Follow Us @whanifalkirom

Selasa, 03 September 2024

Selesai dengan Diri Sendiri sebelum Menjadi Orangtua

21.10 0 Comments

 


Apakah saya sudah selesai dengan diri saya sendiri dan siap untuk menikah?”

 

Pertanyaan kontemplasi.

Mari kita renungi kembali.

Meski pertanyaan di atas lebih tepat untuk terjawab sebelum masa pernikahan, tapi adalah hal yang baik untuk mempertanyakan kembali hal serupa setelah kita menikah, bahkan mempunyai anak.

 

Usia pernikahan hanyalah angka. Pada nyatanya, hari-hari tetap berisi penyesuaian dengan pasangan, juga anak-anak. Hari-hari tetap belajar mengenali kebiasaan pasangan, pun anak-anak. Selalu butuh usaha besar untuk saling menggenggam ego masing-masing, memberi ruang untuk saling memahami, menerima, dan bertumbuh. Akan menjadi lebih sulit ketika masing-masing diri kita masih membawa luka masa lalu, meski tak disadari.

 

Tenang. Tidak ada kata terlambat untuk mengusahakan hidup yang lebih baik. Allah, sebegitu sayang terhadap makhluk ciptaanNya. Ia selalu beri kesempatan memperbaiki atas masa lalu, tanpa penyesalan.

Mari,

Kembali belajar mengenal diri lebih baik,

Mengenali sebab bahagianya kita, kemudian melakukannya

Memilih sikap dengan penuh tanggungjawab ,

Memaafkan segala hal yang menyakitkan, tanpa perlu melupakan,

 

Terinspirasi dari lima lembar catatan dalam sebuah mahakarya, dengan sub-judul “Selesai dengan diri sendiri sebelum menjadi orang tua”. Selamat ulang tahun, untuk penulisnya 😊

 

#00 : 18

#Tengah malam waktu Jogja

#30 (+3 hari) usia Desi (yang semoga Allah bimbing selalu untuk menjadi istri dan ibu sholihah, aamiin kan juga untuk yang nulis ini yaa dengan doa yang sama)

#Terimakasih untuk tetap ada sapa, meski tak sesering dulu. Semoga di surga kita sering bertemu dan bertamu

Rabu, 31 Juli 2024

Comeback : Menjadi Ibu Rumah Tangga

00.15 0 Comments

Selamat datang kembali, di tilini 😊


Bismillah, mengawali tulisan ini dengan sebuah kebersyukuran, akhirnya menengok lagi catatan-catatan di blog ini.


Dua puluh bulan berlalu sejak memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, dan melepas pekerjaan, yang sebenarnya itu adalah pekerjaan yang menyenangkan. Menjadi guru TK, memang tidak banyak perempuan di luar sana yang menyukainya. Katanya, butuh kesabaran yang tinggi, dan -tentu saja- berapa sih gaji yang bisa dibawa pulang setiap awal bulan?. Tapi, lain bagiku. Sedari dulu, ketertarikan setelah dunia psikologi, memanglah dunia anak-anak. Aku tak sesabar itu, tapi aku memang tak berekspektasi berapa gajiku. Diatas nominal dua juta rasanya sudah bersyukur sekali, dengan aku membandingkan guru TK kebanyakan. Lalu? Setelah senyaman itu, aku harus bertekad membuat keputusan, yang tidak lain tidak bukan, atas permintaan suami (ya, karena pertimbangan utama adalah anak kedua kami akan lahir).


Menjadi ibu rumah tangga, memang banyak bergelut dengan perasaan sendiri. Dari yang awalnya masuk pukul 06.25 pulang pukul 15.30, menjadi mamak-mamak yang full time di rumah. Mulai dari jenuh, bosan, tidak punya circle pertemanan, overthingking, menyalahkan diri sendiri. Sesepele ekspektasi di awal : “Menjadi ibu rumah tangga itu, bisa fokus mendidik dan membersamai anak. Bisa mengurus rumah dengan tenang dan maksimal. Bisa eksperimen masak-masak, membuat ini-itu tanpa tekanan, dll”. Dan ternyata, realita :”Anak tidak juga nurut, aku malah banyak marahnya, tidak terlalu keurus juga. Rumah apalagi, ya, urusan domestik tiada habisnya, terus-terusan ada. Jangankan eksperimen masak memasak, masak sehari-hari pun belum tentu terpegang”. Tidak tahu salahnya dimana, tapi itulah realita (yang ternyata, curhatan sesama ibu rumah tangga, hampir-hampir serupa).


Tetapi menjadi ibu rumah tangga, juga tidak seburuk itu. Banyak hal-hal positif, yang aku pribadi mengalami. Itulah pada akhirnya, selalu ada prasangka baik atas hal-hal yang kulalui, dan selalu menjadi rasa kebersyukuran tersendiri atas pilihan yang dulu kuambil. Apa itu?


Jarang sekali terjadi konflik rumahtangga dengan suami

Terkadang, ketika di jalan mengendarai motor, tiba-tiba aku dan suami ada obrolan “nyadar ga sih, kita tu ga pernah marahan”. Setelah diingat kembali, rasanya memang, iya ya ga pernah ada adegan marah-marahan. Padahal, dulu konflik kecil dengan suami sangat-sangat sering terjadi. Perihal sesepele suami tidur duluan, atau aku yang ngomong dengan sedikit nge-gas, atau perasaan aku sebagai istri “aku lho juga kerja dari pagi, mana bawa anak pula”, atau perasaan suami yang “aku lho, kerjaanmu aja malam-malam aku ngusahain, beliin ini-itu lah buat perlengkapan mengajar”, dan banyak hal lain, yaa yang kalau sekarang dipikir-dipikir kok bisa yaa dulu sedikit-sedikit jadi pemicu saling marah. Bahkan tidak jarang suami sampai pergi hingga larut malam tanpa kabar, atau aku yang begadang semalaman dipenuhi tangis dan (sok-sok) merenung.


Finansial lebih stabil

Di luar logika manusia, dengan sekian nominal pendapatan yang berkurang, sementara kebutuhan semakin bertambah. Anak nambah, sulung sudah sekolah. Dipikirnya, terjadi defisit. Tapi ternyata, rejeki Allah bukan pada hitungan angka kita. Dulu, meski gaji dari dua orang, rasa-rasanya selalu kekurangan. Jangankan menabung, setiap akhir bulan selalu terasa kering sekali kantongnya. Tapi kini, meskipun masih sedikit simpanan, setidaknya, awal bulan dan akhir bulan tidak menjadi masalah. Dan ada satu hal yang sangat aku syukuri, ada hutang lama yang akhirnya terbayar, yang bahkan aku tak tahu si peminjam masih mau peduli atau tidak dengan hutang tersebut. Terlepas banyak sedikitnya nominal, tapi membuatku terharu (tidak enak hati juga pasti). Alhamdulillah


Lingkungan lebih nyaman

Dari awal menikah, sudah terhitung empat kali kami pindahan. Sebagai warga yang masih nomaden, memang seringkali ada banyak pertimbangan untuk pindah. Tapi, dari empat rumah yang kami tempati, di sinilah menemukan lingkungan yang jauh lebih nyaman daripada sebelum-sebelumnya. Pertama kali di samping rumah kosong, tetangga satupun tidak ada yang kenal. Kedua, tetangga nambah satu, lumayan. Tapi, kendala saluran pembuangan air kamar mandi selalu mampet. Ketiga, tetangga semakin bertambah. Dan karena memang lokasinya dekat dengan sekolah tempat dulu aku bekerja, jadi memang cukup banyak yang sedikit familiar. Tapi, kendala pompa air sumur sering sekali mati. Kini, rumah yang akhirnya kami tempati, Tetangganya persis, adek tingkat semasa kuliah. Kami macam anak kost-an yang bebas keluar masuk berkunjung. Tetangga lain juga banyak. Warung, masjid, sekolah, kelurahan tinggal jalan kaki. Dan sejauh ini, Alhamdulillah tidak ada kendala dalam rumah yang membuat tidak nyaman.


Ada sisi parenting yang berubah jauh lebih baik

Memang ternyata banyak marah-marahnya ke anak, banyak galaknya, banyak waktu membersamai yang asal-asalan. Tapi, ada kebiasaan buruk lama, yang hampir hilang. Rara dulu selalu jajan. Apa saja semua boleh, setiap hari, dan tidak sedikit. Selain ilmu sebagai ibu yang kurang, karena aku posisinya menitipkan anak ke ‘bude’, jajan menjadi salah satu alternatif agar anak diam tenang. Ada juga rasa kasian, teman-temannya banyak bawa jajan, masak anakku enggak, seharian lho. Kini, diam-diam aku bersyukur saat Rara main bertiga di luar rumah, salah satu temannya membawa permen, lalu membaginya. Rara menolak dan menjawab “Sebenernya aku pengin, tapi ibuku ga boleh aku makan permen”. Meski akhirnya aku keluar, minta dia untuk menerima sambil berterimakasih, dan bilang ke Rara disimpan dulu ya, boleh dimakan tapi tidak sekarang. Memang Rara belum faham alasannya, setidaknya dia tidak sembunyi-sembunyi makan jajan. Dia juga tidak protes bekal sekolah sehari-hari selalu buah plus jajanan lain pilihan ibunya (seperti lapis, telur puyuh, chicken katsu).

Salah satu bekalnya Rara

Begitulah. Sepenggal kisah menjadi ibu rumah tangga, yang semoga setiap kita yang menjalani peran itu, bisa mengambil hikmah dibaliknya. InsyaAllah kebaikan akan menyertai, selama kita, sebagai pribadi, juga selalu berusaha untuk memperbaiki diri. Tidak ada yang sempurna dalam hidup, setiap keputusan yang kita ambil, akan selalu ada hal baik-buruk yang (mungkin) menyertai.

Rabu, 17 Mei 2023

Selamat Datang, Sholihah :)

21.13 0 Comments

Awal Februari 2023

Kami periksa ke dokter, dan dokter bilang bahwa air ketuban masih banyak, plasenta masih sangat bagus. "Ini kalaupun maju ga bakal maju lama ya". Disitu ada kata "kalaupun" yaa. Jadi kami menyimpulkan kemungkinan besar malah tidak maju dari hpl (atau bahkan mundur, sepertihalnya dulu lahirnya Rara).

 

4 Maret 2023

Sejak pagi keluar lendir warna pink, semakin lama semakin merah dan semakin banyak. Tapi, tidak ada rasa mules, sakit, atau nyeri apapun. Hanya perut bagian bawah terasa sangat tertekan dan berat buat jalan. Sudah berpesan ke suami untuk rajin-rajin check hape, kalau-kalau waktunya melahirkan semakin dekat. Tapi, hingga malam hari tidak ada tanda-tanda kontraksi yang jarak waktunya konsisten meski lendir keluar semakin banyak. Hanya sesekali nyeri yang itupun sakitnya masih sangat ringan. Yaa meski untuk tidur, kami tetap tak bisa nyenyak, harap-harap cemas.

 

5 Maret 2023

Dini hari

Perut bagian bawah merasa semakin tertekan, lendir keluar juga semakin banyak (meski mules atau nyeri kontraksi tak kunjung datang). Akhirnya, memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, waktu itu sesaat sebelum subuh. Sesampainya di rumah sakit, di cek oleh bidan, dan ternyata memang masih bukaan 2. Baiklah

 

Pukul 09.00

Cek pembukaan berikutnya adalah pukul 09.00, dan ternyata masih sama. Bukaan 2. Kami memutuskan jalan-jalan di sekitaran rumah sakit. Kaki sudah terasa berat, tapi memang nyerinya kontraksi belum terlalu kurasakan.

 

Pukul 14.00

Cek pembukaan berikutnya adalah pukul 14.00, dan ternyata masih sama 😭. Bukaan 2. Saat itu, sebenarnya kaki sudah sangat berat dan capek sekali untuk jalan, tapi (katanya) salah satu cara untuk mempercepat bukaan adalah dengan jalan kaki, akhirnya aku tetap paksakan jalan. Kontraksi pun sudah sering, dan sakitnya yaa sudah mulai harus sambil hirup-buang nafas kenceng-kenceng.

 

Pukul 15.30

Cek bukaan langsung oleh dokter, dan masih sama. Bukaan 2. Dalam hatiku "Ya Allah 😭 Ini sakitnya kontraksi udah berlipat lipat, tapi kenapa bukaannya ga bertambah 😭. Dokter bilang "gapapa, ini udah longgar kok. Kamu jalan terus? Jangan.. Capek kalau begitu.. Kalau sakitnya datang, kamu jalan. Kalau sakitnya hilang, kamu duduk".

Sungguh apa yang kulakukan sebelumnya (sakitnya datang, berhenti. Sakitnya hilang, jalan 😁) berkebalikan dengan yang seharusnya dilakukan, tapi ya mana tau kan, fokusnya cuma jalan 😅 Aku sudah tak sanggup lagi untuk jalan di luar ruangan. Sejak itu, di samping ranjang, dengan bantuan suami, berusaha menahan sakit, berdiri dan jalan saat kontraksi datang (hu.u masih inget banget rasanya, tapi alhamdulillah bisa menikmati semua proses itu, dalam hati masih bisa bersyukur sama Allah, berterimakasih sama suami, dan banyak-banyak berdoa).

 

17.30 - 18.30

Tiga kali bidan datang ke ruangan. Pertama kali, pasang infus dan cek bukaan memang bertambah. Tapi, yaa baru bukaan 3 😭 Oke, setidaknya bertambah yaa..

Tak berselang lama, ada tiga bidan masuk ke ruangan. Cek ulang, dan tetap bukaan 3. Tapi, ada obrolan di antara mereka yang aku ga mengerti maksudnya "3 kan? Tapi tipis banget kan ini, dan bla bla bla". Kemudian, salah satu dari mereka menginstruksikan untuk menyiapkan kain/jarik, masker, dll. Kalau bukaan sudah 4, disarankan untuk langsung ke ruang bersalin dengan membawa barang2 yg perlu disiapkan tadi.

Beberapa waktu kemudian, cek kembali bukaan, dan alhamdulillah sudah bukaan 4. Bidan langsung bertanya "sudah siap barang-barangnya?". Dan kamipun menuju ruang bersalin

 

18.30 - 19.30

Prosesnya terjadi begitu cepat. Begitu masuk ruang bersalin, atur posisi tidur, begitu di cek ternyata sudah bukaan 6. Kemudian ketuban pecah. Tidak berselang lama bukaan 9. Disinilah sakit kontraksi sesungguhnya dimulai, hasrat mengejan sudah tak tertahan, tapi masih diminta untuk menahan dulu. Dokter datang, bukaan pun lengkap, dibantu dengan dua bidan  pendamping, dan alhamdulillah mereka semua sangat membantu prosesnya persalinan, seperti membantu memegang kedua kaki, mengingatkan untuk tidak memejamkan mata saat mengejan dan melihat ke perut, dll (Ini juga memorable banget karena persalinan pertama dulu tidak sedemikian rupa mendapat pendampingan 😭)

 

19.30

Alhamdulillah, terdengar suara tangisan pertama dari putri sholihah. Dia lahir dengan sehat selamat, semoga menambah keberkahan dan kebahagiaan keluarga kecil kami. Suami masih setia menemani, sambil berulang kali mengucapkan terimakasih (Padahal aku juga yang harusnya banyak-banyak terimakasih) 😢. Well, sakitnya dijahit sudah tak seberapa dibanding sakitnya menahan kontraksi dan terbayarkan dengan leganya hati si kecil sudah lahir. Alhamdulillah


Selamat datang di keluarga kecil kami sholihah, kami sematkan nama untukmu Fatimah Hanum As Sajidah. Semoga tumbuh menjadi hamba Allah yang senantiasa menjadikan sujud sebagai sandaran hidupnya, dan semoga kelak menjadi  putri yang lemah lembut nan mulia selayaknya Fatimah binti Rasulullah SAW. Aamiin

Kamis, 10 Maret 2022

Ketika Ayah Siap Kerja

21.58 0 Comments

Ketika Ayah siap kerja,

Rara   : “Ayah mau kerja?

Ibuk   : “Iya

Rara   : “Ayah ga kerjaaaa

Ibuk   : “Ya kerja lah, biar dapet uang

Rara   : “Ayah beli uang aja

***

Logika ini dapatnya darimana? Ya dari kami, orangtuanya. Sesering kami menjawab dengan “Yaudah nanti beli dulu yaa”. “Gapapa, nanti beli lagi. Oke?”. Sebenarnya pernyataan ini menanggapi dia yang mau makan sama telur, dia yang yupinya ga sengaja jatuh, dia yang pengin diikat rambutnya, dan hal sederhana lainnya. Tapi, bagi anak kecil tidak ada hal yang sederhana. Semuanya penting. Diserap dalam otak, membuat kesimpulan-kesimpulan yang benar menurutnya _Sesuatu hal bisa didapat dengan kita membeli_. Semudah dia pada akhirnya bilang “nanti beli sepeda ya, atau ayah beli mobil ya”.

Iya, terkadang kita baru tersadar. Berkomunikasi dengan anak-anak itu perlu seni, perlu belajar menjaga kata-kata yang sering kali spontan terucap begitu saja.

Minggu, 02 Januari 2022

Resep Sayur Sawi Kuah

22.12 0 Comments

 

SAYUR SAWI KUAH

Bahan :

1.     1 ikat sawi hijau, potong

2.    2 potong tahu putih, potong kecil

3.    2 buah wortel ukuran kecil, iris bulat tipis

4.    10 butir bakso, potong 2 bagian

5.    1 buah tomat, potong dadu

6.    Garam, gula, lada bubuk, penyedap secukupnya

7.    Bawang goreng

8.    Air secukupnya

9.    Minyak secukupnya

 

Bumbu iris:

1.     2 siung bawang putih

2.    3 siung bawang merah

3.    1 ruas kencur

 

Cara Memasak :

1.     1. Tumis bawang merah, bawang putih, dan kencur. Angkat, tiriskan

2.    2. Didihkan air, masukkan wortel, tahu, dan bakso

3.    3. Tuang bawang merah, bawang putih, dan kencur yang sudah ditiriskan ke dalam air 

4.    4. Masukkan sawi hijau

5.    5. Masukkan garam, gula, lada bubuk, dan penyedap

6.    6. Masukkan potongan tomat segar

7.    7. Taburkan bawang goreng secukupnya

8.    8. Koreksi rasa, angkat dan sajikan!

 

~Selamat Menikmati~

Minggu, 28 November 2021

Je_lek vs Je_lita

23.11 0 Comments

 


Ayah : “Rara Can……..”

Rara : “….tik”

Ayah : “Rara, kalau ibu Je…….”

Ibu : “Iya iya, ibuk jelek. Ayah ga boleh gitu ngajarin anaknya. Ngajarin tuh omongan yang baik-baik”

Ayah : “JELITA maksudnya. Gitu kan kalau orang bawaannya su’udzon terus”

Ibu : (ngakak. Tenang, sampe sekarang tetep ga percaya sih kalau belio emang niat mo bilang jelita)


#kisahkeluargakecilkami

Sabtu, 13 November 2021

😢

23.49 0 Comments

 



Satu tahun lalu.

Bapak,

Saat itu semua anak Bapak pulang ke rumah, tapi kami berduka

 

Semoga Allah lapangkan kubur Bapak.

Semoga anak-anak Bapak tidak mengecewakan Bapak.

Semoga kelak, kita semua berkumpul kembali di surga, bersama Bapak.

 

Aamiin

Minggu, 26 September 2021

Gelang Karet

22.12 0 Comments

 


Cuma gelang karet ya. Ah kayaknya ada lah. Satu doang

Menjelang malam kucari-cari keberadaannya, dari ruang tamu sampai dapur. Dan ga kutemukan. Besok pagi kegiatan anak di kelas butuh karet, Cuma satu sih. Eh suami meluncur dong ke warung padang, beli nasi bungkus. Padahal yang kubutuhin karetnya, bukan nasinya. Padahal yang bertugas ngajar bukan aku, tapi partner satu kelas. Cuma kalau ga persiapan ya gimana gitu.

Daripada besok bagi ngedumel”. Katanya

Ah MasyaAllah si Bapak satu anak ini.


#kisahkeluargakecilkami

Jumat, 02 Juli 2021

"Lion"

22.21 0 Comments

 


Saat dimana kami tidak faham dengan Rara. Tetiba dia “khaaawwww” berulang kali.

Kami sedang memandangi arah jendela dan sesekali membicaraka pesawat yang berjajar di luar sana.

Oh 

Lama-lama kami mengerti. Rara menyimak dan merespon pembicaraan kami. Dia sedang menirukan suara “lion”. Bedanya, lion yang kami bicarakan adalah lion pesawat, sedang lion yang dimengerti Rara adalah lion singa.

Baiklah..

#kisahkeluargakecilkami