“Aku Berdoa Untuk Kebahagiaanmu”
Dengan
berjingkat-jingkat sepanjang bangsal untuk melihat keadaan anak-anak, aku
berjalan dan berdiri disamping ranjang anak laki-laki di ujung barisan.
Sepertinya ia berumur sepuluh tahun dan memandangku dengan matanya yang besar
dan indah. Dokter mengatakan bahwa anak itu akan sembuh, tapi aku takut
kata-katanya itu hanya untuk menentramkanku, karena kondisi anak terlihat
sangat buruk.
“Sentuhlah
dia”. Kata dokter. Jadi aku menyentuh kakinya yang kurus, tulangnya terlihat
jelas. Kakinya keras dan kering, sama sekali tidak terasa seperti kaki manusia.
Itulah ciri penyakit tetanus. Otot-otot kaki jadi kaku dan semuanya mengejang.
Anak itu sedang demam dan sangat menderita.
Ia terus
menatapku, jadi aku berkata dalam bahasa Jepang “Dokter sudah melakukan
sebisanya untukmu, dan katanya kau akan segera sembuh. Jadi, bergembiralah,
karena semuanya akan baik-baik saja!”.
Anak itu
berusaha keras mengatakan sesuatu. Saat itulah aku melihat ternyata bukan hanya
kaki dan tangannya yang kaku, tapi juga yang lain, termasuk bibir, lidah,
bibir, pita suara, dan rahangnya. Meskpun demikian, anak itu mengerahkan
seluruh kemampuannya dan berhasil mengatakan sesuatu. Aku bertanya pada perawat
apa yang dikatakan anak itu. Perawat memberitahuku bahwa anak itu, yang tampak
sekarat berkata padaku “Aku berdoa untuk kebahagiaanmu”.
***
Ibu Luar Biasa
Seringkali pengungsi diasumsikan
sebagai orang – orang yang lari mencapai perlindungan dengan menyeberangi
perbatasan dari satu negara ke negara lain. Tapi, di Mozambik, jutaan pengungsi
di kamp – kamp yang tersebar di seluruh wilayah negara itu mencari
perlindungan, masih di dalam negara mereka sendiri, dari tentara gerilya.
Karena begitu banyak orang di
kamp, kita mungkin berpikir akan lebih logis jika para pengungsi menanam
sendiri tanaman pangan daripada tergantung pada ransum. Namun, karena ancaman
serangan dari tentara gerilya yang terus terjadi di kamp-kamp itu dan besarnya
kemungkinan mereka harus meninggalkan kamp sewaktu-waktu, bercocok tanam tak
mungkin dilakukan. Tapi, bahkan dalam kondisi seperti ini, ada beberapa kisah
mengharukan yang kudengar.
“Kau punya berapa anak?” aku
bertanya pada seorang ibu yang sedang menyusui bayinya.
“Sebentar, kuingat-ingat dulu.
Delapan. Oh bukan, sepuluh!”. Jawabnya.
Apakah dia tak bisa berhitung aku
bertanya-tanya dalam hati, tapi ternyata bukan itu alasannya. Ia melanjutkan “Aku
punya lima anak kandung, tapi dalam perjalanan kesini, ketika melarikan diri
dari tentara gerilya, aku melihat beberapa anak menangis karena kehilangan
orangtua mereka. Jadi, aku membawa mereka”.
Aku bertanya lagi.
“jika aku memberi sepotong roti
sekarang, kau akan membaginya jadi berapa?”
Ia menjawabku dengan segera.
“Sepuluh bagian, tentu saja”.
***
Mengharukan bukan? Cerita di atas
adalah sepotong kisah dalam novel karya Tetsuko Kuroyanagi, yang ditulis
berdasarkan pengalamannya sendiri. Pegalaman sebagai duta kemanusiaan dari
UNICEF untuk berkeliling mengunjungi beberapa negara di dunia . Sebagai pembaca
, tentunya ada beberapa hal yang harus kita ambil dari novel tersebut dan kita aplikasikan sebagai peneguhan perilaku positif kita. Pelajaran apa kiranya yang dapat kita ambil?
1. Bersyukur
Bagi kita, yang hidup dengan mudahnya, sedikit saja keterbatasan
mungkin membuat kita mengeluh dan putus asa. Tanpa menyadari bahwa di belahan
bumi yang lain, banyak anak yang nasibnya jauh lebih dan lebih buruk dari kita.
Mereka meninggal dengan tragis akibat busung lapar, kekurangan gizi - makanan,
penyakit menular, dan lain-lain. Bahkan tercatat, sejumlah 14 juta anak
meninggal setiap tahunnya. Jangan tanya bagaimana mereka sekolah, bagaimana
mereka bermain, atau bagaimana mereka bersenang-senang.
Rata-rata anak yang tergolong ‘sehat’ mereka harus bekerja,
berpeluh, mempertahankan hidupnya. Kondisi kekeringan parah yang melanda,
memaksa anak-anak kecil harus mengambil air sejauh 9,8 km dengan berjalan kaki.
Dan itupun bukanlah air layak pakai yang segar dan jernih, melainkan air
berlumpur tanpa penyaring apapun. Bahkan di suatu tempat, rawa yang penuh
dengan bangkai-bangkai hewan, juga mayat manusia, juga terpaksa harus diambil
airnya untuk digunakan.
^^-Sudahkah bersyukur dengan kondisi
kita saat ini?-^^
2. Berbagi
Seperti dua kisah di atas tadi, dalam kondisi peperangan yang
sulit, dalam kondisi sakit yang dialami, ternyata mereka masih memperhatikan
keadaan orang lain. Meskipun hanya sebuah doa kebahagiaan, tetapi itulah yang
dapat mereka lakukan. Akankah kita yang hidup jauh lebih beruntung
mengedepankan egoisme kita? Lebih mementingkan diri sendiri sementara orang
lain sangat membutuhkan?
3. Peduli
Ah, ya, inilah saatnya kita melihat dunia tak hanya sejengkal
tangan atau selangkah kaki. Dunia ini, teramat sangat membutuhkan kepedulian.
Dari kisah yang dipaparkan novel ini, sedikit tersampaikan bahwa tidak banyak orang yang mau peduli dengan kondisi-kondisi seperti itu. Benar mungkin, untuk
menemukan orang yang kaya, orang yang sukses, orang yang pandai, cukup mudah.
Tetapi, untuk menemukan orang yang benar-benar peduli, entahlah...
Setidaknya, untuk kita,
kepedulian itu dapat terwujud dengan beragam cara, dan bagaimanapun cara itu,
nilainya tetap luar biasa^^.
Etc......
Selamat membaca ^_^
Selamat membaca ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar