Novel Karya Tere Liye kembali menambah kesibukanku saat ini.
Sebenernya, sudah agak lama tersimpan rapi dalam rak buku, tapi masih banyak
buku-buku dan novel-novel lain yang belum terbaca sama sekali. Eliana. Buku ke-4 dari serial
anak-anak mamak, setelah Burlian, Pukat, dan berikutnya Amelia.
Eliana, Anak sulung mamak. Tak berbeda dengan anak kecil pada
umumnya, seringkali usil, juga jahil. Bermain ‘iseng’ bersama kawan-kawan,
membenci teman kelas (namun pada akhir menjadi sahabat), membentuk genk
bernamakan “tiga musang” (namun berganti menjadi “empat buntal”), mengeluh saat
di suruh, dan berbagai ‘kenakalan-kenakalan’ lainnya.
Menjadi Anak mamak, yang galak. Menjadi anak Bapak, yang tegas
berprinsip. Dengan pendidikan yang baik dalam keluarga, tumbuhlah ia menjadi
anak jahil yang spesial.
Eliana sang pemberani. Ia berani teriak kencang demi membela
kehormatan Bapak. Berkata dengan lantang “Jangan Hina Bapakku! Kami memang
orang miskin. Baju ini juga lungsuran, di beli di pasar loak. Lantas kenapa?
Apa itu hina? Kehidupan rendahan? Asal kau tahu, Bapakku tidak akan pernah
menjual seluruh kampung kepada kalian”. Begitulah sepenggal luapan ‘marah’ Eli
di tengah-tengah tegangnya perbincangan Bapak bersama pejabat provinsi
kabupaten.
Eliana yang cerdas. Seluruh kampung tentunya tahu, ia anak
paling pandai di dalam kelas. Tidak ada yang berani bersaing melawannya,
kecuali Marhotap –Si pemalas dan Si jarang mandi- yang mendapat tantangan dari
Pak Bin untuk mengalahkan Eli. Ia anak paling pandai di tempatnya mengaji. Nek
Kiba –guru ngaji- sendiri yang membela Eli, tatkala ia memaksa mengumandangkan
adzan demi mempertahankan kehormatan seorang wanita. Nek Kiba sendiri yang
turun tangan menjelaskan kepada Eli, agama pun punya aturan main, hingga ia
menyadari kekeliruannya. Perempuan tetap terhormat, meskipun tidak semua hal
bisa dilakukannya, termasuk mengumandangkan adzan.
Eliana yang perhatian. Bahkan saat seluruh keluarga di rumah
tidak menyadari mimik wajah Burlian yang berubah, Tingkah Burlian yang memilih
diam saat semua berkumpul makan malam, pekerjaan Burlian yang ‘tersembunyi’ di
kamar dengan pintu tertutup, Eliana lah yang sigap sadar dan sibuk
bertanya-tanya. Hingga pada akhir menemukan jawaban, bersamaan dengan seluruh
keluarga dan warga kampung juga tahu sebab muasalnya.
Eliana yang jujur. Meskipun dalam berbagai kesempatan, bisa saja
ia mengarang alasan untuk melindungi dirinya dari kemarahan orang lain, ia
urung melakukannya. Memilih bilang yang sebenarnya, meskipun takut-takut
beresiko ‘dimarahi’.
Eliana yang berjiwa besar. Segera sadar atas kekeliurannya
berfikir mamak membencinya. Dengan hati menyesal, air mata menumpah tangis,
memeluk mamak dari belakang, “Maafkan Eli, Mak”..
Eliana yang hebat. Cita-cita mulia ia kukuhkan. Menjadi pembela
kebenaran dan keadilan. Menjadi pembela orang-orang lemah dan tersisihkan.
Menjadi pembela lingkungan hidup yang terancam. Berdiri paling gagah, paling
depan, paling nomor satu.
Menurut saya, novel ini sangat bagus. Saya bisa berimajinasi,
membayangkan bagaimana kehidupan Eliana beserta keluarganya di kampung (Karena
saya juga orang kampung mungkin, hehe) . Keluarga sederhana, Sungai-sungai
mengalir, hutan lebat, sekolah seadanya, minim SDM guru, dan lain-lain. Alur
ceritanya runtut, mudah dipahami. Memuat pendidikan yang baik, profil keluarga
dan warga kampung yang (layak) ditiru. Hanya saja, terkadang ‘agak’ membosankan
dan ‘kurang’ membuat penasaran alias datar ceritanya. Bagi kalian yang belum
membaca, recomended J
Ada beberapa petikan kalimat dan nasehat yang bagus dari novel
ini,
“Jangan pernah bersedih ketika orang-orang menilai hidup kita rendah. Jangan pernah bersedih karena sejatinya kemuliaan itu tidak pernah tertukar. Boleh jadi orang-orang menghina itulah yang lebih hina. Sebaliknya, orang-orang yang dihinalah yang lebih mulia. Kalian tidak harus membalas penghinaan dengan penghinaan, bukan? Bahkan, cara terbaik menanggapi olok-olok adalah dengan biasa-biasa saja. Tidak perlu marah, tidak perlu membalas"
“Kata tetua bijak, manusia memiliki sendiri hari-hari spesialnya Ada hari ketika ia dilahirkan, hari mulai belajar merangkak, hari mulai belajar berjalan hingga bisa berlari. Manusia tumbuh besar dengan hari-hari. Jatuh, bangun, sakit, sehat, tertawa,menangis, sendirian, ramai, sukses, gagal, semua dilalui bersama hari-hari. Tentu temask salah satunya hari ketika kita bertemu dengan pasangan hidup.”
“Masih ingat apa yang pernah Bapak bilang, Amel. Semakin benar sebuah cerita, semakin menyangkal orang-orang.”
“Hakikat cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus kau melepaskannya. Percayalah, jika itu memang cinta sejati kau, tidak peduli aral melintang, ia akan kembali sendiri padamu. Banyak sekali para pencinta di dunia ini yang melupakan kebijaksanaan sesederhana itu. Malah sebaliknya, berbual bilang cinta, namun dia menggenggamnya erat-erat.”
“Tidak ada urusan baik yang dilakukan dengan cara buruk. Tidak selalu hal menyakitkan harus dibalas dengan rasa sakit.”
“Jika kalian tidak bisa ikut golongan yang memperbaiki, maka setidaknya, janganlah ikut golongan yang merusak. Jika kalian tidak bisa berdiri di depan menyerukan kebaikan, maka berdirilah di belakang. Dukung orang-orang yang mengajak pada kebaikan dengan segala keterbatasan. Itu lebih baik”
“Nak, Jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang Ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengrbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar