Follow Us @whanifalkirom

Jumat, 10 Juni 2016

* Diary Ramadhan * (5) *Momentum Ramadhan*

22.00 0 Comments

Momentum Ramadhan
(Inspired by Ust. Ridwan Hamidi, Lc. MA dalam ceramah tarawih Masjid Mujahidin UNY)

Ramadhan dalam perspektif ulama, dibahasakan dengan ungkapan fursoh / kesempatan / momentum langka. Jadi, akan sangat rugi jika amalan ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadhan biasa-biasa saja. Padahal, ada peluang pahala sebanyak-banyaknya yang bisa kita raih.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Daud, terkait salah satu kesempatan di hari Jum’at “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at, kemudian bersegera datang ke masjid, dan mendekati imam, dan menyimak apa yang khotib sampaikan, serta tidak melakukan hal yang membuat lalai, satu langkahnya sepadan dengan shalat dan puasa satu tahun”. Bayangkan saja, apabila seorang laki-laki menjalankan apa yang disampaikan oleh hadits di atas. Jika jarak rumahnya dengan masjid adalah sebanyak dua ratus langkah, maka ia akan mendapat pahala puasa dan shalat selama dua ratus tahun. Itu adalah contoh orang yang pandai memanfaatkan momentum.
Umur umatku antara 60-70 tahun, dan sangat sedikit yang melampaui batas tersebut”, (HR. At Tirmidzi). Sebagai umat terakhir, umat Nabi Muhammad saw dikaruniai usia yang paling pendek daripada umat-umat sebelumnya. Akan tetapi,  ia mempunyai peluang untuk masuk surga pertama kali. Siapa? Yaitu, orang-orang yang pandai menggunakan momentum, yaitu memanfaatkan peluang amal dengan pahala besar.
Adapun contoh momentum di bulan Ramadhan adalah:
TarawihBarang siapa yang ikut shalat tarawih berjamaah bersama imam sampai selesai maka untuknya dicatat seperti shalat semalam penuh”. (HR. Abu Daud dan Turmudzi)
Memberi makan orang berbuka puasaBarangsiapa memberi makanan berbuka kepada orang-orang yang berpuasa, maka baginya pahala senilai pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun”. (HR Tirmidzi dan An Nasa’i)
SedekahSedekah paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan”. (HR Tirmidzi)
Beberapa hal di atas hanyalah sebagai contoh beberapa peluang ibadah yang bisa dilakukan di bulan Ramadhan. Tentu saja, disamping bulan Ramadhan memang merupakan bulan yang utama dan mulia, bulan syahrul Qur’an, bulan syahrun Mubarak, bulan maghfiroh, bulan pembebasan dari api neraka, bulan yang didalamnya terdapat malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
So, kesimpulan, apabila disediakan ladang amal di hadapan kita, sekecil apapun, ambillah…. Karena, sekali ditunda belum tentu akan terbuka di waktu berikutnya. Semoga kita termasuk orang yang bisa memanfaatkan momentum, serta mendapat kemuliaan dan berkah Ramadhan J Aamiin
 Yogyakarta, 10 Juni 2016

Kamis, 09 Juni 2016

* Diary Ramadhan * (4) *Hukum Islam*

22.00 0 Comments

Hukum Islam
(Inspired by Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, MA dalam ceramah tarawih Masjid Syuhada, Yogyakarta)

Seluruh perbuatan manusia, tidak serta merta berjalan begitu saja. Harus ada hukum, acuan atau patokan-patokan tertentu sebagai pedoman dan aturan dasar yang harus ditaati. Sebagai orang islam, sudah menjadi kewajiban untuk mengikuti aturan-aturan hukum islam, atau yang sering kita sebut dengan hukum syari’ah. Meskipun, hukum islam tidak secara otomatis akan menjadi hukum nasional yang diterapkan dalam sebuah Negara. Hukum syari’ah sendiri merupakan hukum yang diambil dari dalil-dalir rinci baik dari Al Qur’an maupun sunnah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (akil baligh, sudah mempunyai tanggungjawab dalam beragama).
Sumber hukum islam ada dua hal, yaitu: (1) Al Qur’an. Seluruh ayat Al Qur’an bersifat pasti, tidak ada keraguan padanya. Didalam Al Qur’an sendiri,  terdapat 600 ayat yang berkaitan dengan hukum. (2) Hadits, yang terbagi menjadi 4 kelompok dengan kriteria berdasarkan jumlah perawi ( hadits mutawattir dan ahad), berdasarkan kekuatan/kualitas periwatannya, berdasarkan tertolaknya periwayatan, juga berdasarkan perbedaan pandangan ulama dalam menerima maupun menolaknya.
Al Qur’an menjadi sumber yang utama dalam menentukan sebuah hukum. Namun, ada kalanya, ayat-ayat yang disampaikan perlu dianalisa dan dipahami lebih lanjut, karena yang tertera hanyalah prinsip-prinsip umum,  atau secara kuantitatif jumlahnya terbatas. Dalam mengeluarkan atau memilih sebuah hukum, ada beberapa golongan kaum muslimin, yaitu:
Mujtahid mutlak, yaitu orang yang dengan ketinggian ilmunya mampu menyimpulkan hukum-hukum islam dari sumber-sumbernya yang asli dengan menyusun metodologinya sendiri. Ialah orang yang menguasai ayat-ayat hukum, hadits-hadits hukum, bahasa arab dg seluruh cabagng ilmunya, ulumul qur’an, ulumul hadits, ushul fiqh, dan lain-lain. Mereka yang termasuk dalam golongan ini, contohnya adalah empat imam madzhab.
Mujtahid madzhabi, yaitu orang yang mengikuti metodologi ijtihad imam madzhab, namun tidak taklid kepada imamnya baik dalam pendapat maupun dalilnya.
Muttabi’, yaitu orang yang mengikuti pendapat dari mujtahid tapi dengan mengetahui dalil-dalilnya. Sebagai contoh, dalam masalah hukum tertentu, ia menguraikan dari berbagai macam pendapat, dianalisa dengan logika hukum, kemudian dibandingkan antara pendapat yang satu dengan yang lain. Sehingga, dalam memilih, maka pilihan jatuh pada pendapat yang paling kuat diantaranya.
Mukallid, yaitu orang yang hanya mengikuti kata gurunya. Tidak tahu persis seperti apa dalilnya, maupun pendapat ulama tentang persoalan tersebut. orang yang taklid ini, tidak ada jaminan apapun, dalam artian ketika orang yang diikutinya benar maka ia benar, ketika orang yang diikutinya salah ia juga salah. Namun begitu, tanggung jawab tetap diemban sendiri, bukankah masing-masing kita, diwajibkan untuk menuntut ilmu atas apa-apa yang belum kita tahu?
***
Intermezo.
Orang bertanya “Bagaimana hukumnya melakukan ini & itu? Banyak sekali pendapat yang berkembang di masyarakat, yang benar yang mana? Maklum, saya masih bingung, saya hanya orang awam ustadz..
Ustadz menjawab “Kalau jadi orang awam kerap bingung, makaa berhentilah menjadi orang awam

#Mohon maaf jika ada kesalahan atau ketidaksesuaian redaksi, mohon koreksi J Apa yang diuraikan sebenarnya sangat panjang, tapi karena masih pol dangkalnya ilmu, jadi belum terlalu paham#




Rabu, 08 Juni 2016

* Diary Ramadhan * (3) *Tarawih, Witir, & Tahajjud*

22.00 0 Comments

Bolehkah melaksanakan shalat tahajjud, sementara sudah melakukan shalat tarawih dan witir?
(Inspired by Ust. Talqis Nurdiyanto, Lc dalam ceramah tarawih Masjid Nurul Asri, Deresan, Yogyakarta)

Wahai orang yang berselimut! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari,…”
(QS. Al Muzammil : 1-2)

Ada titik perbedaan antara shalat tahajjud dan shalat tarawih, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Dari sejarah pensyariatannya. Perintah melaksanakan shalat tahajjud turun pada saat Rasulullah saw masih di Makkah, sedangkan perintah melaksanakan shalat tarawih turun ketika Rasulullah sudah hijrah ke Madinah.
b.      Rasulullah saw melaksanakan shalat tahajjud di sepanjang malam, sedangkan melaksanakan shalat tarawih hanya dilakukan sebanyak 3x berturut-turut. Hal ini disebabkan karena khawatir akan dianggap sebagai sebuah kewajiban dan memberatkan. Jadi, shalat tahajjud lebih intens dilakukan daripada shalat tarawih
c.       Shalat tahajjud dilaksanakankan setiap hari, di sepajang masa. Sementara, shalat tarawih dilaksanakan hanya pada bulan Ramadhan.
d.      Dalam 3x shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah, semuanya dilakukannya di masjid dengan jumlah jama’ah yang banyak dan semakin bertambah di setiap harinya. Sedangkan shalat tahajjud lebih sering dilakukan sendirian, di rumah (kamar Aisyah) atau di masjid dan kalaupun berjama’ah paling banyak hanya dengan 1 / 2 orang sahabat.
e.       Shalat tarawih dilakukan di awal malam, setelah shalat isya’ dan sebelum tidur. Sedangkan shalat tahajjud dilaksanakan di akhir malam, setelah tidur
f.        Jumlah raka’at shalat tahajjud, menurut beberapa riwayat disebutkan 11 / 13 raka’at. Sedangkan shalat tarawih, masih menjadi ikhtilaf. Tidak ada satupun hadits yang menjelaskan berapa jumlah raka’at tarawih di masa Rasulullah saw. Beberapa orang melaksanakan 11 raka’at berdasarkan hadits Aisyah yang shohih. Haditsnya memang shohih, namun para ulama umumnya sepakat bahwa hadits tersebut bukan terkait shalat tarawih melainkan terkait shalat tahajjud. Data yang paling valid adalah 20 rakaat, yaitu shalat tarawih yang dilaksanakan oleh sahabat sepeninggal Rasulullah saw di masa Umar. Hal ini bisa menjadi acuan, karena logikanya tidak mungkin sahabat melaksanakannya tanpa dasar apapun, asumsinya, mereka melakukan persis yang dilakukan di masa Rasulullah saw.

Adapun persamaan dari shalat tarawih dan tahajjud adalah sebagai berikut:
a.       Baik shalat tarawih maupun shalat tahajjud, keduanya termasuk dalam Qiyamul lail, yaitu semua jenis shalat yang dilakukan di malam hari.
b.      Meskipun Rasulullah melaksanakan shalat tarawih hanya sebanyak 3 x, namun bukan berarti dicabut pensyariatannya. Status hukumnya tetap sunnah, ada sebagian ulama yang mengatakan hukumnya adalah sunnah muakkadah. Jadi, baik shalat tahajjud maupun shalat tarawih, keduanya termasuk shalat sunnah

Tentang shalat witir:
a.       Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan shalat witir”. (HR Bukhari dan Muslim). Jadi, shalat witir merupakan penutup shalat sunnah lain di malam hari. Ada ulama yang juga menjelaskan bahwa shalat witir, didahului oleh shalat yang genap raka’atnya. Jadi, bisa disimpulkan shalat witir bisa dilaksanakan setelah shalat tarawih ataupun shalat tahajjud.
b.      Kemudian beliau bangun untuk melaksanakan rakaat kesembilan, hingga beliau duduk tasyahud, beliau memuji Allah dan berdoa. Lalu beliau salam agak keras, hingga kami mendengarnya. Kemudian beliau shalat dua rakaat sambil duduk”. (HR. Muslim).
Menurut Imam An Nawawi, dari hadits di atas menjelaskan bahwa diperbolehkan melakukan shalat sunnah setelah shalat witir, dengan tidak usah mengulangi witir kembali.
Jadi, kesimpulannya, boleh atau tidak shalat tahajjud setelah tarawih & witir? Jawabannya diperbolehkan, dan tidak perlu shalat witir lagi.
Barang siapa yang ikut shalat tarawih berjemaah bersama imam sampai selesai maka untuknya itu dicatat seperti shalat semalam suntuk”. (HR. Abu Daud dan Turmudzi)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa ketika melaksanakan shalat tarawih, dianjurkan untuk mengikuti imam sampai selesai sampai witirnya. So, tidak perlu memotong 8 raka’at, hanya untuk melaksanakan witir setelah tahajjud di akhir malam J
Yogyakarta, 8 Juni 2016



Selasa, 07 Juni 2016

* Diary Ramadhan * (2) *Substansi Ketaqwaan*

22.00 0 Comments
Substansi Ketaqwaan
(Inspired by Prof. Dr. H. Mahfud MD, SH, SU dalam ceramah tarawih Masjid Kampus UGM)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepadaNya. Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam(QS. Ali Imran : 102)
Bertaqwa pada dasarnya adalah berdzikir, yaitu mengingat Allah dalam setiap langkah dan dalam aktivitas apapun. Dalam bentuk yang sederhana, berdzikir bisa dilakukan dengan mengucap / melafazkan istighfar, tasbih, takbir, tahmid, dan lain-lain. Akan tetapi, sejatinya berdzikir adalah mampu mengukur apakah perbuatan yang hendak dilakukan itu salah atau benar menurut aturan Allah. Jadi, setiap orang yang bertakwa, maka ia berdzikir, maka ia mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangannya dimanapun berada.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”
(QS. Ar-Ra’d : 28)
Allah menjanjikan bahwa orang yang banyak berdzikir, maka hatinya akan menjadi tenang. Tidak ada yang lebih penting dalam hidup kecuali ketenangan, karena ialah pangkal kesehatan hidup. Jika diantara kita ada yang hatinya selalu gelisah, bisa dipastikan ia lupa untuk selalu berdzikir. Ketenangan bukan kekayaan. Ketenangan bukan ketenaran.
“…Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya..”
(QS. At-Talaq : 2-3)
Ada sebuah cerita yang sudah begitu familiar di telinga kita, cerita sufi yang bisa diambil pelajarannya. Alkisah, pada suatu hari Sultan Murad IV (yang merupakan sultan khilafah Utsmaniyyah ke-17) merasa gelisah, dadanya sesak tanpa sebab yang pasti. Pengawal istana menyarankan Sultan untuk berkeliling, melihat keadaan di luar. Sultan setuju, dan merekapun keluar sebagai orang biasa tanpa pengawal. Sampai suatu tempat, ia melihat mayat seorang laki-laki yang terbaring tanpa ada yang peduli dan menolongnya. Setiap orang yang lewat, mereka mencaci.
Lalu sultan mendekati, dan bertanya kepada penduduk setempat. “Kenapa tidak ada satupun orang yang mengurus mayat ini?”. Mereka menjawab, “Dari mana asalmu? Setiap orang di sini tahu, bahwa ia pemabuk dan pezina. Setiap malam ia membawa pelacur, dan membeli banyak minuman”. Oleh Sultan, diangkatnya mayat laki-laki tersebut dan dibawa ke rumah keluarganya.
Sesampai di rumah, istri laki-laki tersebut menangis. Orang – orang yang mengantar sudah kembali, tinggallah sultan beserta pengawalnya. Di tengah tangisannya, sang istri berkata “Semoga Allah merahmatimu, aku bersaksi bahwa engkau termasuk orang yang shalih”. Sultan yang mendengar, merasa kaget. Bagaimana mungkin ia adalah orang yang sholih, sementara semua orang tahu bahwa dia adalah pemabuk dan pezina. Sang istri menjawab “Aku sudah menduga hal ini. Berkali-kali aku menasehati, tetapi dia tetap melakukannya. Sesungguhnya setiap malam ia datang membeli banyak minuman, tetapi tidak untuk diminum melainkan dibuang di toilet. Kemudian ia berkata, Alhamdulillah telah membebaskan beberapa pemuda dari minum-minuman haram ini. Setiap malam ia juga pergi ke rumah seorang pelacur, tetapi tidak untuk berzina melainkan membayar pelacur tersebut supaya tidak ada lagi yang datang. Kemudian ia berkata, Alhamdulillah telah membebaskan seseorang dari perbuatan zina. Baginya, berbuat baik tak harus orang tahu”.
Istrinya menambahkan “Suatu saat saya pernah menegurnya, saya mengatakan bahwa kelak suatu hari nanti jika ia meninggal, tak akan ada orang yang bersedia memandikan, menshalatkan dan menguburkannya. Namun ia menjawab, jangan khawatir, biarlah sultan yang akan menshalatkan dan menguburkanku”. Sultan dengan cepat berkata “Saya yang akan mengurunya, menshalatinya, juga menguburkannya. Saya adalah Sultan”. Begitulah akhirnya, jenazah laki-laki tersebut diantar oleh sultan Murad IV, Para Ulama, dan orang-orang shalih hingga ke kuburnya. Itulah sebuah gambaran, bahwa sesuatu bisa terjadi atas kehendak Allah, diperuntukkan bagi mereka yang bertakwa.
Kembali pada bahasan dzikir, dzikir sesungguhnya tidak hanya yang bersifat mahdoh. Karena kita hidup di tengah-tengah masyarakat, maka tentu saja berdzikir juga perlu diaplikasikan dalam perbuatan yang mengarahkan agar negara berjalan lurus sesuai tujuan konstitusi. Indonesia saat ini, sedang kritis atas banyaknya masalah korupsi, masalah hukum yang dibuat oleh cukong-cukong asing, Undang-undang yang dibeli.
Kepedulian kita, pada posisi apapun, kita mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Secara proporsional, kita harus menjalankan tugas dan bekerja di posisi masing-masing. Bekerja dan berkiprah bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk masyarakat supaya terciptanya sebuah keadilan.
Untuk itu, mari jaga puasa dengan membangun ketaqwaan kita kepada Allah, dengan senantiasa berdzikir. Menjalankan perintahNya, menjauhi laranganNya J


Yogyakarta, 7 Juni 2016

Senin, 06 Juni 2016

* Diary Ramadhan * (1) *Akhlak Seorang Muslim terhadap Bangsa*

22.00 0 Comments
Akhlak Seorang Muslim terhadap Bangsa
(Inspired by Prof. Dr. H. M. Amien Rais, MA dalam ceramah tarawih Masjid Kampus UGM)

Barang siapa yang tidak punya perhatian terhadap urusan kaum muslimin, maka dia bukan golongan mereka.
Cuplikan hadits di atas patut menjadi renungan kita bersama sebagai seorang muslim. Kata perhatian, bila dijabarkan lebih lanjut tidak terbatas hanya pada hubungan individual sesama orang islam, melainkan lebih luas lagi yaitu nasib umat islam secara keseluruhan. Dalam konteks ini, yaitu perhatian, dengan menjaga bangsa kita, serta menjaga umat islam di dalamnya.
Meskipun sistem ekonomi mempunyai peran penting dalam keberlangsungan sebuah bangsa atau negara, namun akhlak dan moral jauh lebih andil menentukan. Sebuah bangsa yang sakit bukan karena kondisi ekonominya yang morat-marit melainkan karena akhlak penduduknya lah yang rusak. Akhlak dan moralnya runtuh, maka bangsa tersebut runtuh. Masa depan kehidupannya, wujudnya, esensinya, sudah menjadi tanda tanya.
Oleh karena itu, agama menjadi pondasi yang paling utama. Manusia mukmin perlu menghadirkan rasa muraqabatullah, di sepanjang waktunya merasa bahwa selalu diawasi oleh Allah. Sehingga tindakan – tindakan yang melenceng dari aturan agama akan semakin terminimalisir dan akhlaknya pun masih terjaga.
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf……..” (Q.S At Taubah : 67)
Akan tetapi sudah dijelaskan pula dalam ayat di atas, bahwa sebuah kejahatan sesungguhnya bukanlah individual cases semata, ia diorganisir secara rapih oleh orang-orang kafir. Pekerjaan orang kafir adalah kerjasama menyerukan Amar mungkar nahi ma’ruf. Untuk itu, perlu adanya  kerjasama pula dari umat islam untuk saling dukung mendukung dalam ber-Amar ma’ruf nahi mungkar.
Seperti kondisi Indonesia saat ini, harus waspada dan siaga akan bangkitnya kembali paham komunisme. Komunisme kultural bertemu dengan paham sekulerisme menjadi sangat padu. Mereka tidak mungkin menyuarakan atheisme secara vulgar, malainkan dengan meruntuhkan akhlak dan moral secara perlahan - lahan. Sebagai Negara yang penduduknya beragama, tentu saja jika atheisme dijajakan secara gamblang, maka ahli agama yang akan bertindak dan memukul balik. Namun, apabila dengan cara-cara yang lebih lunak, dengan merusak moral maka secara tidak sadar agama perlahan-lahan akan dijauhi.
Ada sebuah kebohongan yang sistematik, yang sengaja dipelopori oleh tokoh-tokoh nasional Indonesia. Baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun yang pro tapi berpura-pura di depan layar. Mereka akan cenderung mengatakan bahwa komunisme tidak perlu dicemaskan atapun dikhawatirkan, karena sekarang sudah tidak ada lagi. Dibalik semua itu, mereka tengah menyusun upaya – upaya dan rencana, sehingga komunisme bisa kembali. Salah satu upayanya adalah dengan merobohkan sendi-sendi moral bangsa Indonesia.
Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa bentuk perhatian kita terhadap bangsa, terhadap umat muslim di Indonesia, melindunginya, tidak lain tidak bukan yaitu menggunakan agama sebagi acuan dasar segala hal. Bagaimana caranya? Tentu saja, semuanya dimulai dari struktur terkecil dari sistem masyarakat itu sendiri, yaitu individu – individu. Siapa? Yaa, masing – masing pribadi kita tentunya. Let’s Go!

*#Saya tidak terlalu paham dengan dunia perpolitikan. Apalagi mengenai berbagai paham-paham yang bermunculan, yang secara tidak langsung merusak tata nilai bangsa. Sebut saja, sekulerisme, komunisme, kapitalisme dan berbagai –isme lainnya. Terlepas dari pro & kontra akan munculnya isu bangkitnya komunisme di Indonesia, entah sekedar wacana sebagai hasil dari propaganda politik atau memang benar-benar terjadi, namun saya menggaris bawahi dengan pemahaman yang lebih sederhana. Saya setuju, bahwa Indonesia sedang mengalami krisis akhlak. Lihat saja, mereka berependidikan tinggi, tapi tak punya adab dan etika. IT semakin canggih, seiring dengan pornografi yang juga semakin menyebar luas. Alat komunikasi semakin mudah, namun hubungan interpersonal semakin pudar. Orang yang dangkal ilmunya sibuk bertingkah, tapi mereka yang benar-benar tinggi ilmunya sibuk memikirkan dirinya sendiri, daan lain-lain.
Melihat kondisi seperti ini, saya rasa tidak perlu menyalahkan siapapun. Sepakat dengan kesimpulan di atas, kita berkewajiban untuk meningkatkan kesadaran beragama kita. Mengajak diri kita sendiri juga lingkungan di sekitar, ke arah perubahan yang lebih baik. Juga, saling berinteraksi untuk mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Dari struktur terkecil inilah yang kemudia akan membentuk kesatuan masyarakat berakhlak, menghimpun bangunan yang kokoh.#*

Yogyakarta, 6 Juni 2016

Minggu, 05 Juni 2016

Bincang Bareng Ayah (BBA) #9

21.00 0 Comments
Karena sekalipun, aku belum pernah melewatkan malam 1 Ramadhan selain di rumah. Tidak terkecuali untuk malam ini. Duduk termenung sendirian, menatap gelas kosong di atas meja. Sepi. Rumah mungil yang kesehariannya hanya ada ayah dan ibu. Ah, aku hanyut dalam pikiranku sendiri. Beginilah alur kehidupan. Suami istri, yang awalnya hanya berdua. Kemudian lahir anak-anak yang meramaikan suasana. Kemudian seiring usia yang menyenja, anak-anak yang semakin mendewasa, pada akhirnya hanya kembali berdua. Kembali sepi. Jika harus ada ucapan terimakasih, rupanya ia memang pantas terucap untuk suami kepada istrinya, pun sebaliknya. Karena, siapa yang setia disisi, menemani hingga ujung usia? Selain suami / istri itu sendiri? Dengan penerimaan yang tulus, dengan kesabaran. Bersama melewati hidup yang bergelombang, jatuh-bangun, suka-duka_ah tak terdefinisikan lagi.
Tiba-tiba ayah keluar dari kamar, membuyarkan lamunanku. Berjalan pelan mendekati kursi di sebelah.
Aku     : “Bapak tumben nggak nyalain radio?”
Bapak  : “Bapak nggak sabar kaya’ mamak. Radio kok ribet, nyalain aja neko-neko caranya
Aku     : “Lho, Bapak kan sabar drono” (Bercanda ngledek sih, hehe)
Bapak  : “Ya memang aslinya sabar drono” (Jawab bercanda juga)
Aku     : “Heleh heleh
Bapak  : “Tau nggak, tak kasih tahu, sabar drono itu temennya rejo drono
Aku     : (Mengerutkan kening)
Bapak  : “Rejo itu artinya reje
Aku     : “Apa Pak, Reje?”
Bapak  : “Reje itu sakinah. Kalau dalam istilah Jawanya , Toto Tentrem Kertoraharjo
Aku     : “Terus?”
Bapak  : “Ya itu piweling, kalau orang hidup berdampingan itu harus saling menyelamatkan dan saling menyenangkan, dalam keindahan dan kebenaran. Biar hidupnya tenang, urusan tertata, hidup tertata, teratur, indah

Aku     : (Angguk - angguk saja)