Follow Us @whanifalkirom

Sabtu, 10 Mei 2014

Sawang Sinawang

Adakah yang tahu apa maksudnya?
Orang Jawa bilang, dari kata “sawang” yang berarti melihat. Sawang sinawang artinya saling melihat. Pada intinya, kata ini menggambarkan sifat manusia yang selalu merasa kurang, yaitu dengan membandingkan diri kita dengan orang lain. Kalau dalam Bahasa Indonesia (mungkin) hampir sepadan dengan peribahasa “Rumput tetangga lebih hijau”. Nah, agar kita tidak lagi wang sinawang, mari sejenak kita fahami takdir kehidupan yang Allah berikan kepada kita. Karena apapun itu, terjadi atas rencanaNya.

KetetapanNya mutlak, alias tidak berkompromi dengan makhlukNya. Namun, ditegaskan bahwa Allah Maha Adil. Kita, hanya cukup mensyukuri apapun yang terjadi pada diri kita, karena sungguh tak ada satu peristiwapun yang terjadi tanpa hikmah dibaliknya. Everything happen for a reason. Kita tidak perlu sedih berkepanjangan tatkala musibah datang menimpa, atau gembira yang berlebih tatkala mendapat kenikmatan yang diinginkannya. Kita tak perlu risau berkelanjutan karena kehilangan, tapi juga tak perlu mengumbar ketika mendapatkan.

"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira(*) terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S Al Hadid : 22-23)
ket:*( gembira yang melampaui batas yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan dan lupa kepada Allah)

Kejadian baik dan buruk senantiasa dipergilirkan. Menjadi sebuah keniscayaan, bahwa roda kehidupan manusia selalu berputar, adakalanya di bawah adakalanya di atas. Disinilah keseimbangan itu terjadi, kita bersenang karena pernah merasa sedih. Kita berbahagia karena pernah kecewa. Kita menikmati puas hidup berkecukupan karena pernah merasakan pahitnya berjuang dalam keterbatasan, dan sebagainya. Lalu, dari mana Allah akan menilai? Kondisi buruk berarti mengharuskan kita untuk bersabar dan tak putus ikhtiar, dan sebaliknya kondisi baik mengharuskan kita untuk menambah rasa syukur dan keimanan.

“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali Imran : 40)

Allah Maha Tahu atas ketetapan terbaik buat hambaNya. Jadi, kita hanya harus berusaha menyamakan persepsi dengan Allah swt yaitu dengan berhusnudzon atas segala sesuatu yang terjadi dengan diri kita. Dan jangan lekas memisahkan sesuatu yang kamu benci dan kelihatan terhina. 
Siapa tahu apa yang kamu benci dan kau hina, justru dicintai dan disayangi Allah SWT (eramuslim.com)



“Diwajib atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah : 216)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar