Follow Us @whanifalkirom

Selasa, 07 Juni 2016

* Diary Ramadhan * (2) *Substansi Ketaqwaan*

Substansi Ketaqwaan
(Inspired by Prof. Dr. H. Mahfud MD, SH, SU dalam ceramah tarawih Masjid Kampus UGM)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepadaNya. Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam(QS. Ali Imran : 102)
Bertaqwa pada dasarnya adalah berdzikir, yaitu mengingat Allah dalam setiap langkah dan dalam aktivitas apapun. Dalam bentuk yang sederhana, berdzikir bisa dilakukan dengan mengucap / melafazkan istighfar, tasbih, takbir, tahmid, dan lain-lain. Akan tetapi, sejatinya berdzikir adalah mampu mengukur apakah perbuatan yang hendak dilakukan itu salah atau benar menurut aturan Allah. Jadi, setiap orang yang bertakwa, maka ia berdzikir, maka ia mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangannya dimanapun berada.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”
(QS. Ar-Ra’d : 28)
Allah menjanjikan bahwa orang yang banyak berdzikir, maka hatinya akan menjadi tenang. Tidak ada yang lebih penting dalam hidup kecuali ketenangan, karena ialah pangkal kesehatan hidup. Jika diantara kita ada yang hatinya selalu gelisah, bisa dipastikan ia lupa untuk selalu berdzikir. Ketenangan bukan kekayaan. Ketenangan bukan ketenaran.
“…Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya..”
(QS. At-Talaq : 2-3)
Ada sebuah cerita yang sudah begitu familiar di telinga kita, cerita sufi yang bisa diambil pelajarannya. Alkisah, pada suatu hari Sultan Murad IV (yang merupakan sultan khilafah Utsmaniyyah ke-17) merasa gelisah, dadanya sesak tanpa sebab yang pasti. Pengawal istana menyarankan Sultan untuk berkeliling, melihat keadaan di luar. Sultan setuju, dan merekapun keluar sebagai orang biasa tanpa pengawal. Sampai suatu tempat, ia melihat mayat seorang laki-laki yang terbaring tanpa ada yang peduli dan menolongnya. Setiap orang yang lewat, mereka mencaci.
Lalu sultan mendekati, dan bertanya kepada penduduk setempat. “Kenapa tidak ada satupun orang yang mengurus mayat ini?”. Mereka menjawab, “Dari mana asalmu? Setiap orang di sini tahu, bahwa ia pemabuk dan pezina. Setiap malam ia membawa pelacur, dan membeli banyak minuman”. Oleh Sultan, diangkatnya mayat laki-laki tersebut dan dibawa ke rumah keluarganya.
Sesampai di rumah, istri laki-laki tersebut menangis. Orang – orang yang mengantar sudah kembali, tinggallah sultan beserta pengawalnya. Di tengah tangisannya, sang istri berkata “Semoga Allah merahmatimu, aku bersaksi bahwa engkau termasuk orang yang shalih”. Sultan yang mendengar, merasa kaget. Bagaimana mungkin ia adalah orang yang sholih, sementara semua orang tahu bahwa dia adalah pemabuk dan pezina. Sang istri menjawab “Aku sudah menduga hal ini. Berkali-kali aku menasehati, tetapi dia tetap melakukannya. Sesungguhnya setiap malam ia datang membeli banyak minuman, tetapi tidak untuk diminum melainkan dibuang di toilet. Kemudian ia berkata, Alhamdulillah telah membebaskan beberapa pemuda dari minum-minuman haram ini. Setiap malam ia juga pergi ke rumah seorang pelacur, tetapi tidak untuk berzina melainkan membayar pelacur tersebut supaya tidak ada lagi yang datang. Kemudian ia berkata, Alhamdulillah telah membebaskan seseorang dari perbuatan zina. Baginya, berbuat baik tak harus orang tahu”.
Istrinya menambahkan “Suatu saat saya pernah menegurnya, saya mengatakan bahwa kelak suatu hari nanti jika ia meninggal, tak akan ada orang yang bersedia memandikan, menshalatkan dan menguburkannya. Namun ia menjawab, jangan khawatir, biarlah sultan yang akan menshalatkan dan menguburkanku”. Sultan dengan cepat berkata “Saya yang akan mengurunya, menshalatinya, juga menguburkannya. Saya adalah Sultan”. Begitulah akhirnya, jenazah laki-laki tersebut diantar oleh sultan Murad IV, Para Ulama, dan orang-orang shalih hingga ke kuburnya. Itulah sebuah gambaran, bahwa sesuatu bisa terjadi atas kehendak Allah, diperuntukkan bagi mereka yang bertakwa.
Kembali pada bahasan dzikir, dzikir sesungguhnya tidak hanya yang bersifat mahdoh. Karena kita hidup di tengah-tengah masyarakat, maka tentu saja berdzikir juga perlu diaplikasikan dalam perbuatan yang mengarahkan agar negara berjalan lurus sesuai tujuan konstitusi. Indonesia saat ini, sedang kritis atas banyaknya masalah korupsi, masalah hukum yang dibuat oleh cukong-cukong asing, Undang-undang yang dibeli.
Kepedulian kita, pada posisi apapun, kita mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Secara proporsional, kita harus menjalankan tugas dan bekerja di posisi masing-masing. Bekerja dan berkiprah bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk masyarakat supaya terciptanya sebuah keadilan.
Untuk itu, mari jaga puasa dengan membangun ketaqwaan kita kepada Allah, dengan senantiasa berdzikir. Menjalankan perintahNya, menjauhi laranganNya J


Yogyakarta, 7 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar