Follow Us @whanifalkirom

Senin, 06 Juni 2016

* Diary Ramadhan * (1) *Akhlak Seorang Muslim terhadap Bangsa*

Akhlak Seorang Muslim terhadap Bangsa
(Inspired by Prof. Dr. H. M. Amien Rais, MA dalam ceramah tarawih Masjid Kampus UGM)

Barang siapa yang tidak punya perhatian terhadap urusan kaum muslimin, maka dia bukan golongan mereka.
Cuplikan hadits di atas patut menjadi renungan kita bersama sebagai seorang muslim. Kata perhatian, bila dijabarkan lebih lanjut tidak terbatas hanya pada hubungan individual sesama orang islam, melainkan lebih luas lagi yaitu nasib umat islam secara keseluruhan. Dalam konteks ini, yaitu perhatian, dengan menjaga bangsa kita, serta menjaga umat islam di dalamnya.
Meskipun sistem ekonomi mempunyai peran penting dalam keberlangsungan sebuah bangsa atau negara, namun akhlak dan moral jauh lebih andil menentukan. Sebuah bangsa yang sakit bukan karena kondisi ekonominya yang morat-marit melainkan karena akhlak penduduknya lah yang rusak. Akhlak dan moralnya runtuh, maka bangsa tersebut runtuh. Masa depan kehidupannya, wujudnya, esensinya, sudah menjadi tanda tanya.
Oleh karena itu, agama menjadi pondasi yang paling utama. Manusia mukmin perlu menghadirkan rasa muraqabatullah, di sepanjang waktunya merasa bahwa selalu diawasi oleh Allah. Sehingga tindakan – tindakan yang melenceng dari aturan agama akan semakin terminimalisir dan akhlaknya pun masih terjaga.
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf……..” (Q.S At Taubah : 67)
Akan tetapi sudah dijelaskan pula dalam ayat di atas, bahwa sebuah kejahatan sesungguhnya bukanlah individual cases semata, ia diorganisir secara rapih oleh orang-orang kafir. Pekerjaan orang kafir adalah kerjasama menyerukan Amar mungkar nahi ma’ruf. Untuk itu, perlu adanya  kerjasama pula dari umat islam untuk saling dukung mendukung dalam ber-Amar ma’ruf nahi mungkar.
Seperti kondisi Indonesia saat ini, harus waspada dan siaga akan bangkitnya kembali paham komunisme. Komunisme kultural bertemu dengan paham sekulerisme menjadi sangat padu. Mereka tidak mungkin menyuarakan atheisme secara vulgar, malainkan dengan meruntuhkan akhlak dan moral secara perlahan - lahan. Sebagai Negara yang penduduknya beragama, tentu saja jika atheisme dijajakan secara gamblang, maka ahli agama yang akan bertindak dan memukul balik. Namun, apabila dengan cara-cara yang lebih lunak, dengan merusak moral maka secara tidak sadar agama perlahan-lahan akan dijauhi.
Ada sebuah kebohongan yang sistematik, yang sengaja dipelopori oleh tokoh-tokoh nasional Indonesia. Baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun yang pro tapi berpura-pura di depan layar. Mereka akan cenderung mengatakan bahwa komunisme tidak perlu dicemaskan atapun dikhawatirkan, karena sekarang sudah tidak ada lagi. Dibalik semua itu, mereka tengah menyusun upaya – upaya dan rencana, sehingga komunisme bisa kembali. Salah satu upayanya adalah dengan merobohkan sendi-sendi moral bangsa Indonesia.
Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa bentuk perhatian kita terhadap bangsa, terhadap umat muslim di Indonesia, melindunginya, tidak lain tidak bukan yaitu menggunakan agama sebagi acuan dasar segala hal. Bagaimana caranya? Tentu saja, semuanya dimulai dari struktur terkecil dari sistem masyarakat itu sendiri, yaitu individu – individu. Siapa? Yaa, masing – masing pribadi kita tentunya. Let’s Go!

*#Saya tidak terlalu paham dengan dunia perpolitikan. Apalagi mengenai berbagai paham-paham yang bermunculan, yang secara tidak langsung merusak tata nilai bangsa. Sebut saja, sekulerisme, komunisme, kapitalisme dan berbagai –isme lainnya. Terlepas dari pro & kontra akan munculnya isu bangkitnya komunisme di Indonesia, entah sekedar wacana sebagai hasil dari propaganda politik atau memang benar-benar terjadi, namun saya menggaris bawahi dengan pemahaman yang lebih sederhana. Saya setuju, bahwa Indonesia sedang mengalami krisis akhlak. Lihat saja, mereka berependidikan tinggi, tapi tak punya adab dan etika. IT semakin canggih, seiring dengan pornografi yang juga semakin menyebar luas. Alat komunikasi semakin mudah, namun hubungan interpersonal semakin pudar. Orang yang dangkal ilmunya sibuk bertingkah, tapi mereka yang benar-benar tinggi ilmunya sibuk memikirkan dirinya sendiri, daan lain-lain.
Melihat kondisi seperti ini, saya rasa tidak perlu menyalahkan siapapun. Sepakat dengan kesimpulan di atas, kita berkewajiban untuk meningkatkan kesadaran beragama kita. Mengajak diri kita sendiri juga lingkungan di sekitar, ke arah perubahan yang lebih baik. Juga, saling berinteraksi untuk mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Dari struktur terkecil inilah yang kemudia akan membentuk kesatuan masyarakat berakhlak, menghimpun bangunan yang kokoh.#*

Yogyakarta, 6 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar