Follow Us @whanifalkirom

Selasa, 07 Januari 2014

Eliana

Novel Karya Tere Liye kembali menambah kesibukanku saat ini. Sebenernya, sudah agak lama tersimpan rapi dalam rak buku, tapi masih banyak buku-buku dan novel-novel lain yang belum terbaca sama sekali. Eliana. Buku ke-4 dari serial anak-anak mamak, setelah Burlian, Pukat, dan berikutnya Amelia.
Eliana, Anak sulung mamak. Tak berbeda dengan anak kecil pada umumnya, seringkali usil, juga jahil. Bermain ‘iseng’ bersama kawan-kawan, membenci teman kelas (namun pada akhir menjadi sahabat), membentuk genk bernamakan “tiga musang” (namun berganti menjadi “empat buntal”), mengeluh saat di suruh, dan berbagai ‘kenakalan-kenakalan’ lainnya.
Menjadi Anak mamak, yang galak. Menjadi anak Bapak, yang tegas berprinsip. Dengan pendidikan yang baik dalam keluarga, tumbuhlah ia menjadi anak jahil yang spesial.
Eliana sang pemberani. Ia berani teriak kencang demi membela kehormatan Bapak. Berkata dengan lantang “Jangan Hina Bapakku! Kami memang orang miskin. Baju ini juga lungsuran, di beli di pasar loak. Lantas kenapa? Apa itu hina? Kehidupan rendahan? Asal kau tahu, Bapakku tidak akan pernah menjual seluruh kampung kepada kalian”. Begitulah sepenggal luapan ‘marah’ Eli di tengah-tengah tegangnya perbincangan Bapak bersama pejabat provinsi kabupaten.
Eliana yang cerdas. Seluruh kampung tentunya tahu, ia anak paling pandai di dalam kelas. Tidak ada yang berani bersaing melawannya, kecuali Marhotap –Si pemalas dan Si jarang mandi- yang mendapat tantangan dari Pak Bin untuk mengalahkan Eli. Ia anak paling pandai di tempatnya mengaji. Nek Kiba –guru ngaji- sendiri yang membela Eli, tatkala ia memaksa mengumandangkan adzan demi mempertahankan kehormatan seorang wanita. Nek Kiba sendiri yang turun tangan menjelaskan kepada Eli, agama pun punya aturan main, hingga ia menyadari kekeliruannya. Perempuan tetap terhormat, meskipun tidak semua hal bisa dilakukannya, termasuk mengumandangkan adzan.
Eliana yang perhatian. Bahkan saat seluruh keluarga di rumah tidak menyadari mimik wajah Burlian yang berubah, Tingkah Burlian yang memilih diam saat semua berkumpul makan malam, pekerjaan Burlian yang ‘tersembunyi’ di kamar dengan pintu tertutup, Eliana lah yang  sigap sadar dan sibuk bertanya-tanya. Hingga pada akhir menemukan jawaban, bersamaan dengan seluruh keluarga dan warga kampung juga tahu sebab muasalnya.
Eliana yang jujur. Meskipun dalam berbagai kesempatan, bisa saja ia mengarang alasan untuk melindungi dirinya dari kemarahan orang lain, ia urung melakukannya. Memilih bilang yang sebenarnya, meskipun takut-takut beresiko ‘dimarahi’.
Eliana yang berjiwa besar. Segera sadar atas kekeliurannya berfikir mamak membencinya. Dengan hati menyesal, air mata menumpah tangis, memeluk mamak dari belakang, “Maafkan Eli, Mak”..
Eliana yang hebat. Cita-cita mulia ia kukuhkan. Menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Menjadi pembela orang-orang lemah dan tersisihkan. Menjadi pembela lingkungan hidup yang terancam. Berdiri paling gagah, paling depan, paling nomor satu.

Menurut saya, novel ini sangat bagus. Saya bisa berimajinasi, membayangkan bagaimana kehidupan Eliana beserta keluarganya di kampung (Karena saya juga orang kampung mungkin, hehe) . Keluarga sederhana, Sungai-sungai mengalir, hutan lebat, sekolah seadanya, minim SDM guru, dan lain-lain. Alur ceritanya runtut, mudah dipahami. Memuat pendidikan yang baik, profil keluarga dan warga kampung yang (layak) ditiru. Hanya saja, terkadang ‘agak’ membosankan dan ‘kurang’ membuat penasaran alias datar ceritanya. Bagi kalian yang belum membaca, recomended J

Ada beberapa petikan kalimat dan nasehat yang bagus dari novel ini,


Jangan pernah bersedih ketika orang-orang menilai hidup kita rendah. Jangan pernah bersedih karena sejatinya kemuliaan itu tidak pernah tertukar. Boleh jadi orang-orang menghina itulah yang lebih hina. Sebaliknya, orang-orang yang dihinalah yang lebih mulia. Kalian tidak harus membalas penghinaan dengan penghinaan, bukan? Bahkan, cara terbaik menanggapi olok-olok adalah dengan biasa-biasa saja. Tidak perlu marah, tidak perlu membalas"

“Kata tetua bijak, manusia memiliki sendiri hari-hari spesialnya Ada hari ketika ia dilahirkan, hari mulai belajar merangkak, hari mulai belajar berjalan hingga bisa berlari. Manusia tumbuh besar dengan hari-hari. Jatuh, bangun, sakit, sehat, tertawa,menangis, sendirian, ramai, sukses, gagal, semua dilalui bersama hari-hari. Tentu temask salah satunya hari ketika kita bertemu dengan pasangan hidup.”

“Masih ingat apa yang pernah Bapak bilang, Amel. Semakin benar sebuah cerita, semakin menyangkal orang-orang.”

“Hakikat cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus kau melepaskannya. Percayalah, jika itu memang cinta sejati kau, tidak peduli aral melintang, ia akan kembali sendiri padamu. Banyak sekali para pencinta di dunia ini yang melupakan kebijaksanaan sesederhana itu. Malah sebaliknya, berbual bilang cinta, namun dia menggenggamnya erat-erat.”

“Tidak ada urusan baik yang dilakukan dengan cara buruk. Tidak selalu hal menyakitkan harus dibalas dengan rasa sakit.”

“Jika kalian tidak bisa ikut golongan yang memperbaiki, maka setidaknya, janganlah ikut golongan yang merusak. Jika kalian tidak bisa berdiri di depan menyerukan kebaikan, maka berdirilah di belakang. Dukung orang-orang yang mengajak pada kebaikan dengan segala keterbatasan. Itu lebih baik”

“Nak, Jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang Ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengrbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar