami aja yang
baru tau sih). “Ada acara di rumah penting banget” katanya begitu, tanpa
menjelaskan lebih detail. Dasar kepo. Aku mendesak bertanya, menurutku hal
penting pake banget berkaitan dengan rumah itu cuma dua, satu-kesehatan
orangtua, dua-nikah dan segala persiapannya. “Lamaran”, tebakku begitu
saja setengah memaksa jawaban. Dia bungkam--------tapi tebakanku akhirnya
ketahuan benar :P (prolog yang tidak nyambung dengan tulisan di bawah)
***
Ngomong-ngomong soal pulang dan menikah, ada yang sore ini juga mau pulang
kampung sebagai calon pengantin. Partner in crime, sebut saja dia
begitu. Duh duh, sebagai orang yang selama tujuh tahun bebarengan, yang tak
sungkan saling berkunjung, yang selalu membantuku, yang selalu menyemangatiku,
yang enak buat ngeluh, yang..….nggak bakal selesei kalau diteruskan.
Sedih nggak? Sedih banget, sedih. Nanti mau bilang, “Aku nginep tempatmu
malam ini” sudah nggak mungkin. Mau bilang “Ayo besok pulang sekolah meet-up
/ nyoto / nyeblak / nongkrong depan kopma / temenin ke….” sudah penuh
pertimbangan. Mau curcol panjangpanjang juga sudah mikirmikir. Apalagi ngajak
mbolang sembarangan, sudah tak punya nyali. Hehe. Dan aku yakin, dia juga akan
mengurangi banyak hal yang perlu disampaikan padaku (tentu, sudah ada yang
lebih berhak mendengarkan).
Tapi bahagia? Jelas. Sesedih-sedihnya, excited banget. Apalagi
melihat dia yang berubah bijak kali ninggalin kawannya. Hehe. Sudah keren kalau
ngomong takdir, udah bisa nasehatin buat ‘melirik’ yang dekat (jangan-jangan
jodoh di situ, haha), udah bisa bilang soal waktu yang cepat berlalu, udah bisa
ngrasain rasanya nggak percaya tinggal menghitung hari, begitulah. Ada syukur
yang luar biasa melihatnya, sembari sesekali ingat dia, tiga-dua-bahkan satu
tahun lalu. Sudahlah, hari-hari ke depan akan ada yang menjaganya, laki-laki
yang dari kacamataku cukup bersahaja (meski sempat skeptis gegara ada suatu
masa si laki-laki itu memanjangkan rambutnya, wkwk).
Baiklah, aku yakin tak akan ada yang berubah dari dia, selain status dan
perannya. Eh ada ding, harus, jadi perempuan lebih baik dari sebelumnya, istri,
ibu, dan teman sholihah :P. Dia yang lebih dewasa dan bijaksana dalam bersikap,
dia yang semakin sederhana, dia yang hilang mudahgalaudanmutungannya (sudah
aman kawan-kawan, kan sudah ada pelampiasan.hehe), bahkan kini sudah nampak
perlahan perubahan-perubahan itu.
Doaku menyertaimu… Maafkan untuk tidak bisa hadirnya aku… Semoga
dilancarkan sampai pada waktunya, dimudahkan segalanya, menjadi rumahtangga
yang barokah, penuh cinta dan bahagia dunia-akhirat Riaa… (dan Pakdhe)... Aamiin
Untuk
para muslimah muda, para pembelajar menjadi sholihah, bacalah buku ini. Secara
umum, kesimpulan yang bisa ditarik mungkin sederhana dan familiar, tetapi sangat
tepat untuk mengurai kembali niat, motivasi, tujuan, dan langkah dalam
hari-hari yang kita jalani. Ditulis oleh seorang muslimah yang prestatif, tentu
didalamnya sarat akan semangat menjejak prestasi, dengan tetap menyandang gelar
muslimah sejati.
“Hidupmu adalah pesan bagi dunia. Buatlah hidupmu
menginspirasi. Dan ingat, kamu adalah penulis buku kehidupanmu di akhirat.
Pastikan buku itu berarti untuk dibaca”
Diawali
sebuah prolog singkat, buku ini menyampaikan pesan, seperti apa seorang
muslimah seharusnya.
Ia menempatkan Allah
di atas segala-galanya. Niatkan seluruh aktivitas untuk Allah. Pasrahkan segala
ikhtiar pada Allah. Optimis atas pertolongan Allah. Dan yakin segala kejadian
adalah ketetapan terbaik dari Allah. Meletakkan cinta pada Allah yang utama,
dan konsekuensinya adalah ikuti apa yang Ia perintahkan, serta jauhi apa yang
Ia benci.
Ia seimbang dalam hal
dunia dan akhirat. Muslimah tidak kuper, tidak terbatas ruang gerak, ia mulia
dengan sebanyak-banyak ilmu yang dipunya, sebanyak-banyak karya yang mampu
dicipta, setinggi-tinggi prestasi yang digapai. Sebab itulah, ia jeli dalam
berperilaku dan menghindarkan diri dari yang sia-sia. Menyadari bahwa hidup tak
semestinya mengalir, melainkan penuh dengan rencana. Sebab itulah, ia terus
melangkah tanpa berputus asa, meski tak sekali dua dihadapkan pada kegagalan
dan rintangan yang begitu beratnya. Namun, pada satu titik takdir Allah pasti
akan membawa, yaitu manis pada akhirnya.