Untuk
kali pertama. Ketika aku tak sengaja menjatuhkan lembaran itu dari tas. Gurauan
itu, “Mbak Haniif, buat aku yaa, yaa”,
dan ketika aku hendak mengambilnya, iapun menghindar “Jangan.. pokoknya itu punyaku” sambil berusaha menaruh dalam saku
celana. Begitu saja, dan kami kembali pada situasi semula. Candaan biasa, yang
bahkan aku pun sama sekali tak mengindahkannya. Hingga aku tiba di kamar, dan
melirik dompetku, “Kemana sepuluh ribuku
yaa?”. “Ah, mungkin tadi aku lupa
naruh, atau terjatuh, atau bisa jadi dia terlupa mengembalikan, dan masih
disimpan dalam saku celananya. Tak ingat persis. Sudahlah, cuma sepuluh ribu”
pikirku.
Kedua
kalinya. “Mbak Hanif, Mbak Hanif, pinjam tas.
Coba lihat isinya”. Ia membuka tasku, mengeluarkan satu-satu isinya, kemudian
memasukkan kembali. Satu tangan mendekap tas itu lama, satu tangan lain ia biarkan di dalamnya, diam. Dan tetiba ”Mbak Hanif, aku mau minum” sambil spontan
bangkit berdiri, berlari mengambil botol air minum dalam sebuah ruangan. Ada yang berbeda. Ia kembali ke hadapanku
dengan wajah lebih berbinar, dan bersemangaat. Hingga aku tiba di kamar, dan
melirik dompetku, “Kemana sepuluh ribuku
yaa?”. “Ah, mungkin aku salah ingat,
pasti sepuluh ribu sudah kupakai”. Tetapi, sedikit mulai su’udzon “Atau, tadi dia ngambil ya? Ah, masak sich?
Nggak mungkin. Orangtuanya bagus kok. Sudahlah, Cuma sepuluh ribu”. Pikirku
Ketiga
kalinya. “Mbak Hanif, hadap sana, aku mau sulap, tasnya Mbak
Hanif nanti bisa ilang”. Aku segera
berpaling, membiarkan apapun yang dia lakukan. Aduh, apalah daya, aku mulai su’udzon
lagi. Permainan “sulap” selesai, dan aku sedikitpun tak tergoda untuk mencari
keberadaan tasku. Iapun mengalah mengambilnya
kembali “Ah, masak Cuma di sana Mbak
Hanif nggak tahu”. Aku tersenyum, meminta tasku, membuka, dan melirik
dompetku. Kosong. Hanya ada dua ribu rupiah di luar. Kali ini aku yakin, benar-benar
yakin, ia yang mengambil. Beberapa jam sebelumnya aku memastikan, uang itu
masih ada. Tidak banyak, hanya beberapa lembar dua ribuan yang kusiapkan untuk
naik trans jogja _tapi , karena aku nggak masuk kantor lazis, tentu uang itu
masih utuh_. Seketika itu juga, (mungkin) rautku berubah, senyumku mengembang
marah. Berkali-kali ia bertanya “Mbak
Hanif kenapa, kok mukanya gitu?”. “Aduh,
gagal menjaga ekspresi” batinku. Sembari kusengajakan membuka-buka dompet,
dan menatapnya lekat. Wajahnya memerah “Mbak
Hanif punya uang berapa?”.
Ada
yang bilang, anak kecil mengambil sembarangan itu wajar. Tapi ini bukan soal
wajar dan tidak wajar. Ini juga bukan soal nominal. Hei, dia anak kecil, mudah
sekali untuk membiasa, dan menjadi karakter yang mengakar hingga dewasa…… Sampai
detik ini, aku masih berpikir, apa yang harus kulakukan untuk menegurnya? -_-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar