Source : pixabay.com |
Beberapa kali saya terkagum dengan dua
orang laki-laki, yang tampak hangat bersahabat. Jarang, saya rasa. Seperti
halnya saya terkagum dengan seorang suami yang cekatan membantu istrinya
menyapu atau mencuci. Seperti halnya saya terkagum dengan seorang mas yang ramah
mengajak bermain anak-anak kecil. Juga seperti halnya saya terkagum dengan
kakak laki-laki yang memanjakan adik perempuannya. Kembali pada dua laki-laki
yang bersahabat, romantis. Terkadang saya juga berfikir, tingkat kedekatan, keawetan,
juga ketulusan mereka melampaui dua perempuan yang saling bersahabat, atau
laki-laki dan perempuan yang saling bersahabat (katanya sih kalau ini tidak ada
rumusnya, status sahabat hanya pengganti kondisi adanya udang dibaling bakwan
:P). Walaupun kondisi-kondisi demikian, kenyatannya saya juga tak mengerti...
Rasa persahabatan itu ada, nyata sejak
masa lampau. Beberapa kisah hangat bersahabat, masih lekat dan banyak dikenang,
seperti kisah mereka...
Dua laki-laki. Salah satunya
melangkahkan kaki terlebih dahulu, masuk ke dalam cekungan gua. Menelisik,
meneliti dengan seksama setiap sudut untuk menemukan lubang-lubang bahaya. Beliau
duduk, meluruskan kaki, menutup lubang tersebut dengan tubuhnya. Mempersilahkan
lelaki yang beliau biarkan masuk kemudian, untuk merebah, dan istirahat di
pangkuan. Tidak lama, hingga sengatan binatang berbisa mulai dirasa, perih
tiada terkira. Tapi, tertahan, demi menghindari si lelaki di pangkuan yang begitu
pulas memejam mata, terganggu dan terbangun karenanya. Ialah Abu Bakar Ash
Shidiq dan Rasulullah saw, dalam perjalanan hijrah, dan singgah di sebuah gua
bernama gua tsur...
Dua laki-laki bersahabat. Terlibat rasa
dengan perempuan yang sama. Salah satu lelaki itu datang meminang, sungguh malang
takdir sedang tak berpihak. Perempuan itu justru memilih lelaki lain, yang
tidak lain tidak bukan adalah sahabatnya. Wajar, bila ia sedih, perih
teriris-iris. Namun, yang keluar dari mulutnya adalah ikrar pemberian untuk
sahabat tersebut, berupa mahar dan nafkah yang telah ia siapkan. “Cepatlah
kalian menikah, saya siap menjadi saksinya”. Imbuhnya. Ialah Salman yang
merelakan perempuan pujaan hatinya untuk seorang sahabat bernama Abu Darda’...
Dan akhir-akhir ini saya juga sering
terharu, menyaksikan ulama-ulama bersatu, saling santun dalam mengungkap rasa,
duduk bersama mencipta harmoni. Semoga menjadi sahabat karena iman. Semoga
terus tumbuh generasi-generasi yang juga saling bersahabat karena iman...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar