Suasana rumah itu
selalu hangat. Meski seringkali hadirku menjadi ‘penengah’ antara Bapak yang
‘keras kepala’ dan Mamak yang ‘tidak pernah bisa melawan’. Tentu, jangan
bayangkan konflik yang berdarah-darah, justru konfliknya mereka penuh kelucuan.
Bagaimanapun, interaksi antara keduanya, selalu terlihat romantis di
penglihatanku.
Suasana sedang santai-santai
manja, hingga tiba-tiba Bapak bicara,
“Nduk, kalau orang
punya harap dan keinginan itu biasanya shalat hajat” Tiba-tiba Bapak melirikku
sambil tersenyum.
“Kenapa Bapak bilang
begitu?”
“Ya, ngasih tahu
aja”
“Bapak nggak ada
maksud kan?”. Entah, saya selalu curiga dengan senyum Bapak. Karena, bukan
Bapak namanya kalau bicara tanpa ada alasan yang ingin disampaikan.
Sayang, anakmu ini tak cukup pintar mencerna,
Bapaak..
“Wanito, Wismo,
curigo, Turonggo, Ngukilo” Jawaban Bapak kemudian
Aku diam, masih meraba-raba sebenarnya apa yang ingin Bapak
nasehatkan
“Wanito, yang
berarti perempuan. Kalau sudah sampai pada masanya, berarti harus memikirkan
soal pasangan, jejodohan. Namun, ada syaratnya. Jadilah perempuan yang ‘ayu’,
‘reh rahayu’, ‘mangreh rahayu’. Artinya, selamatkan diri dari segala hal yang
tidak pantas. Contoh, ‘reh rahayu’ ; banyak bicaranya, tapi sopan. diamnya,
menarik hati. senyumnya, mengesankan. Nasehatnya, yang menyenangkan dan
menenangkan.
“Wismo, yang berarti
rumah. Penting sekali, yang namanya ‘panggonan’. ‘Mapan’lah di tempat yang
indah, dan di tempat yang ‘ngayomi’.”
“Curigo, yang bisa dianalogikan
dengan sebuah keris, yang berarti senjata. Artinya, dalam perjalanannya harus
siap menghadapi segala permasalahan. Siapkanlah ‘senjata’ yang paling kuat
untuk mencari selamat. Apa senjatanya? Dari diri sendiri, kekuatan hati, dan
‘bebrayan’ (kebersamaan dan kerjasama kali yaa versi indonesianya).”
“Turonggo, yang
berarti kuda tunggangan. Sebagai alat penyambung hidup. Jadi, jangan sampai
dikesampingkan. Apa contohnya? Pekerjaan yang halal, penghasilan yang cukup, silaturrahim
yang kokoh, dan lain-lainnya”
“Nah, kalau keempat
hal itu sudah lengkap, yang terakhir, Ngukilo. Kukilo Tyasnyo Ngumolo. Seperti
burung yang bebas terbang tinggi, kicaunya menyenangkan hati. Artinya, orang
lain senang menyaksikan rumah tangga kalian. Tidak ada hal buruk yang bisa
ditangkap orang lain. Jadilah keluarga yang berani prihatin. Keluarga yang
bekerja keras. Keluarga yang saling pengertian. Itu kesemuanya contoh kukilo,
segala hal dan sikap-sikap yang baik”.
“Hehe, sebenernya maunya Bapak apa Pak?” Kali ini aku
bertanya
“Yo iku ngeke’i
ngerti dalane wong omah-omah"
Sembilan puluh lima persen aku hanya diam. Untuk pertama kalinya
Bapak bicara perihal “pernikahan alias rumah tangga” bersamaku. Aku masih tak
mengerti teka-teki apa yang Bapak hendak sampaikan. Sambil senyum tipis, aku
berharap ini bukan kode, hanya sebatas nasehat biasa untuk satu-satunya anak
Bapak yang belum menikah. Karena, dalam
hal apapun jika Bapak sudah serius angkat bicara, itu artinya sudah alarm
darurat.
Di tengah
kebingunganku, Mas Sigit dari kamar sebelah nyeletuk “Hanif bingung, ora
mudeng”. (Iya memang, selain tidak tahu
apa maksud Bapak, versi aslinya juga pakai Bahasa Jawa ala Bapak yang sedikit
susah untuk dimengerti, meski lebih greget juga didengernya).
***
_Doakan anakmu ini, Bapaak.... Setidaknya, do’akan diri ini menjadi
perempuan yang ‘reh rahayu’ seperti katamu_
_Semoga apa yang diinginkan, sama dengan apa yang hendak Allah
takdirkan... Kali ini, biarkan lah waktu yang bercerita apakah rasa semakin besar
atau justru semakin memudar. Karena hakikatnya cinta adalah melepaskan, jika ia
memang sejati , pasti akan kembali dengan cara-cara yang mengagumkan. Selalulah
bersabar, selalulah berdo’a_ (Nyuplik TereLiye)
Jogja, 19 Agustus 2018 (03.10 dini hari)
Backsound masih favorit :
Al Ghamidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar