“Orang yang
kuat bukanlah orang yang kuat bergulat, akan tetapi orang
yang kuat itu
adalah mereka yang kuat menahan hawa nafsunya ketika
marah” (Riwayat Bukhori Muslim)
Pada
dasarnya, perjalanan hidup manusia tidak serta merta sesuai dengan apa yang
kita inginkan, dengan apa yang kita harapkan, atau dengan apa yang kita
rencanakan. Disitulah, Allah selalu menguji, untuk mengetahui seberapa kuat
seorang hamba bertahan dalam jalan kebaikan. Disitulah Allah juga akan memberi
warna peristiwa, mulai dari yang membahagiakan hingga yang mengecewakan, untuk
mengajarkan kepada manusia tentang sebuah hikmah.
Akan
tetapi, seringkali manusia terlupa akan campur tanganNya dalam setiap jejak
langkah yang ditapaki. Hingga menjadikan kita terlalu larut dalam sebuah
kesenangan, seolah-olah dunia adalah surga baginya .Dan muncullah disana sikap
sombong, angkuh, merasa kuat, dan jauh dari perasaan syukur. Atau kita terlalu
larut dalam kesedihan, seolah-olah dunia adalah neraka baginya. Begitulah
manusia, mudah dipermainkan oleh emosi – emosi yang ada dalam dirinya. Senang,
sedih, malu, takut, dan sesuatu hal yang mudah kita alami, marah.
Setiap
orang pasti pernah merasa marah. Anak kecil mungkin marah ketika mainannya
dipinjam sama teman yang lain. Anak seusia SD mungkin marah saat diganggu sama
teman lainnya. Orangtua bisa jadi marah melihat sang anak dianggap nakal, tidak
patuh. Seorang gurupun mudah marah, menyaksikan murid-murid ramai tak
memperhatikan. Siapapun bisa marah, dengan penyebab yang beragam. Mulai dari
hal yang sepele, hingga hal yang memang selayaknya mendapatkan kemarahan,
seperti menghina serta merendahkan agama Allah. Ya, memang sangat banyak hal
yang menjadikan seseorang marah, merasa tidak dihormati, tersinggung,
dikhianati, difitnah, kalah dalam bersaing, dan lain-lain.
Beberapa
ahli mengemukakan bahwa marah merupakan emosi egatif yang dianggap penting
untuk diketahui lebih jauh dan mendalam. Marah merupakan emosi yang kompleks,
secara rasional penting, penuh konflik, dan paling kuat mempengaruhi diri
individu karena dapat memberikan efek yang sama, baik pada individu yang
mengalami marah maupun orang lain di lingkungan sosial tersebut. Oleh karena
itu, manusia hendaknya mampu mengelola emosinya dengan baik, termasuk marah,
sehingga tercipta keseimbangan dan kestabilan yang baik pula dalam diri.
Belajarlah
dari kisah seorang Nabi Ya’qub, dengan anak-anak yang seringkali mendatangkan
masalah kepadanya. Sebagai contoh, mereka telah membunuh adik mereka, Nabi
Yusuf, ke dalam sumur tua dan berbohong
mengatakan bahwa sang adik telah dimakan serigala. Tetapi apa reaksi Nabi
Ya’qub ? Beliau tidak marah, cukup mengendalikan emosinya dengan tenang dan
sabar. Apa yang terjadi kemudian? Seiring waktu, Nabi Ya’qub kembali
dipertemukan dengan Nabi Yusuf, sedangkan sang anak-anak yang seringkali
mendatangkan masalah bertaubat dan insaf.
Berkacalah dari kisah Rasulullah SAW, ketika menghadapi
pertengkaran. Rasulullah SAW tak pernah bertengkar secara emosional dengan
istri-istrinya. Saat Rasulullah SAW marah kepada ‘Aisyah, beliau mengatakan,
“Tutuplah matamu!” Kemudian Aisyah menutup matanya dengan perasaan cemas karena
dimarahi oleh Rasulullah SAW. Kemudian Nabi berkata, “Mendekatlah!” Tatkala
Aisyah mendekat, Rasulullah memeluk Aisyah sambil berkata, “Khumairahku
(panggilan Aisyah karena merah pipinya), telah pergi marahku setelah
memelukmu.”
Apa yang
terjadi saat marah?
Secara
fisiologis, marah memberikan dampak negatif yang cukup besar. Menurut artikel “Anger
is Hostile to Your Heart”, perasaan marah memberi dampak yang negatif pada
jantung. Menurut konselor Ichiro Kawachi, orangtua yang sering marah-marah
mempunyai resiko tiga kali lipat mengidap sakit jantung dibandingkan
rekan-rekannya. Para peneliti berpendapat, pengeluaran hormon stress,
peningkatan kebutuhan jantung terhadap oksigen, dan kecenderungan darah
(khususnya darah platelet) untuk membeku menyebabkan peningkatan resiko ini.
Para
ilmuwan dari Universitas John Hopkins di Baltimore, Maryland, menemukan bahwa
laki-laki yang cepat naik darah lebih mudah diserang sakit jantung. Hal itu
tetap terjadi walaupun mereka datang dari keluarga yang tidak pernah mengidap
penyakit jantung. Menurut jurnal Psychomatic Medicine, perasaan marah
dapat merangsang pengeluaran protein tertentu yang dikenal sebagai inflammotory
proteins. Protein ini menyebabkan pembuluh darah (arteri) menjadi keras dan
proses ini dapat menyebabkan terjadinya serangan stroke dan sakit jantung.
Menurut
Profesor Madya Edward Suarez dari Pusat Pengobatan Universitas Duke di North
Carolina, protein interlukin (IL-6) ditemukan lebih tinggi dikalangan laki-laki
yang seringkali dalam keadaan tidak bahagia dan mudah emosi. Kadar interlukin
yang tinggi memudahkan lemak-lemak asid berkumpul di dalam pembuluh-pembuluh
darah. Proses ini menyababkan terjadinya arteriosklerosis disusul dengan sakit
jantung.
Mereka
yang sering marah-marah ketika dilanda stress beresiko tiga kali lipat mengidap
sakit jantung ringan dibadingkan dengan yang lain. hal tersebut disebabkan oleh
perasaan marah akan merangsang pengeluaran hormon epinephrine dan
norepinephrine. Hormon – hormon ini mempercepat detak jantung dan menaikkan
tekanan darah sekaligus memberi dampak yang negatif terhadap fungsi jantung.
Bagi
mereka yang mudah menjadi emosi dan senantiasa meledak-ledak ketika marah,
memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami denyutan jantung yang dikenal
sebagai atrial fibrillation. Jika keadaan ini terjadi, jantung akan memompa
darah secara tidak menentu dan pembekuan darah mudah terjadi. Terjadinya
kebekuan darah ini akan meningkatkan resiko seseorang mendapatkan penyakit stroke.
Sehat dengan
Mengendalikan Marah, Siapa Takut?
Berdasarkan
ulasan beberapa dampak negatif marah
yang ditimbulkan di atas, menunjukkan batapa pentingnya seseorang untuk
mengendalikan marah. Hal ini sebagai wujud untuk menjaga kesehatan, baik secara
fisik maupun secara psikis.
Menurut
Frankl, orang yang sehat secara psikologis telah bergerak ke luar atau melampaui
fokus pada diri. Menjadi manusia
sepenuhnya berarti mengadakan hubungan dengan seseorang atau sesuatu di luar
diri sendiri. Frankl membandingkan
kualitas transendensi – diri ini dengan kemampuan mata manusia untuk melihat
sesuatu di dalam dirinya. Frankl percaya bahwa mengejar tujuan semata – mata
dalam diri adalah merusak diri. Seperti kita ketahui, perasaan marah pada
seseorang sebenarnya adalah karena ada sesuatu hal yang sifatnya mengganggu.
Sudah dijelaskan sebelumnya, banyak hal yang menjadi penyebab marah,
diantaranya tersinggung, merasa tidak dihargai, merasa dilecehkan, kalah dalam
persaingan, dan lain sebagainya, yang merupakan penghambat seseorang untuk
mencapai tujuan. Jika kita mampu mengendalikan marah, menunjukkan bahwa kita
sudah tidak lagi terfokus pada kepentingan sendiri (tujuan-tujuan) melainkan
melihat stimulus penyebab marah tersebut dengan cara pandang lain, positif
tentunya. Hal itu berarti menunjukkan bahwa seseorang yang mampu mengendalikan
marahnya, berarti seseorang tersebut telah berusaha untuk menjadi sehat secara
psikologis.
Mengendalikan
marah merupakan upaya untuk memelihara kemampuan berpikir manusia dan
pengambilan keputusan yang benar. Al Qur’an sendiri berwasiat kepada kita untuk
menguasai emosi marah, karena amarah dapat menghambat kemampuan berpikir. Saat
marah, terjadi pemisahan dua kelenjar adrenalin, yang dapat mempengaruhi hati
dan membuat hati memisahkan kadar gula dalam jumlah yang besar, sehingga
kekuatan tubuh bertambah. Pertambahan kekuatan tubuh pada waktu marah
menjadikan manusia lebih siap dalam menghadapi lawan, sehingga memungkinkan
pengambilan keputusan yang sesaat tanpa pertimbangan. Oleh karena itu, supaya
kita mampu berpikir dan bertindak dengan tidak terburu – buru, sangat
dianjurkan untuk mengendalikan marah secara perlahan.
Mengendalikan
marah juga mampu mengendalikan fisik manusia, sebab pengendalian marah
melindungi manusia dari ketegangan fisik yang timbul akibat peningkatan energi
yang terjadi akibat meningkatnya zat gula yang dikeluarkan oleh hati. dengan
demikian, manusia akan terhindar untuk tidak melakukan berbagai tindakan
kekerasan, seperti agresi fisik pada musuhnya yang seringkali terjadi waktu
emosi marah sedang berlangsung.
Pengendalian
emosi marah dan tindakan tidak memusuhi orang lain, baik secara fisik maupun
dengan kata – kata, dan tetap berhubungan dengan orang lain secara baik dan
tenang, secara tidak langsung dengan sendirinya akan menimbulkan rasa tenang
dalam diri si musuh itu dan mendorongnya untuk introspeksi. Ini akan membuat
terjalinnya persahabatan dan sikap saling mencintai dan hubungan yang baik pada
umumnya. Sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an dalam surat Fushshilat (34)
yang artinya “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan
itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba – tiba orang yang diantaramu dan
antara dia ada permusuhan seolah – olah menjadi teman yang sangat setia”.
Menemukan
kebermaknaan hidup, salah satu caranya dapat ditempuh dengan mengendalikan
amarah. Karena, pada dasarnya hidup akan semakin bermakna apabila keberadaan
kita diharapkan atau dibutuhkan orang lain. Apabila kita selalu mengedapankan
nafsu amarah kita, sangat mungkin keberadaan kita bukan diharapkan melainkan
dijauhi. Sehingga, membiasakan diri untuk senantiasa mengendalikan marah
merupakan upaya untuk memperbaiki kualitas hidup yang lebih baik dalam rangka
membangun hubungan sosial yang baik pula.
Begitupun
dalam kehidupan keluarga. Bagaimana seorang istri berlaku pada suaminya, dan
sebaliknya seorang suami berlaku pada istrinya, sangat penting untuk menjauhkan
diri dari marah yang meluap. Seorang ibu yang mampu mengendalikan marah
terhadap anak, juga akan berpengaruh baik terhadap emosi si anak tersebut. Jika
anak dibiasakan mendapat kemarahan dari seorang ibu atau ayahnya, akan
menimbulkan pengalaman traumatik pada individu, yang menyebabkan anak merasa
tidak aman dan nyaman. Reaksi orang tua terhadap anak akan terbawa pada
pengungkapan emosi anak ketika menginjak masa dewasa.
Bagaimana
mengendalikan perasaan marah?
Melihat
beberapa dampak dari marah di atas serta betapa besarnya pengaruh baik ketika
kita mampu menahan nafsu amarah, sudah sebaiknya kita mulai belajar untuk
mengelola marah secara benar. Emosi diberikan oleh Allah untuk diseimbangkan,
sehingga menjadi pribadi yang mampu mengendalikan diri dengan baik. Bagaimanapun,
jika kita menyikapi kemarahan yang muncul dengan melampiaskan secara tidak
tepat, maka kemungkinan hasilnya akan semakin meluap-luap tidak terkendali.
Rasulullah
saw bersabda “Tidaklah seorang hamba meneguk satu tegukan yang lebih besar
pahalanya dari meneguk kemarahan dan dikendalikan kemarahannya semata-mata
karena mengharap wajah Allah”. Hadits tersebut dapat kita jadikan motivasi
sekaligus pengingat bahwa betapa sayangnya Allah kepada kita jika kita mampu
mengendalikan marah.
Hal
yang dilakukan untuk mengendalikan marah, menurut Al Ghazali diantaranya adalah
selalu mengingat akhirat. Pada zaman Bani Israil ketika raja-raja menjadi
murka, para penasehatnya akan memberi raja-raja itu selembar kertas dengan
tulisan kalimat-kalimat seperti berikut. “Kasihanilah orang miskin. Takutlah
akan mati. Ingatlah akhirat!” Raja – raja itu akan membacanya sampai ketenangan
di hatinya kembali. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan illustrasi bahwa
perasaan marah dapat diredam dengan kita mengingat akhirat. Karena,
sesungguhnya apa yang terjadi di dunia, dan seberapa besar marah kita, tetap
tidak megubah apapun. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa sebagai manusia yang
hidupnya tidak sendiri, hendaknya saling mengingatkan dan menasehati dalam hal
kebaikan.
Kedua,
mengingatkan diri kita tentang kemudharatan dan dampak negatif yang bakal
menjatuhkan dan merugikan diri kita. Hal yang terjadi jika kemarahan dan
perasaan benci yang dihasilkannay itu dibiarkan terus menerus. Ketiga,
mengingatkan diri kita tentang betapa buruknya rupa serta keadaan kita ketika
sedang marah. Al Ghazali menuturkan bahwa orang yang marah keadaannya adalah
sama dengan anjing yang galak dan binatang yang buas. Sebaliknya, orang yang
tenang keadaannya adalah seumpama nabi-nabi, wali-wali, alim ulama, dan
cendekiawan. Seseorang dapat memilih apakah akan menyerupai binatang yang buas
atau manusia yang terpuji.
Keempat,
hendaknya mencari peyebab kemarahan dan kemudian memperbaikinya. Seperti halnya
Al Ghazali juga mengatakan “Berpikirlah untuk mengetahui penyebab yang
menyebabkan seseorang marah sampai membawanya untuk membalas dendam. Tidak
dapat tidak, perasaan itu pasti ada penyebabnya”. Kelima, menyalurkan tenaga
marah pada perbuatan lain yang bermanfaat. Sebagai contoh, mengambil air wudhu,
sebagai mana Nabi bersabda “Apabila seseorang diantaramu marah, hendaklah dia
mengambil air wudhu. Sesungguhnya, perasaan marah itu dari api”.
Keenam,
dengan meninggalkan suasana atau tempat yang menimbulkan kemarahan. Menurut Ibn
Abi Dunya, Nabi bersabda “Ketika Nabi marah dan Nabi sedang berdiri, Nabi akan
duduk. Apabila Nabi sedang duduk, Nabi akan berbaring. Maka, hilanglah perasaan
marahnya”. Pada dasarnya, merubah suasana tersebut sebagai bentuk relaksasi
yang dengan perlahan akan meredam marah tersebut. Ketujuh, berbaik sangka
terhadap orang yang dimarahi. Kemungkinan perbuatan yang menyebabkan marah
tersebut terjadi secara tidak sengaja atau disebabkan hal-hal lain yang tidak
diketahui. Nabi bersabda “Ada tiga hal, yang tidak seorang pun akan terlepas
darinya, yaitu, berprasangka buruk, meletakkan kesialan pada sesuatu, dan
dengki. Mari aku ajari kamu bagaimana untuk keluar dari hal-hal ini. Jika kamu
memiliki persangkaan yang buruk, jangan ikuti persangkaan tersebut. Jika kamu
merasa sial atau nasib seolah tidak berpihak padamu, teruskan saja (kebaikan)
yang hendak kamu lakukan. Jika kamu dengki, jangan bertindak melampui batas”.
Kedelapan,
berdiam diri, memejamkan mata serta mengosongkan pikiran untuk merendahkan
perasaan marah. Imam Ahmad dan Al Baihaqi meriwayatkan sabda Nabi yang
maksudnya “Apabila kamu marah, maka diamlah”. Kemudian, teruskanlah dengan
berdzikir karena berdzikir mempunyai penawar yang mampu mendamaikan jiwa.
Kesembilan, memberikan maaf. Dalam surat Al – A’raf : 199, Allah berfirman
“Berikanlah maaf, ajaklah kepada makruf dan berpalinglah dari golongan yang
tidak memiliki ilmu”.
Beberapa
hal di atas merupakan beberapa cara bagaimana kita mengelola emosi, marah.
Sudah menjadi kewajiban manusia untuk melakukan yang terbaik dalam segala hal,
termasuk dalam mengelola emosi yang dikaruniakan Allah kepada kita. Sudah
sepantasnya kita bersyukur dengan menjaga emosi tersebut ke dalam proporsi yang
tepat dan meletakkannya di tempat yang benar. Semoga Allah memudahkan:)
Sumber :
Abidin, Danial Zaidan. 2008. Al – Qur’an For Live Excellence.
Jakarta : PT Mizan Publika
Najati, Muhammad Utsman. 2005. Ilmu Jiwa dalam Al Qur’an.
Jakarta : Pustaka Azzam
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta :
penerbit Kanisius
Dewi, Lukita Zahsari. 2005. Pengalaman, Ekspresi, dan Kontrol Marah
pada Orang Batak dan Orang Jawa. Jurnal Psikologi Vol 16, No 2, September,
Hlm 32
Rohmani, Windya Kumala dkk. 2010. Peranan Keberfungsian Keluarga
pada Pemahaman dan Pengungkapan Emosi. Diunduh dari http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/jurnal_keluarga_dan_pengungkapan_
emosi.pdf pada tanggal 10 Desember 2012.
http:// majalah.hidayatullah.com/?p=3130 diunduh pada tanggal 12
Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar