Akhlak
Seorang Muslim terhadap Bangsa
(Inspired by Prof. Dr. H. M. Amien Rais, MA
dalam ceramah tarawih Masjid Kampus UGM)
“Barang siapa yang tidak punya perhatian terhadap urusan
kaum muslimin, maka dia bukan golongan mereka”.
Cuplikan hadits di atas patut menjadi renungan kita bersama
sebagai seorang muslim. Kata perhatian, bila dijabarkan lebih lanjut tidak
terbatas hanya pada hubungan individual sesama orang islam, melainkan lebih
luas lagi yaitu nasib umat islam secara keseluruhan. Dalam konteks ini, yaitu
perhatian, dengan menjaga bangsa kita, serta menjaga umat islam di dalamnya.
Meskipun sistem ekonomi mempunyai peran penting dalam keberlangsungan
sebuah bangsa atau negara, namun akhlak dan moral jauh lebih andil menentukan. Sebuah
bangsa yang sakit bukan karena kondisi ekonominya yang morat-marit melainkan
karena akhlak penduduknya lah yang rusak. Akhlak dan moralnya runtuh, maka
bangsa tersebut runtuh. Masa depan kehidupannya, wujudnya, esensinya, sudah
menjadi tanda tanya.
Oleh karena itu, agama menjadi pondasi yang paling utama.
Manusia mukmin perlu menghadirkan rasa muraqabatullah, di sepanjang waktunya
merasa bahwa selalu diawasi oleh Allah. Sehingga tindakan – tindakan yang
melenceng dari aturan agama akan semakin terminimalisir dan akhlaknya pun masih
terjaga.
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan
yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah
(perbuatan) yang makruf……..” (Q.S At Taubah : 67)
Akan tetapi sudah dijelaskan pula dalam ayat di atas, bahwa sebuah
kejahatan sesungguhnya bukanlah individual cases semata, ia diorganisir
secara rapih oleh orang-orang kafir. Pekerjaan orang kafir adalah kerjasama
menyerukan Amar mungkar nahi ma’ruf. Untuk itu, perlu adanya kerjasama pula dari umat islam untuk saling
dukung mendukung dalam ber-Amar ma’ruf nahi mungkar.
Seperti kondisi Indonesia saat ini, harus waspada dan siaga akan
bangkitnya kembali paham komunisme. Komunisme kultural bertemu dengan paham
sekulerisme menjadi sangat padu. Mereka tidak mungkin menyuarakan atheisme
secara vulgar, malainkan dengan meruntuhkan akhlak dan moral secara perlahan -
lahan. Sebagai Negara yang penduduknya beragama, tentu saja jika atheisme
dijajakan secara gamblang, maka ahli agama yang akan bertindak dan memukul
balik. Namun, apabila dengan cara-cara yang lebih lunak, dengan merusak moral maka
secara tidak sadar agama perlahan-lahan akan dijauhi.
Ada sebuah kebohongan yang sistematik, yang sengaja dipelopori
oleh tokoh-tokoh nasional Indonesia. Baik yang dilakukan secara terang-terangan
maupun yang pro tapi berpura-pura di depan layar. Mereka akan cenderung
mengatakan bahwa komunisme tidak perlu dicemaskan atapun dikhawatirkan, karena
sekarang sudah tidak ada lagi. Dibalik semua itu, mereka tengah menyusun upaya
– upaya dan rencana, sehingga komunisme bisa kembali. Salah satu upayanya
adalah dengan merobohkan sendi-sendi moral bangsa Indonesia.
Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa bentuk perhatian kita
terhadap bangsa, terhadap umat muslim di Indonesia, melindunginya, tidak lain
tidak bukan yaitu menggunakan agama sebagi acuan dasar segala hal. Bagaimana
caranya? Tentu saja, semuanya dimulai dari struktur terkecil dari sistem
masyarakat itu sendiri, yaitu individu – individu. Siapa? Yaa, masing – masing
pribadi kita tentunya. Let’s Go!
*#Saya tidak
terlalu paham dengan dunia perpolitikan. Apalagi mengenai berbagai paham-paham
yang bermunculan, yang secara tidak langsung merusak tata nilai bangsa. Sebut
saja, sekulerisme, komunisme, kapitalisme dan berbagai –isme lainnya. Terlepas
dari pro & kontra akan munculnya isu bangkitnya komunisme di Indonesia,
entah sekedar wacana sebagai hasil dari propaganda politik atau memang
benar-benar terjadi, namun saya menggaris bawahi dengan pemahaman yang lebih
sederhana. Saya setuju, bahwa Indonesia sedang mengalami krisis akhlak. Lihat
saja, mereka berependidikan tinggi, tapi tak punya adab dan etika. IT semakin
canggih, seiring dengan pornografi yang juga semakin menyebar luas. Alat komunikasi
semakin mudah, namun hubungan interpersonal semakin pudar. Orang yang dangkal
ilmunya sibuk bertingkah, tapi mereka yang benar-benar tinggi ilmunya sibuk
memikirkan dirinya sendiri, daan lain-lain.
Melihat kondisi seperti ini, saya rasa tidak perlu
menyalahkan siapapun. Sepakat dengan kesimpulan di atas, kita berkewajiban
untuk meningkatkan kesadaran beragama kita. Mengajak diri kita sendiri juga
lingkungan di sekitar, ke arah perubahan yang lebih baik. Juga, saling
berinteraksi untuk mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Dari struktur
terkecil inilah yang kemudia akan membentuk kesatuan masyarakat berakhlak,
menghimpun bangunan yang kokoh.#*
Yogyakarta, 6 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar