Substansi Ketaqwaan
(Inspired by
Prof. Dr. H. Mahfud MD, SH, SU dalam ceramah tarawih Masjid Kampus UGM)
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepadaNya. Dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam”
(QS. Ali Imran : 102)
Bertaqwa pada dasarnya adalah berdzikir, yaitu mengingat Allah
dalam setiap langkah dan dalam aktivitas apapun. Dalam bentuk yang sederhana,
berdzikir bisa dilakukan dengan mengucap / melafazkan istighfar, tasbih,
takbir, tahmid, dan lain-lain. Akan tetapi, sejatinya berdzikir adalah mampu
mengukur apakah perbuatan yang hendak dilakukan itu salah atau benar menurut
aturan Allah. Jadi, setiap orang yang bertakwa, maka ia berdzikir, maka ia mengikuti
perintah Allah dan menjauhi larangannya dimanapun berada.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram”
(QS. Ar-Ra’d : 28)
Allah menjanjikan bahwa orang yang banyak berdzikir, maka hatinya
akan menjadi tenang. Tidak ada yang lebih penting dalam hidup kecuali ketenangan,
karena ialah pangkal kesehatan hidup. Jika diantara kita ada yang hatinya selalu
gelisah, bisa dipastikan ia lupa untuk selalu berdzikir. Ketenangan bukan
kekayaan. Ketenangan bukan ketenaran.
“…Barang siapa yang bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia
memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya..”
(QS. At-Talaq : 2-3)
Ada sebuah cerita yang sudah begitu familiar di telinga kita, cerita
sufi yang bisa diambil pelajarannya. Alkisah, pada suatu hari Sultan Murad IV (yang
merupakan sultan khilafah Utsmaniyyah ke-17) merasa gelisah, dadanya sesak
tanpa sebab yang pasti. Pengawal istana menyarankan Sultan untuk berkeliling,
melihat keadaan di luar. Sultan setuju, dan merekapun keluar sebagai orang
biasa tanpa pengawal. Sampai suatu tempat, ia melihat mayat seorang laki-laki
yang terbaring tanpa ada yang peduli dan menolongnya. Setiap orang yang lewat,
mereka mencaci.
Lalu sultan mendekati, dan bertanya kepada penduduk setempat. “Kenapa
tidak ada satupun orang yang mengurus mayat ini?”. Mereka menjawab, “Dari
mana asalmu? Setiap orang di sini tahu, bahwa ia pemabuk dan pezina. Setiap malam
ia membawa pelacur, dan membeli banyak minuman”. Oleh Sultan, diangkatnya
mayat laki-laki tersebut dan dibawa ke rumah keluarganya.
Sesampai di rumah, istri laki-laki tersebut menangis. Orang –
orang yang mengantar sudah kembali, tinggallah sultan beserta pengawalnya. Di tengah
tangisannya, sang istri berkata “Semoga Allah merahmatimu, aku bersaksi bahwa
engkau termasuk orang yang shalih”. Sultan yang mendengar, merasa kaget. Bagaimana
mungkin ia adalah orang yang sholih, sementara semua orang tahu bahwa dia
adalah pemabuk dan pezina. Sang istri menjawab “Aku sudah menduga hal ini. Berkali-kali
aku menasehati, tetapi dia tetap melakukannya. Sesungguhnya setiap malam ia
datang membeli banyak minuman, tetapi tidak untuk diminum melainkan dibuang di
toilet. Kemudian ia berkata, Alhamdulillah telah membebaskan beberapa pemuda
dari minum-minuman haram ini. Setiap malam ia juga pergi ke rumah seorang
pelacur, tetapi tidak untuk berzina melainkan membayar pelacur tersebut supaya
tidak ada lagi yang datang. Kemudian ia berkata, Alhamdulillah telah
membebaskan seseorang dari perbuatan zina. Baginya, berbuat baik tak harus
orang tahu”.
Istrinya menambahkan “Suatu saat saya pernah menegurnya, saya
mengatakan bahwa kelak suatu hari nanti jika ia meninggal, tak akan ada orang
yang bersedia memandikan, menshalatkan dan menguburkannya. Namun ia menjawab,
jangan khawatir, biarlah sultan yang akan menshalatkan dan menguburkanku”. Sultan
dengan cepat berkata “Saya yang akan mengurunya, menshalatinya, juga
menguburkannya. Saya adalah Sultan”. Begitulah akhirnya, jenazah laki-laki tersebut
diantar oleh sultan Murad IV, Para Ulama, dan orang-orang shalih hingga ke
kuburnya. Itulah sebuah gambaran, bahwa sesuatu bisa terjadi atas kehendak
Allah, diperuntukkan bagi mereka yang bertakwa.
Kembali pada bahasan dzikir, dzikir sesungguhnya tidak hanya
yang bersifat mahdoh. Karena kita hidup di tengah-tengah masyarakat, maka tentu
saja berdzikir juga perlu diaplikasikan dalam perbuatan yang mengarahkan agar negara
berjalan lurus sesuai tujuan konstitusi. Indonesia saat ini, sedang kritis atas
banyaknya masalah korupsi, masalah hukum yang dibuat oleh cukong-cukong asing,
Undang-undang yang dibeli.
Kepedulian kita, pada posisi apapun, kita mempunyai hak dan
kewajiban tertentu. Secara proporsional, kita harus menjalankan tugas dan
bekerja di posisi masing-masing. Bekerja dan berkiprah bukan untuk diri
sendiri, melainkan untuk masyarakat supaya terciptanya sebuah keadilan.
Untuk itu, mari jaga puasa dengan membangun ketaqwaan kita
kepada Allah, dengan senantiasa berdzikir. Menjalankan perintahNya, menjauhi
laranganNya J
Yogyakarta, 7 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar