Selamat datang kembali, di tilini 😊
Bismillah, mengawali tulisan ini dengan sebuah kebersyukuran, akhirnya menengok lagi catatan-catatan di blog ini.
Dua puluh bulan berlalu sejak memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, dan melepas pekerjaan, yang sebenarnya itu adalah pekerjaan yang menyenangkan. Menjadi guru TK, memang tidak banyak perempuan di luar sana yang menyukainya. Katanya, butuh kesabaran yang tinggi, dan -tentu saja- berapa sih gaji yang bisa dibawa pulang setiap awal bulan?. Tapi, lain bagiku. Sedari dulu, ketertarikan setelah dunia psikologi, memanglah dunia anak-anak. Aku tak sesabar itu, tapi aku memang tak berekspektasi berapa gajiku. Diatas nominal dua juta rasanya sudah bersyukur sekali, dengan aku membandingkan guru TK kebanyakan. Lalu? Setelah senyaman itu, aku harus bertekad membuat keputusan, yang tidak lain tidak bukan, atas permintaan suami (ya, karena pertimbangan utama adalah anak kedua kami akan lahir).
Menjadi ibu rumah tangga, memang banyak bergelut dengan perasaan sendiri. Dari yang awalnya masuk pukul 06.25 pulang pukul 15.30, menjadi mamak-mamak yang full time di rumah. Mulai dari jenuh, bosan, tidak punya circle pertemanan, overthingking, menyalahkan diri sendiri. Sesepele ekspektasi di awal : “Menjadi ibu rumah tangga itu, bisa fokus mendidik dan membersamai anak. Bisa mengurus rumah dengan tenang dan maksimal. Bisa eksperimen masak-masak, membuat ini-itu tanpa tekanan, dll”. Dan ternyata, realita :”Anak tidak juga nurut, aku malah banyak marahnya, tidak terlalu keurus juga. Rumah apalagi, ya, urusan domestik tiada habisnya, terus-terusan ada. Jangankan eksperimen masak memasak, masak sehari-hari pun belum tentu terpegang”. Tidak tahu salahnya dimana, tapi itulah realita (yang ternyata, curhatan sesama ibu rumah tangga, hampir-hampir serupa).
Tetapi menjadi ibu rumah tangga, juga tidak seburuk itu. Banyak hal-hal positif, yang aku pribadi mengalami. Itulah pada akhirnya, selalu ada prasangka baik atas hal-hal yang kulalui, dan selalu menjadi rasa kebersyukuran tersendiri atas pilihan yang dulu kuambil. Apa itu?
Jarang sekali terjadi konflik
rumahtangga dengan suami
Terkadang, ketika di jalan mengendarai motor, tiba-tiba aku dan suami ada obrolan “nyadar ga sih, kita tu ga pernah marahan”. Setelah diingat kembali, rasanya memang, iya ya ga pernah ada adegan marah-marahan. Padahal, dulu konflik kecil dengan suami sangat-sangat sering terjadi. Perihal sesepele suami tidur duluan, atau aku yang ngomong dengan sedikit nge-gas, atau perasaan aku sebagai istri “aku lho juga kerja dari pagi, mana bawa anak pula”, atau perasaan suami yang “aku lho, kerjaanmu aja malam-malam aku ngusahain, beliin ini-itu lah buat perlengkapan mengajar”, dan banyak hal lain, yaa yang kalau sekarang dipikir-dipikir kok bisa yaa dulu sedikit-sedikit jadi pemicu saling marah. Bahkan tidak jarang suami sampai pergi hingga larut malam tanpa kabar, atau aku yang begadang semalaman dipenuhi tangis dan (sok-sok) merenung.
Finansial lebih stabil
Di luar logika manusia, dengan sekian nominal pendapatan yang berkurang, sementara kebutuhan semakin bertambah. Anak nambah, sulung sudah sekolah. Dipikirnya, terjadi defisit. Tapi ternyata, rejeki Allah bukan pada hitungan angka kita. Dulu, meski gaji dari dua orang, rasa-rasanya selalu kekurangan. Jangankan menabung, setiap akhir bulan selalu terasa kering sekali kantongnya. Tapi kini, meskipun masih sedikit simpanan, setidaknya, awal bulan dan akhir bulan tidak menjadi masalah. Dan ada satu hal yang sangat aku syukuri, ada hutang lama yang akhirnya terbayar, yang bahkan aku tak tahu si peminjam masih mau peduli atau tidak dengan hutang tersebut. Terlepas banyak sedikitnya nominal, tapi membuatku terharu (tidak enak hati juga pasti). Alhamdulillah
Lingkungan lebih nyaman
Dari awal menikah, sudah terhitung empat kali kami pindahan. Sebagai warga yang masih nomaden, memang seringkali ada banyak pertimbangan untuk pindah. Tapi, dari empat rumah yang kami tempati, di sinilah menemukan lingkungan yang jauh lebih nyaman daripada sebelum-sebelumnya. Pertama kali di samping rumah kosong, tetangga satupun tidak ada yang kenal. Kedua, tetangga nambah satu, lumayan. Tapi, kendala saluran pembuangan air kamar mandi selalu mampet. Ketiga, tetangga semakin bertambah. Dan karena memang lokasinya dekat dengan sekolah tempat dulu aku bekerja, jadi memang cukup banyak yang sedikit familiar. Tapi, kendala pompa air sumur sering sekali mati. Kini, rumah yang akhirnya kami tempati, Tetangganya persis, adek tingkat semasa kuliah. Kami macam anak kost-an yang bebas keluar masuk berkunjung. Tetangga lain juga banyak. Warung, masjid, sekolah, kelurahan tinggal jalan kaki. Dan sejauh ini, Alhamdulillah tidak ada kendala dalam rumah yang membuat tidak nyaman.
Ada sisi parenting yang berubah
jauh lebih baik
Memang ternyata banyak marah-marahnya ke anak, banyak galaknya, banyak waktu membersamai yang asal-asalan. Tapi, ada kebiasaan buruk lama, yang hampir hilang. Rara dulu selalu jajan. Apa saja semua boleh, setiap hari, dan tidak sedikit. Selain ilmu sebagai ibu yang kurang, karena aku posisinya menitipkan anak ke ‘bude’, jajan menjadi salah satu alternatif agar anak diam tenang. Ada juga rasa kasian, teman-temannya banyak bawa jajan, masak anakku enggak, seharian lho. Kini, diam-diam aku bersyukur saat Rara main bertiga di luar rumah, salah satu temannya membawa permen, lalu membaginya. Rara menolak dan menjawab “Sebenernya aku pengin, tapi ibuku ga boleh aku makan permen”. Meski akhirnya aku keluar, minta dia untuk menerima sambil berterimakasih, dan bilang ke Rara disimpan dulu ya, boleh dimakan tapi tidak sekarang. Memang Rara belum faham alasannya, setidaknya dia tidak sembunyi-sembunyi makan jajan. Dia juga tidak protes bekal sekolah sehari-hari selalu buah plus jajanan lain pilihan ibunya (seperti lapis, telur puyuh, chicken katsu).
![]() |
Salah satu bekalnya Rara |
Begitulah. Sepenggal kisah menjadi ibu rumah tangga, yang semoga setiap kita yang menjalani peran itu, bisa mengambil hikmah dibaliknya. InsyaAllah kebaikan akan menyertai, selama kita, sebagai pribadi, juga selalu berusaha untuk memperbaiki diri. Tidak ada yang sempurna dalam hidup, setiap keputusan yang kita ambil, akan selalu ada hal baik-buruk yang (mungkin) menyertai.