#Lebaran
dua tahun lalu, 2014#.
Sebagai bungsu 7 bersaudara, dengan 6 kakak
ipar, dengan 17 keponakan, tentu ramai sekali kalau berkumpul (meskipun
seringnya nggak lengkap). Kalau kakak-kakak saya sedikit banyak memperkenalkan
anak-anaknya (baca : keponakan) yang (tentu) sudah makin dewasa, maka saya
tidak jarang disapa dengan candaan “Sudah, tinggal satu…. Ini kapan?”…..
“Dua tahun lagi”. Terkadang jawaban itu keluar spontan saja. Biar cepat,
selesai sudah. Ya sekaligus doa sich, memang waktu itu ada keinginan untuk
menikah di usia 23. Itu artinya, tahun 2016 kaan? Hehe. (Tidak terasa, ternyata
waktu berlalu secepat ini yaaa)……
#Tahun
lalu, 2015#.
Kakak sulung menikah (untuk yang kedua, setelah
suami pertama meninggal). Duh, sedikit gimana gitu, karena ternyata sekian
banyak orang mengira bahwa yang menikah adalah saya. Hehe. Tepat di hari itu
pula banyak suara samar terdengar dari tetangga “Ya ini satu sebentar lagi,
siap lah kalau Cuma disuruh bantu-bantu”.. “Pamungkasnya lah siap-siap lagi,
tinggal kasih kode sama kakak-kakaknya, biar nyiapin”.. “Makanya
nanti yang terakhir ini, mumpung, kalau mau mengumpulkan seluruh kerabat
dekat-jauh”. #dengarnya sambil senyum-senyum aja, dalam hati, seribet ini?
Boro-boro tahu bakal seperti apa proses akad nikahnya nanti, tahu dengan siapa
aja belum J
Sudah mulai banyak terdengar kabar teman-teman
menikah, juga semakin banyak undangan berdatangan. Dari teman SD (yang memang
saat ini tinggal beberapa gelintir saja yang belum menikah), teman SMP (ini
teman sebangku juga sudah menikah), teman SMA, teman kuliah, teman di
organisasi, teman di Lazis, de el el de el el.. Sudah banyak pertanyaan “Kapan
nyusul?”. Dan seseorang berkata “Kalau sudah banyak menerima undangan,
itu artinya sudah pantas kasih undangan Mbak”
Sudah mulai asyik ngobrol dan bercanda bareng
teman terkait jodoh. Wajar kali yaa, usia awal 20-an (Iya kan? Iya? #Ini
pertanyaan untuk yang sudah lewat dari itu). Sudah mulai posting jodoh-jodohan
di media sosial. udah mulai berani bercanda-canda ringan dengan Ibu terkait
pernikahan. “Belum pernah masak besar kan, nanti masak-masak besar yaa”
#menjurus. Kalau ada dikasih oleh-oleh sama orang lain dalam jumlah banyak “Nggak
Papa, buat persiapan gawe” #menjurus. Sebelumnya tabuu, dan malu-malu
sekali kalau bicara soal ini (meski sering juga merasa buat apa). Bahkan sebelumnya
banyak yang bertanya “Haniif, pernah nggak si jatuh cinta? (Yaa pernah
lah, impossible orang nggak pernah jatuh cinta)” atau “Susah Mbak melupakan
itu, Mbak Hanif si nggak pernah ngrasain (Yaa memang, pacaran aja sekalipun
nggak pernah.heheh). Ini karena saking tidak pernahnya bahas begituan (baca : cinta-cintaan).
Sudah mulai menyentuh buku-buku tentang nikah.
“Bila Hati Rindu Menikah” – “Saatnya Untuk Menikah” – “Kado Pernikahan” –
“Psikologi Suami Istri” – “Fiqh Pernikahan” – de el el (Belum tamat lho yaa,
kan saya bilang “mulai menyentuh”). Meskipun pada kenyataannya, seringkali
hanya sebagai selingan saja, hiburan-hiburan seru. Toh, sampai detik ini,
merasa masih ‘kecil’ jauh dari ‘siap’ untuk menikah (Siap dalam definisi menuju
pernikahan itu apa sich yaa *sebenarnyabingung).
#Tahun
ini, 2016#.
Entah kenapa, saya berpikir untuk tidak
ber’basa-basi lagi soal jodoh. Dalam artian, tidak seharusnya dibawa bercanda
(yang berlebihan), dibawa topik (yang jadi obrolan tanpa tujuan), dibawa ke
medsos (yang entah apa manfaatnya).
Daripada bertanya “Kapan nyusul” mending
mendoakan “Semoga segera menyusul”. Daripada sibuk bertanya dan berangan
dengan siapa berjodoh mending sibuk memperbaiki diri, menyelesaikan tanggungjawab,
belajar banyak hal. Daripada sering mengobrol, menulis notes dan doa di medsos terkait jodoh mending
banyak-banyak doa di atas sajadah, memohon sama Allah supaya dipertemukan
dengan jodoh terbaik, di waktu yang baik, dan di tempat yang baik. Saat bingung menjawab pertanyaan “Kapan?,
yaa seperti Bapak saya menjawab kalau ada yang tanya “Saya kapan?” “Terserah
sama Allah, kan kita makhluknya Allah” (Ini tipikal Bapak saya yang memang
nggak suka bercanda beginian).
Lebih baik bukan? Sepakat kalau ada yang bilang,
semua orang tentu punya cara masing-masing untuk berusaha, berikhtiar menuju
kesana. Sepakat juga kalau ada yang bilang jodoh itu bukan lomba. Bukan pula
soal usia, paras, juga harta. Jadi, *Don’t Worry be Happy* J
Ya, sesesederhana ini saya berpikir tentang
jodoh. Sangat setuju, apa yang Tere Liye tuliskan, Jodoh itu....
1. Jangan menikah karena kesepian, menikah karena orang lain sudah
menikah semua, tinggal kita seorang yang belum, aduhai, pernikahan itu bukan
trend, yang semua orang bisa ikut-ikutan, apalagi karena nggak enak terlihat
aneh sendiri. Dan terlepas dari itu, catat baik-baik, banyak orang yang setelah
menikah, dia tetap merasa sepi, sendirian.
2. Jangan menikah karena alasan orang lain. Itu
betul, dalam peristiwa dramatis, kita bisa segera menikah agar orang tua sempat
menyaksikan sebelum meninggal, agar mereka bahagia. Tapi menikahlah karena
alasan kita sendiri, jadikan itu patokan terbesar. Karena yang menjalani
kehidupan berumah-tangga itu adalah kita, bukan orang lain. Dan karena, jika
besok lusa pernikahan itu gagal, kita tidak menyalahkan orang lain--itu sungguh
tiada manfaatnya.
3. Semua pernikahan itu punya masalah. Bohong
jika ada yang bilang keluarga mereka baik-baik saja sepanjang masa. Lantas
kenapa sebuah pernikahan bisa awet? Karena ada yang sabar dan mengalah.
Satu-satunya bekal pernikahan yang tiada pernah kurang adalah: sabar. Punya
sabar segunung, tetap kurang banyak. Punya sabar selangit, pun tetap kurang
banyak. Jadi bekalnya tidak harus mobil, rumah, peralatan dapur, dsbgnya.
Sekelas Umar Bin Khattab saja masih membutuhkan rasa sabar ekstra.
4. Kita tidak pernah tahu siapa jodoh terbaik
kita. Tidak ada alatnya, tidak ada aplikasinya, dan tidak akan ditemukan. Kita
baru tahu setelah kita menjalani pernikahan tersebut. Dan rumitnya, itu juga
belum cukup. Banyak yang berpisah jalan setelah sekian lama menikah. Lantas
kapan dong kita baru tahu persis? Tidak ada jawabannya. Nah, dengan situasi
seperti itu, jangan habiskan waktu dengan cemas apakah ini jodoh terbaik atau
bukan. Jika kalian muslim, tegakkanlah shalat istikharah, dapatkan keyakinan, kemudian
bismillah, jalani dengan mantap.
5. Well, tidak ada jodoh yang sempurna di dunia
ini. Semua orang pasti punya kekurangan. Ada yang ganteng/cantik pol, ternyata
kalau tidur ngoroknya seperti sirene. Ada yang bertanggung-jawab nan setia,
ternyata pelupa, dia lupa harus menjemput istrinya di manalah. Tapi kita selalu
bisa membuat yang tidak sempurna itu menjadi indah, keren, seperti pelangi,
sepanjang kita bersedia menerima kekurangannya. Orang2 yang sibuk memasang
kriteria sempurna bagi calon jodohnya, akan hidup sendiri hingga alien
menyerang bumi.
6. Tidak ada yang tahu kapan persisnya kita akan
menikah. Eh, yang masih kecentilan, manja-manja, ternyata besok sudah menikah,
atau malah punya anak dua. Yang terlihat dewasa sekali, sudah siap sekali, bahkan
bijak nian bicara soal menikah, ternyata bertahun-tahun tetap sendiri. Maka,
saat kita tidak tahu kapan jodoh itu akan datang, fokuslah memperbaiki diri
sendiri. Saat kesempatannya datang, ingatlah nasehat lama, kesempatan baik
tidak datang dua kali. Tapi ketika kesempatannya lolos, gagal, juga ingatlah
petuah orang tua, akan selalu ada kesempatan2 berikutnya bagi orang yang sabar.
7. Pekerjaan tetap, mapan, dan lain-lain itu
jangan dijadikan syarat mutlak mencari jodoh. Itu betul, sungguh menyenangkan
jika jodoh kita ternyata sudah mapan, berkecukupan. Tapi boleh jadi akan lebih
spesial lagi, jika kita bersama-sama menjalani hidup sederhana, untuk kemudian
menjadi lebih baik setiap harinya. Lebih baik pastikan saja, semua pihak
memahami tanggungjawabnya. Misal, adalah tanggungjawab suami mencari nafkah.
Boleh istri bekerja? Ikut membantu nafkah keluarga? Dikembalikan ke masing2
pasangan mau seperti apa. Tapi jelas sekali, jika istri bekerja, penghasilannya
adalah milik dia--soal dia mau memberikannya ke keluarga atau tidak, itu urusan
dia. Tanggungjawab mutlak tetap ada di suami. Pemahaman2 seperti ini penting
loh, agar kalian laki-laki yang sekarang sibuk galau, apalagi sibuk tebar
pesona, tahu persis saat menikah nanti.
8. Mencari jodoh itu tidak rumit. Ini beneran
loh. Mencari jodoh itu sederhana. Kalian bisa meminta orang tua mencarikan
(karena itu juga salah-satu kewajiban mereka). Juga bisa minta sahabat menjadi
intel perjodohan. Jodoh itu ada di mana-mana, di sekolah, di kampus, di tempat
kerja, di angkutan umum saat berangkat beraktivitas, di mesjid, di komplek
rumah, dll, dll. Tapi kenapa kadang terasa rumit sekali? Karena kitalah yang
membuatnya rumit. Catat baik-baik, di dunia ini sudah milyaran orang pernah
menikah. Milyaran pasangan. Nah, di mana rumitnya jika orang lain toh milyaran
telah menikah.
9. Terakhir, kalau kalian mau belajar banyak hal
tentang jodoh, maka jangan belajar dari novel2 (apalagi novel Tere Liye), dari
film fiksi, dari sinetron, serial. Aduh, itu fiksi loh. Dikarang2 saja sama
penulis ceritanya. Melainkan belajarlah dari orang tua di sekitar kalian.
Kakek-nenek, opa-oma, mbah buyut, yang sudah menikah puluhan tahun, tapi tetap
langgeng dan bahagia. Amati, pelajari, dengarkan nasehat mereka, itu penting
sekali, kehidupan mereka bisa jadi contoh. Maka besok lusa saat kita menikah,
mendadak muncul masalah serius, kita bisa meneladani mereka, bagaimana cara
mereka mengatasi masalah. Itu selalu bisa jadi pelajaran kehidupan yang tiada
ternilai.
***
Panjang sekali yaa. Berharap semoga tidak ada
lagi tulisan (kegalauan jodoh) seperti ini lagi. Hingga pada saatnya nanti,
ketika memang sudah layak kembali menulis (tentang jodoh lagi) J . Sekian bicara jodoh, ada
yang lebih penting untuk segera dikerjakan J Selamat memperbaiki diri…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar