Follow Us @whanifalkirom

Minggu, 19 Agustus 2018

Bincang Bareng Ayah (BBA) #13


Suasana rumah itu selalu hangat. Meski seringkali hadirku menjadi ‘penengah’ antara Bapak yang ‘keras kepala’ dan Mamak yang ‘tidak pernah bisa melawan’. Tentu, jangan bayangkan konflik yang berdarah-darah, justru konfliknya mereka penuh kelucuan. Bagaimanapun, interaksi antara keduanya, selalu terlihat romantis di penglihatanku.

Suasana sedang santai-santai manja, hingga tiba-tiba Bapak bicara,

“Nduk, kalau orang punya harap dan keinginan itu biasanya shalat hajat” Tiba-tiba Bapak melirikku sambil tersenyum.
“Kenapa Bapak bilang begitu?”
“Ya, ngasih tahu aja”
“Bapak nggak ada maksud kan?”. Entah, saya selalu curiga dengan senyum Bapak. Karena, bukan Bapak namanya kalau bicara tanpa ada alasan yang ingin disampaikan.
Sayang, anakmu ini tak cukup pintar mencerna, Bapaak..

“Wanito, Wismo, curigo, Turonggo, Ngukilo” Jawaban Bapak kemudian
Aku diam, masih meraba-raba sebenarnya apa yang ingin Bapak nasehatkan

“Wanito, yang berarti perempuan. Kalau sudah sampai pada masanya, berarti harus memikirkan soal pasangan, jejodohan. Namun, ada syaratnya. Jadilah perempuan yang ‘ayu’, ‘reh rahayu’, ‘mangreh rahayu’. Artinya, selamatkan diri dari segala hal yang tidak pantas. Contoh, ‘reh rahayu’ ; banyak bicaranya, tapi sopan. diamnya, menarik hati. senyumnya, mengesankan. Nasehatnya, yang menyenangkan dan menenangkan.

“Wismo, yang berarti rumah. Penting sekali, yang namanya ‘panggonan’. ‘Mapan’lah di tempat yang indah, dan di tempat yang ‘ngayomi’.”

“Curigo, yang bisa dianalogikan dengan sebuah keris, yang berarti senjata. Artinya, dalam perjalanannya harus siap menghadapi segala permasalahan. Siapkanlah ‘senjata’ yang paling kuat untuk mencari selamat. Apa senjatanya? Dari diri sendiri, kekuatan hati, dan ‘bebrayan’ (kebersamaan dan kerjasama kali yaa versi indonesianya).”

“Turonggo, yang berarti kuda tunggangan. Sebagai alat penyambung hidup. Jadi, jangan sampai dikesampingkan. Apa contohnya? Pekerjaan yang halal, penghasilan yang cukup, silaturrahim yang kokoh, dan lain-lainnya”

“Nah, kalau keempat hal itu sudah lengkap, yang terakhir, Ngukilo. Kukilo Tyasnyo Ngumolo. Seperti burung yang bebas terbang tinggi, kicaunya menyenangkan hati. Artinya, orang lain senang menyaksikan rumah tangga kalian. Tidak ada hal buruk yang bisa ditangkap orang lain. Jadilah keluarga yang berani prihatin. Keluarga yang bekerja keras. Keluarga yang saling pengertian. Itu kesemuanya contoh kukilo, segala hal dan sikap-sikap yang baik”.
“Hehe, sebenernya maunya Bapak apa Pak?” Kali ini aku bertanya
“Yo iku ngeke’i ngerti dalane wong omah-omah"

Sembilan puluh lima persen aku hanya diam. Untuk pertama kalinya Bapak bicara perihal “pernikahan alias rumah tangga” bersamaku. Aku masih tak mengerti teka-teki apa yang Bapak hendak sampaikan. Sambil senyum tipis, aku berharap ini bukan kode, hanya sebatas nasehat biasa untuk satu-satunya anak Bapak yang belum menikah. Karena,  dalam hal apapun jika Bapak sudah serius angkat bicara, itu artinya sudah alarm darurat.

Di tengah kebingunganku, Mas Sigit dari kamar sebelah nyeletuk “Hanif bingung, ora mudeng”. (Iya memang, selain tidak tahu apa maksud Bapak, versi aslinya juga pakai Bahasa Jawa ala Bapak yang sedikit susah untuk dimengerti, meski lebih greget juga didengernya).
***
_Doakan anakmu ini, Bapaak.... Setidaknya, do’akan diri ini menjadi perempuan yang ‘reh rahayu’ seperti katamu_
_Semoga apa yang diinginkan, sama dengan apa yang hendak Allah takdirkan... Kali ini, biarkan lah waktu yang bercerita apakah rasa semakin besar atau justru semakin memudar. Karena hakikatnya cinta adalah melepaskan, jika ia memang sejati , pasti akan kembali dengan cara-cara yang mengagumkan. Selalulah bersabar, selalulah berdo’a_ (Nyuplik TereLiye)

                     Jogja, 19 Agustus 2018 (03.10 dini hari)
                     Backsound masih favorit : Al Ghamidi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar