Follow Us @whanifalkirom

Kamis, 03 Januari 2013

Kenapa Harus Marah???



“Orang yang kuat bukanlah orang yang kuat bergulat, akan tetapi orang
yang kuat itu adalah mereka yang kuat menahan hawa nafsunya ketika
marah” (Riwayat Bukhori Muslim)

Pada dasarnya, perjalanan hidup manusia tidak serta merta sesuai dengan apa yang kita inginkan, dengan apa yang kita harapkan, atau dengan apa yang kita rencanakan. Disitulah, Allah selalu menguji, untuk mengetahui seberapa kuat seorang hamba bertahan dalam jalan kebaikan. Disitulah Allah juga akan memberi warna peristiwa, mulai dari yang membahagiakan hingga yang mengecewakan, untuk mengajarkan kepada manusia tentang sebuah hikmah.
Akan tetapi, seringkali manusia terlupa akan campur tanganNya dalam setiap jejak langkah yang ditapaki. Hingga menjadikan kita terlalu larut dalam sebuah kesenangan, seolah-olah dunia adalah surga baginya .Dan muncullah disana sikap sombong, angkuh, merasa kuat, dan jauh dari perasaan syukur. Atau kita terlalu larut dalam kesedihan, seolah-olah dunia adalah neraka baginya. Begitulah manusia, mudah dipermainkan oleh emosi – emosi yang ada dalam dirinya. Senang, sedih, malu, takut, dan sesuatu hal yang mudah kita alami, marah.
Setiap orang pasti pernah merasa marah. Anak kecil mungkin marah ketika mainannya dipinjam sama teman yang lain. Anak seusia SD mungkin marah saat diganggu sama teman lainnya. Orangtua bisa jadi marah melihat sang anak dianggap nakal, tidak patuh. Seorang gurupun mudah marah, menyaksikan murid-murid ramai tak memperhatikan. Siapapun bisa marah, dengan penyebab yang beragam. Mulai dari hal yang sepele, hingga hal yang memang selayaknya mendapatkan kemarahan, seperti menghina serta merendahkan agama Allah. Ya, memang sangat banyak hal yang menjadikan seseorang marah, merasa tidak dihormati, tersinggung, dikhianati, difitnah, kalah dalam bersaing, dan lain-lain.
Beberapa ahli mengemukakan bahwa marah merupakan emosi egatif yang dianggap penting untuk diketahui lebih jauh dan mendalam. Marah merupakan emosi yang kompleks, secara rasional penting, penuh konflik, dan paling kuat mempengaruhi diri individu karena dapat memberikan efek yang sama, baik pada individu yang mengalami marah maupun orang lain di lingkungan sosial tersebut. Oleh karena itu, manusia hendaknya mampu mengelola emosinya dengan baik, termasuk marah, sehingga tercipta keseimbangan dan kestabilan yang baik pula dalam diri.
Belajarlah dari kisah seorang Nabi Ya’qub, dengan anak-anak yang seringkali mendatangkan masalah kepadanya. Sebagai contoh, mereka telah membunuh adik mereka, Nabi Yusuf,  ke dalam sumur tua dan berbohong mengatakan bahwa sang adik telah dimakan serigala. Tetapi apa reaksi Nabi Ya’qub ? Beliau tidak marah, cukup mengendalikan emosinya dengan tenang dan sabar. Apa yang terjadi kemudian? Seiring waktu, Nabi Ya’qub kembali dipertemukan dengan Nabi Yusuf, sedangkan sang anak-anak yang seringkali mendatangkan masalah bertaubat dan insaf.
Berkacalah  dari kisah Rasulullah SAW, ketika menghadapi pertengkaran. Rasulullah SAW tak pernah bertengkar secara emosional dengan istri-istrinya. Saat Rasulullah SAW marah kepada ‘Aisyah, beliau mengatakan, “Tutuplah matamu!” Kemudian Aisyah menutup matanya dengan perasaan cemas karena dimarahi oleh Rasulullah SAW. Kemudian Nabi berkata, “Mendekatlah!” Tatkala Aisyah mendekat, Rasulullah memeluk Aisyah sambil berkata, “Khumairahku (panggilan Aisyah karena merah pipinya), telah pergi marahku setelah memelukmu.”

Apa yang terjadi saat marah?
Secara fisiologis, marah memberikan dampak negatif yang cukup besar. Menurut artikel “Anger is Hostile to Your Heart”, perasaan marah memberi dampak yang negatif pada jantung. Menurut konselor Ichiro Kawachi, orangtua yang sering marah-marah mempunyai resiko tiga kali lipat mengidap sakit jantung dibandingkan rekan-rekannya. Para peneliti berpendapat, pengeluaran hormon stress, peningkatan kebutuhan jantung terhadap oksigen, dan kecenderungan darah (khususnya darah platelet) untuk membeku menyebabkan peningkatan resiko ini.
Para ilmuwan dari Universitas John Hopkins di Baltimore, Maryland, menemukan bahwa laki-laki yang cepat naik darah lebih mudah diserang sakit jantung. Hal itu tetap terjadi walaupun mereka datang dari keluarga yang tidak pernah mengidap penyakit jantung. Menurut jurnal Psychomatic Medicine, perasaan marah dapat merangsang pengeluaran protein tertentu yang dikenal sebagai inflammotory proteins. Protein ini menyebabkan pembuluh darah (arteri) menjadi keras dan proses ini dapat menyebabkan terjadinya serangan stroke dan sakit jantung.
Menurut Profesor Madya Edward Suarez dari Pusat Pengobatan Universitas Duke di North Carolina, protein interlukin (IL-6) ditemukan lebih tinggi dikalangan laki-laki yang seringkali dalam keadaan tidak bahagia dan mudah emosi. Kadar interlukin yang tinggi memudahkan lemak-lemak asid berkumpul di dalam pembuluh-pembuluh darah. Proses ini menyababkan terjadinya arteriosklerosis disusul dengan sakit jantung.
Mereka yang sering marah-marah ketika dilanda stress beresiko tiga kali lipat mengidap sakit jantung ringan dibadingkan dengan yang lain. hal tersebut disebabkan oleh perasaan marah akan merangsang pengeluaran hormon epinephrine dan norepinephrine. Hormon – hormon ini mempercepat detak jantung dan menaikkan tekanan darah sekaligus memberi dampak yang negatif terhadap fungsi jantung.
Bagi mereka yang mudah menjadi emosi dan senantiasa meledak-ledak ketika marah, memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami denyutan jantung yang dikenal sebagai atrial fibrillation. Jika keadaan ini terjadi, jantung akan memompa darah secara tidak menentu dan pembekuan darah mudah terjadi. Terjadinya kebekuan darah ini akan meningkatkan resiko seseorang mendapatkan penyakit stroke.

Sehat dengan Mengendalikan Marah, Siapa Takut?
Berdasarkan ulasan beberapa dampak negatif marah  yang ditimbulkan di atas, menunjukkan batapa pentingnya seseorang untuk mengendalikan marah. Hal ini sebagai wujud untuk menjaga kesehatan, baik secara fisik maupun secara psikis.
Menurut Frankl, orang yang sehat secara psikologis telah bergerak ke luar atau melampaui fokus pada diri.  Menjadi manusia sepenuhnya berarti mengadakan hubungan dengan seseorang atau sesuatu di luar diri sendiri.  Frankl membandingkan kualitas transendensi – diri ini dengan kemampuan mata manusia untuk melihat sesuatu di dalam dirinya. Frankl percaya bahwa mengejar tujuan semata – mata dalam diri adalah merusak diri. Seperti kita ketahui, perasaan marah pada seseorang sebenarnya adalah karena ada sesuatu hal yang sifatnya mengganggu. Sudah dijelaskan sebelumnya, banyak hal yang menjadi penyebab marah, diantaranya tersinggung, merasa tidak dihargai, merasa dilecehkan, kalah dalam persaingan, dan lain sebagainya, yang merupakan penghambat seseorang untuk mencapai tujuan. Jika kita mampu mengendalikan marah, menunjukkan bahwa kita sudah tidak lagi terfokus pada kepentingan sendiri (tujuan-tujuan) melainkan melihat stimulus penyebab marah tersebut dengan cara pandang lain, positif tentunya. Hal itu berarti menunjukkan bahwa seseorang yang mampu mengendalikan marahnya, berarti seseorang tersebut telah berusaha untuk menjadi sehat secara psikologis.
Mengendalikan marah merupakan upaya untuk memelihara kemampuan berpikir manusia dan pengambilan keputusan yang benar. Al Qur’an sendiri berwasiat kepada kita untuk menguasai emosi marah, karena amarah dapat menghambat kemampuan berpikir. Saat marah, terjadi pemisahan dua kelenjar adrenalin, yang dapat mempengaruhi hati dan membuat hati memisahkan kadar gula dalam jumlah yang besar, sehingga kekuatan tubuh bertambah. Pertambahan kekuatan tubuh pada waktu marah menjadikan manusia lebih siap dalam menghadapi lawan, sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang sesaat tanpa pertimbangan. Oleh karena itu, supaya kita mampu berpikir dan bertindak dengan tidak terburu – buru, sangat dianjurkan untuk mengendalikan marah secara perlahan.
Mengendalikan marah juga mampu mengendalikan fisik manusia, sebab pengendalian marah melindungi manusia dari ketegangan fisik yang timbul akibat peningkatan energi yang terjadi akibat meningkatnya zat gula yang dikeluarkan oleh hati. dengan demikian, manusia akan terhindar untuk tidak melakukan berbagai tindakan kekerasan, seperti agresi fisik pada musuhnya yang seringkali terjadi waktu emosi marah sedang berlangsung.
Pengendalian emosi marah dan tindakan tidak memusuhi orang lain, baik secara fisik maupun dengan kata – kata, dan tetap berhubungan dengan orang lain secara baik dan tenang, secara tidak langsung dengan sendirinya akan menimbulkan rasa tenang dalam diri si musuh itu dan mendorongnya untuk introspeksi. Ini akan membuat terjalinnya persahabatan dan sikap saling mencintai dan hubungan yang baik pada umumnya. Sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an dalam surat Fushshilat (34) yang artinya “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba – tiba orang yang diantaramu dan antara dia ada permusuhan seolah – olah menjadi teman yang sangat setia”.
Menemukan kebermaknaan hidup, salah satu caranya dapat ditempuh dengan mengendalikan amarah. Karena, pada dasarnya hidup akan semakin bermakna apabila keberadaan kita diharapkan atau dibutuhkan orang lain. Apabila kita selalu mengedapankan nafsu amarah kita, sangat mungkin keberadaan kita bukan diharapkan melainkan dijauhi. Sehingga, membiasakan diri untuk senantiasa mengendalikan marah merupakan upaya untuk memperbaiki kualitas hidup yang lebih baik dalam rangka membangun hubungan sosial yang baik pula.
Begitupun dalam kehidupan keluarga. Bagaimana seorang istri berlaku pada suaminya, dan sebaliknya seorang suami berlaku pada istrinya, sangat penting untuk menjauhkan diri dari marah yang meluap. Seorang ibu yang mampu mengendalikan marah terhadap anak, juga akan berpengaruh baik terhadap emosi si anak tersebut. Jika anak dibiasakan mendapat kemarahan dari seorang ibu atau ayahnya, akan menimbulkan pengalaman traumatik pada individu, yang menyebabkan anak merasa tidak aman dan nyaman. Reaksi orang tua terhadap anak akan terbawa pada pengungkapan emosi anak ketika menginjak masa dewasa.

Bagaimana mengendalikan perasaan marah?
Melihat beberapa dampak dari marah di atas serta betapa besarnya pengaruh baik ketika kita mampu menahan nafsu amarah, sudah sebaiknya kita mulai belajar untuk mengelola marah secara benar. Emosi diberikan oleh Allah untuk diseimbangkan, sehingga menjadi pribadi yang mampu mengendalikan diri dengan baik. Bagaimanapun, jika kita menyikapi kemarahan yang muncul dengan melampiaskan secara tidak tepat, maka kemungkinan hasilnya akan semakin meluap-luap tidak terkendali.
Rasulullah saw bersabda “Tidaklah seorang hamba meneguk satu tegukan yang lebih besar pahalanya dari meneguk kemarahan dan dikendalikan kemarahannya semata-mata karena mengharap wajah Allah”. Hadits tersebut dapat kita jadikan motivasi sekaligus pengingat bahwa betapa sayangnya Allah kepada kita jika kita mampu mengendalikan marah.
Hal yang dilakukan untuk mengendalikan marah, menurut Al Ghazali diantaranya adalah selalu mengingat akhirat. Pada zaman Bani Israil ketika raja-raja menjadi murka, para penasehatnya akan memberi raja-raja itu selembar kertas dengan tulisan kalimat-kalimat seperti berikut. “Kasihanilah orang miskin. Takutlah akan mati. Ingatlah akhirat!” Raja – raja itu akan membacanya sampai ketenangan di hatinya kembali. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan illustrasi bahwa perasaan marah dapat diredam dengan kita mengingat akhirat. Karena, sesungguhnya apa yang terjadi di dunia, dan seberapa besar marah kita, tetap tidak megubah apapun. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa sebagai manusia yang hidupnya tidak sendiri, hendaknya saling mengingatkan dan menasehati dalam hal kebaikan.
Kedua, mengingatkan diri kita tentang kemudharatan dan dampak negatif yang bakal menjatuhkan dan merugikan diri kita. Hal yang terjadi jika kemarahan dan perasaan benci yang dihasilkannay itu dibiarkan terus menerus. Ketiga, mengingatkan diri kita tentang betapa buruknya rupa serta keadaan kita ketika sedang marah. Al Ghazali menuturkan bahwa orang yang marah keadaannya adalah sama dengan anjing yang galak dan binatang yang buas. Sebaliknya, orang yang tenang keadaannya adalah seumpama nabi-nabi, wali-wali, alim ulama, dan cendekiawan. Seseorang dapat memilih apakah akan menyerupai binatang yang buas atau manusia yang terpuji.
Keempat, hendaknya mencari peyebab kemarahan dan kemudian memperbaikinya. Seperti halnya Al Ghazali juga mengatakan “Berpikirlah untuk mengetahui penyebab yang menyebabkan seseorang marah sampai membawanya untuk membalas dendam. Tidak dapat tidak, perasaan itu pasti ada penyebabnya”. Kelima, menyalurkan tenaga marah pada perbuatan lain yang bermanfaat. Sebagai contoh, mengambil air wudhu, sebagai mana Nabi bersabda “Apabila seseorang diantaramu marah, hendaklah dia mengambil air wudhu. Sesungguhnya, perasaan marah itu dari api”.
Keenam, dengan meninggalkan suasana atau tempat yang menimbulkan kemarahan. Menurut Ibn Abi Dunya, Nabi bersabda “Ketika Nabi marah dan Nabi sedang berdiri, Nabi akan duduk. Apabila Nabi sedang duduk, Nabi akan berbaring. Maka, hilanglah perasaan marahnya”. Pada dasarnya, merubah suasana tersebut sebagai bentuk relaksasi yang dengan perlahan akan meredam marah tersebut. Ketujuh, berbaik sangka terhadap orang yang dimarahi. Kemungkinan perbuatan yang menyebabkan marah tersebut terjadi secara tidak sengaja atau disebabkan hal-hal lain yang tidak diketahui. Nabi bersabda “Ada tiga hal, yang tidak seorang pun akan terlepas darinya, yaitu, berprasangka buruk, meletakkan kesialan pada sesuatu, dan dengki. Mari aku ajari kamu bagaimana untuk keluar dari hal-hal ini. Jika kamu memiliki persangkaan yang buruk, jangan ikuti persangkaan tersebut. Jika kamu merasa sial atau nasib seolah tidak berpihak padamu, teruskan saja (kebaikan) yang hendak kamu lakukan. Jika kamu dengki, jangan bertindak melampui batas”.
Kedelapan, berdiam diri, memejamkan mata serta mengosongkan pikiran untuk merendahkan perasaan marah. Imam Ahmad dan Al Baihaqi meriwayatkan sabda Nabi yang maksudnya “Apabila kamu marah, maka diamlah”. Kemudian, teruskanlah dengan berdzikir karena berdzikir mempunyai penawar yang mampu mendamaikan jiwa. Kesembilan, memberikan maaf. Dalam surat Al – A’raf : 199, Allah berfirman “Berikanlah maaf, ajaklah kepada makruf dan berpalinglah dari golongan yang tidak memiliki ilmu”.
Beberapa hal di atas merupakan beberapa cara bagaimana kita mengelola emosi, marah. Sudah menjadi kewajiban manusia untuk melakukan yang terbaik dalam segala hal, termasuk dalam mengelola emosi yang dikaruniakan Allah kepada kita. Sudah sepantasnya kita bersyukur dengan menjaga emosi tersebut ke dalam proporsi yang tepat dan meletakkannya di tempat yang benar. Semoga Allah memudahkan:)


Sumber :
Abidin, Danial Zaidan. 2008. Al – Qur’an For Live Excellence. Jakarta : PT Mizan Publika
Najati, Muhammad Utsman. 2005. Ilmu Jiwa dalam Al Qur’an. Jakarta : Pustaka Azzam
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta : penerbit Kanisius
Dewi, Lukita Zahsari. 2005. Pengalaman, Ekspresi, dan Kontrol Marah pada Orang Batak dan Orang Jawa. Jurnal Psikologi Vol 16, No 2, September, Hlm 32
Rohmani, Windya Kumala dkk. 2010. Peranan Keberfungsian Keluarga pada Pemahaman dan Pengungkapan Emosi. Diunduh dari http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/jurnal_keluarga_dan_pengungkapan_ emosi.pdf pada tanggal 10 Desember 2012.
http:// majalah.hidayatullah.com/?p=3130 diunduh pada tanggal 12 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar