Kamis, 28 Agustus 2014
Suatu hari seorang anak laki-laki
bertanya pada sang ibu. “Bu jika kelak anakmu ini akan menikah, istri seperti
apa yang mesti kupilh?”. Sang ibu yang bijakpun menjawab, “Nak, calon istri yang
baik adalah dia yang saat kau pandang hilang resahmu, saat kau bersamanya tentram
hatimu, saat kau pamit menjemput rizki ia lambaikan tangan sambil mendoakanmu”.
Sang ibupun bersenandung “mencipta rumahnya seindah syurga, menjaga akhlakny sebening
mata, qana’ah selendangnya dalam rumahtangga, sejuk di qalbunya, tunduk pandangannya”.
“Tapi Bu, aku kan belum tahu sifatnya. Bagaimana aku dapat mengenalnya?” Sang
anak menyela. Sang ibupun menjawab “Nak, jika kau ingin melihat kasih sayangnya
padamu, lihatlah bagaimana ia memuliakan ayah bundanya. Jika kau ingin tahu
apakah ia kasih terhadap anak-anakmu kelak lihatlah perlakuannya terhadap
adik-adiknya”. “Lalu, bagaimana jika aku ingin memilih istri secantik Aisyah secerdas
Ana dan setulus Maryam seperti novel yang fenomenal itu?” Sambil tersipu sang anak bertanya. “Kau harus memliki jiwa setegar
Azzam juga berilmu sebijak Fahri”. Jawab sang ibu.
Sang anak termenung sejenak. Kemudian
sang ibu menandaskan kembali. “Nak, jodohmu sudah ada di tanganNya. Jangan pernah
khawatir. Khawatirlah jika kau belum bisa memperbaiki diri. Khawatirlah bila
engkau belum pantas menjadi suami bagi pendampingmu. Khawatirlah jika ibadahmu hanya
untuk dilihat olehnya. Nak, perbaiki akhlakmu maka kau kan dapatkan pujaan
hatimu. Luruskan niatmu maka kau kan dapatkan bidadari dunia akhiratmu. Sempurnakan
ikhtiarmu maka jodohmu kan mendekat padamu”. Pesan sang ibu.
Sang anakpun mulai mengerti. Ia
balas sang ibu dengan sebuah syair yang beberapa hari ini ia hafal dan ia resapi
maknanya. Apabila telah tiba masaku untuk mengakhiri masa lajangku dengan segenap
kemampuan Allah berikan, insyaAllah janjiku segera kutunaikan. Tapi, bila
kuraba dalam hati dalam serumpun pertanyaan silih berganti adalah semua kulakukan
terlalu dini. Bergedup jantung di dada kendalikan diri. Namun pernikahan begitu
indah kudengar membuat kuingin segera melaksanakan. Namun bila kumelihat aral melintang,
hatiku selalu maju mundur dibuatnya. Akhirnya aku segera tersadar hanya pada kepada
Allahlah tempatku bersandar yang akan menguatkan hati yang terkapar. InsyaAllah
azzamku kan terwujud lancar. Sang ibupun tersenyum dan mendoakan putranya.
Kisah ini ini ditulis Setia Furqon Kholid dalam
bukunya Jangan Jatuh Cinta Tapi Bangun Cinta.